» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Hangat
04 Maret 2021 | Sastra & Seni | Dibaca 2322 kali
Hangat: sumber: Foto: We Heart It
Dengan mata yang sembab, si perempuan berlari pada laki-laki itu dan memeluknya dari belakang. Laki-laki itu kaget dan membalik badannya segera. Dalam pandangannya, perempuan itu sudah mendekap seluruh tubuhnya. Wajah perempuan itu sangat sedih, namun ia tetap memeluk laki-laki itu erat. Laki-laki itu tak berniat untuk merangkulnya balik, entah apa alasannya. Sepertinya, ia tak lagi paham dengan perasaannya sendiri.

“Hey, aku suka denganmu,” kata seorang laki-laki dengan suara serak di depan perempuan yang terlihat bingung sedari tadi.

Tak ada jawaban yang terlontar dari bibir indah sang perempuan. Lapangan pun turut berubah hening, namun suara-suara bisikkan masih menggaung. Getaran dada melesat sangat cepat berdetak. Seorang perempuan di hadapannya hanya diam dan menunduk. Seribu bahasa ia diam. Wajahnya yang halus bergetar-getar karena bingung. Gusarnya pikiran terasa hebat dari ritme jantung yang berdetak cepat. Bibirnya yang bergetar seolah ingin mengeluarkan sepatah atau dua patah kata. Ingin rasanya sang perempuan berbicara dari lubuk hati. Namun, entah ihwal apa yang menghalangi, perempuan itu terlihat tak tega untuk mengutarakannya. Pandangannya terhalang oleh wajah laki-laki itu—yang menampilkan raut berharap—menambah rasa gusarnya

Tak hanya bicara, laki-laki itu kini menggenggam kedua tangan perempuan itu. Perempuan itu pun balas menggenggam tangannya. Detak jantung masihlah cepat berpacu. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, laki-laki itu melangkahkan kakinya selangkah lebih dekat dengan perempuan itu. Perempuan itu sedikit membuang muka. Sepertinya ia tak senang. Perempuan itu berusaha untuk tidak menatap langsung wajah sang lelaki. Menatap wajahnya langsung hanya akan membuat rasa tak tega semakin membuncah.

Siang itu, tidak hanya dua orang yang ada di lapangan luas itu. Satu sekolah nampaknya menyaksikan kelakuan mereka berdua. Hiburan gratis disuguhkan pada para siswa di tengah waktu istirahat kedua. Kelakuan bocah laki-laki yang membawa setangkai bunga mawar dan diserahkan secara gamblang pada perempuan itu. Atmosfer yang mulanya menyenangkan, kini secara tiba-tiba berubah drastis. Perempuan itu tak segera menjawabnya. Satu sekolahan tiba-tiba bersorak ramai nan gemas melihat kelakuan perempuan ini.

Ayo, ayo, ayo!


dir="ltr">Iya, iya, iya!

Laki-laki itu tak banyak cingcong. Dengan perlahan, ia menekuk lututnya dan bersimpuh dihadapan perempuan itu. Raut wajahnya serius dan yakin, mungkin juga sudah kepalang bahagia. Ia terus menggenggam tangan si perempuan. Menggoyang-goyangkan tangannya untuk memastikan kesadaran masih ada dalam diri perempuan di depannya itu.

“Tolong, bagian dari diriku adalah kamu. Tolonglah satukan itu.”

Ciyeeee . . .” teriak satu sekolah dengan riuh.

Melihat dukungan dari seluruh siswa yang menonton, laki-laki itu berdiri sambil tersenyum. Ia melepas genggaman tangannya. Dengan senyum yang mempesona, ia bersiap merentangkan tangannya, berniat untuk memeluknya. 

“Aku mencintaimu, tulus dari hati. Tolong satukan bagianku yang lain dengan menerimaku.”

Perempuan itu masih bergeming. Bibirnya kini bergetar hebat. Raut gusar mendominasi paras cantiknya. Ia tidak sedang berada di atas awang-awang, namun ia tengah menghadapi ketakutan akibat diancam. Hal ini tidak menyurutkan semangat laki-laki itu. Ia masih saja merentangkan tangannya.

“Perasaanku sangatlah dalam, jauh di sana. Tolong, terimalah aku,” mohonnya. 

Ada kekhawatiran sangat dalam di lubuk hati laki-laki itu. Raut perempuan itu terlihat sangat muram menambah beban di hatinya. Perasaan sedih mendominasi daripada rasa bahagia. Terlihat bahwa sang perempuan tak memiliki rasa antusias sama sekali pada dirinya sekarang. Lapangan upacara menjadi sangat bergemuruh dengan kejadian ini. Terik matahari seolah menyadarkan laki-laki itu, bahwa perempuan itu tak menyambutnya sama sekali. Laki-laki itu menurunkan rentangan tangannya dengan tenang.

“Jika memang kau tidak senang denganku, jujurlah. Tak mengapa.”

Perempuan itu tak menjawab. Ia tetap diam. Laki-laki di depannya itu menghembuskan nafas dengan cukup keras. Ia berusaha menenangkan dirinya yang mungkin sudah kalap dengan kebahagiaan tadi.

“Apakah kau tidak suka denganku?”

Perempuan itu masih tak menjawab. Laki-laki itu semakin bingung. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Pandangannya tak lepas dari wajah manis perempuan yang terdiam malu di hadapannya. Satu sekolahan berubah menjadi hening dengan adanya tontonan ini. Sampai-sampai, suara orang berjualan pentol di luar sekolah pun terdengar dengan bunyi-bunyian khasnya di halaman sekolah.

Nafas keras terhembus dari hidung laki-laki itu. Ia bersiap kecewa saat itu juga. Dengan menenangkan diri, ia berniat untuk berjalan pergi. Ia membalik badannya dan sudah mengangkat kakinya.

“Tunggu,” sahut perempuan itu. Atensi seluruhnya mengarah kepadanya.

Laki-laki itu membalik badannya dan menghadap perempuan itu lagi.

“Bagaimana?”

Perempuan itu kembali diam.

“Kau tidak perlu sungkan untuk mengatakannya.”

Perempuan itu tidak membuka suara. Sang laki-laki bersiap untuk pergi dengan berjalan menyamping.

“Aku mencintai seseorang sekarang.”

Laki-laki itu membalik dirinya. Wajahnya nampak sangat pasrah. Atmosfer berubah murung di sekitar kepalanya. Menghitam dan ia berjalan menunduk sendirian.

Riuh sekitar saling bersahutan. Ada yang kecewa, ada yang tertawa, dan ada juga yang datang mengerubungi dua orang itu.

“Iya, tak mengapa. Kau tidak perlu sungkan untuk mengakuinya,” laki-laki itu berlalu pergi sambil disambut banyak kawan-kawannya yang terlihat menertawakannya. “Semoga kau bahagia dengannya.”

Wajah perempuan itu gusar. Ia masih tak yakin dengan itu.

“Tunggu!” teriaknya. Perempuan itu berlari pada laki-laki itu. Laki-laki yang air mukanya telah murung dan tengah ditertawakan kawan-kawannya itu.

Laki-laki itu tak menggubris perempuan tadi. Sang perempuan memutuskan untuk berlari menghampiri laki-laki tadi.

“Tahukah kamu? Orang itu adalah kamu,” kata perempuan dengan setengah berteriak pada laki-laki tadi.

Sorak-sorai kawan-kawannya terdengar. Mereka terlihat senang dan tertawa-tawa ketika perempuan tadi tertawa.

Laki-laki itu mendekati. Berjalan dengan tenang untuk menghampiri perempuan yang mengusap-usap matanya dengan tenang.

“Entahlah, aku tak tahu.”

Laki-laki itu berjalan pergi. Perempuan itu gusar. Matanya sembab dan ia hanya berdiam diri di tempatnya. Beberapa kawan perempuannya datang untuk menenangkannya. Tapi ia berusaha bangkit. Ia berusaha meyakinkan bahwa ia memang mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang telah sampai di depan pintu kelasnya sendiri.

Dengan mata yang sembab, si perempuan berlari pada laki-laki itu dan memeluknya dari belakang. Laki-laki itu kaget dan membalik badannya segera. Dalam pandangannya, perempuan itu sudah mendekap seluruh tubuhnya. Wajah perempuan itu sangat sedih, namun ia tetap memeluk laki-laki itu erat. Laki-laki itu tak berniat untuk merangkulnya balik, entah apa alasannya. Sepertinya, ia tak lagi paham dengan perasaannya sendiri.

“Ada apa?” tanya laki-laki itu bingung.

“Tolong, jangan tinggalkan aku,” katanya sambil menangis.

Laki-laki itu dengan tenang mengelus-elus kepala perempuan itu.

“Tenanglah. Aku disini.”

 

Penulis: Muhammad Alfi Rahman

Editor: Dien Mutia Nurul Fata


TAG#cerpen  #karya-sastra  #romansa  #