Suraksita mendekat. “Nyawa dibalas nyawa, garwa,†bisiknya. Dengan satu tarikan napas, belati yang ia simpan di belakang tubuhnya itu menghujam tepat di jantung Prabu Bhumi.
retorika.id– Kabar kekalahan Kerajaan Sewakottama santer terdengar di penjuru negeri. Tertunduk kepala para prajurit senaya perang ketika menginjakkan kaki di pelataran alun-alun. Isak tangis nyaring terdengar di sudut-sudut desa. Kabut gelap nan muram menyelimuti desa, seolah-olah semesta paham akan kesedihan warga desa. Tak perlu menunggu lama, air pun menetes dari langit.
Di dalam istana, wastra berwarna merah dengan corak memukau mata menjuntai dari atas kasur Suraksita. Sosok perempuan yang terkenal akan ketangguhannya itu terisak tanpa suara di balik selimut. Pintu kayu nan kokoh dengan ukiran indah menghalangi para dayang masuk ke dalam kamarnya. Ia tak butuh kata-kata penenang. Ia butuh ayahnya. Kini, sosok ayah yang ia miliki telah hilang untuk selamanya. Tidak ada lagi limpahan kasih sayang nan tulus atau sesi tawa canda sembari berkebun di belakang istana. Yang tersisa hanyalah dirinya dan sebongkah kenangan atas ayahnya. Atas hal itu, tetesan air jatuh semakin deras.
***
Dua hari berselang setelah Prabu Adiwira mangkat, Kerajaan Sewakottama kembali riuh. Kabar burung mengenai kembalinya sang musuh menjadi topik hangat di desa. Seolah-olah belum puas atas kemenangan yang mereka rampas, singgasana kiani yang seharusnya ditempati oleh Suraksita pun turut direbut. Belum sempat luka di hatinya berubah menjadi kering, huru-hara baru datang menghampiri.
Baru saja sang mentari hendak meninggikan posisinya, deru langkah kaki kuda terdengar nyaring dari arah Selatan. Laki-laki dan perempuan yang sedang dalam perjalan menuju sawah terdiam di tempat ketika rombongan berkuda itu melintas. Gerombolan itu melaju kencang menuju istana, seolah tidak ada lagi hari esok yang dapat dinantikan. Karung-karung yang terikat kencang di atas punggung tiap kuda bukanlah sebuah halangan bagi mereka untuk berlari kencang. Prajurit-prajurit
berpisau belati dengan gagah mengarahkan hewan tunggangan mereka itu. Berharap agar dapat sampai di tujuan dengan selamat dan berjaya.
Suraksita baru kembali dari latihan memanahnya ketika seorang prajuritnya berjalan terburu-buru memasuki istana. Kabar akan kedatangan pembunuh ayahnya disampaikan dengan tergesa disertai nada suara yang bergetar.
“Kita harus bagaimana, Yang Mulia?” tutup si prajurit.
Suraksita tersenyum. “Sambut mereka dengan hormat. Kita biarkan mereka masuk.”
Prajurit itu mengangguk dalam kebingungan.
***
Pintu istana terbuka lebar. Barisan prajurit berjajar rapi dari depan hingga ruang singgasana. Isyarat bahwa Kerajaan Sewakottama tengah menanti kehadiran tamu. Sang bagaskara enggan menampakkan diri di sisa hari itu. Memilih bersembunyi di balik awan gelap nan pekat yang asik berkumpul di atas Desa Sewakottama. Tak jauh berbeda dengan para penduduk desa. Bersembunyi di dalam rumah merupakan titah sang putri. Seluruh sumber pencahayaan dimatikan, lilin-lilin ditiup dengan kencang, asap-asap mengepul keluar dari lueng. Meninggalkan beras-beras tak dimasak dengan sempurna di dalam dandang.
Riuh langkah kaki kuda tak lagi terdengar saat rombongan tamu berhenti tepat di gerbang istana. Sembari tersenyum, Suraksita turun dari kursi kekuasaannya. Gaun hitam polos yang melekat indah di tubuhnya sungguh memukau netra siapapun yang memandang. Langkah anggunnya berhenti di pintu masuk. Fokusnya terpatri pada satu sosok di tengah pasukan berkuda.
“Sugeng rawuh, Prabu Bhumi dari Kerajaan Baureksa,” sambut Suraksita dengan hormat. Senyum indah pun tak luntur dari wajah ayu miliknya.
Suara sepatu yang bercumbu dengan tanah berumput terdengar halus di telinga ketika Prabu Bhumi turun dari kuda jantannya. Dihampirinya Suraksita dengan langkah tegas namun masih terlihat halus dan berwibawa. Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Suraksita maju satu langkah. Menjadikan dirinya lebih dekat dengan sang tamu.
“Saya asumsikan bahwa Putri Suraksita telah mengetahui alasan saya menginjakkan kaki di pelataran Kerajaan Sewakottama,” ucap Prabu Bhumi dengan gestur tubuh menunduk.
Suraksita mengangguk. “Mari asumsikan bahwa saya telah memahami maksud kedatangan Anda.”
“Baik. Berangkat dari situ, saya mencoba untuk memberikan penawaran kepada Anda.”
Alis Suraksita terangkat. Rasa antusias dalam dirinya membuncah. “Silakan.”
“Mari menikah,” cetus Prabu Bhumi.
***
Pesta pernikahan berlangsung cepat bak sambaran kilat. Kabar bersatunya dua kerajaan besar itu pun santer terdengar di penjuru negeri. Burung-burung merpati tak henti-hentinya keluar masuk wilayah Kerajaan Sewakottama dengan gulungan kertas tebal terikat di kaki mereka. Para prajurit dan dayang sibuk hilir-mudik. Hari itu, Desa Sewakottama tidak ada yang berdiam diri. Pernikahan putri mereka lebih penting dibandingkan apapun. Walaupun dalam benak mereka, rasa bingung masih mendominasi.
Goresan jingga hilang tertimpa gelapnya malam. Serangga-serangga mulai bernyanyi. Namun entah ada apa gerangan, nyanyian mereka malam ini lebih keras. Tak ada bebunyian dari rumah penduduk. Suar lampu minyak tanah pun tak seterang biasanya.
Prabu Bhumi tengah bersiap tidur ketika Suraksita keluar dari bilik mandi di sudut kamar. Sebenarnya, berbagi ranjang tidak termasuk dalam perjanjian mereka. Atas inisiasi Suraksita, hal itu dapat terwujud. “Asing bagi para rakyatku jika sudah menikah namun berpisah ranjang. Boleh kerajaan ini Anda ambil alih, tapi tidak dengan budaya yang ada di dalamnya,” ujarnya saat itu.
Disolek muka indahnya dengan wewangian kembang dan minyak zaitun. Cermin di depannya menampilkan refleksi Prabu Bhumi yang tengah mencuri pandang ke arahnya. Suraksita tersenyum. Beranjak dari duduknya, kaki indahnya dilangkahkan ke ranjang besar di tengah kamar. Baru separuh jalan, gaun malam yang ia kenakan lolos dari tubuh indahnya. Di ujung ranjang, Prabu Bhumi menelan ludah berkali-kali.
“Garwa,” bisik Suraksita di telinga Prabu Bhumi. Sisipan bumbu sensual tak luput ia taburkan.
Seluruh tubuh Prabu Bhumi bergetar. Darahnya berdesir. “Y-ya, Suraksita?”
Suraksita menggeleng. Ditatapnya netra sang lelaki. “Garwa.”
“Garwa. Suraksita, garwaku,” ulang Prabu Bhumi.
Senyum tak wajar terlukis di wajah Suraksita. Dikecupnya wajah sang lelaki. Bibir tipis pucat tak luput dari sasarannya. Hawa di kamar itu baru saja meningkat ketika Prabu Bhumi merasakan pakaiannya telah kuyup di bagian pinggang. Diturunkan Suraksita dari pangkuannya. Bahkan, lampu redup pun mampu menunjukkan bahwa Prabu Bhumi kini tengah bersimbah darah.
Suraksita berdiri tegak di hadapan Prabu Bhumi. Tak ada upaya darinya untuk menyelamatkan laki-laki yang telah kehilangan darah lebih dari cukup di depannya itu. Senyum terpatri di paras ayunya.
“Apa salahku?” tanya Prabu Bhumi lemah. Darah yang keluar dari tubuhnya cukup banyak untuk membuatnya kesulitan untuk bergerak ataupun berbicara.
Suraksita mendekat. “Nyawa dibalas nyawa, garwa,” bisiknya.
Dengan satu tarikan napas, belati yang ia simpan di belakang tubuhnya itu menghujam tepat di jantung Prabu Bhumi.
Penulis dan Editor: Dien Mutia Nurul Fata
TAG: #cerpen #karya-sastra #kisah #