» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Kamus Kami Tidak Mengenal Kata Aman
22 Januari 2021 | Sastra & Seni | Dibaca 1147 kali
Kamus Kami Tidak Mengenal Kata Aman: Foto: Muhammad Reza
“Dalaman yang sudah disimpan di dalam kamar saja masih diincar untuk memuaskan hasrat tak normal, berpakaian sedikit terbuka dibilang menggoda, belum lagi tubuh yang sudah terbungkus pakaian nyaris tanpa cela, masih saja mengundang nafsu.  Apa, sih, yang aman bagi perempuan saat ini?”

retorika.id– Udara  pagi ini terlalu menggigit. Angin berembus kencang dan gerimis mengguyur seluruh penjuru kota sejak subuh. Matahari masih nampak malu-malu. Ia memilih bersembuyi dibalik gumpalan awan kelabu daripada menunjukkan kegagahannya seperti biasa. Cuaca seperti ini membuat penghuni kota ingin berlama-lama mendekam di dalam kamar, dibuai empuknya kasur berbusa dan didekap hangatnya selimut. Seolah meninabobokan tubuh-tubuh yang lelah mengejar duniawi. Televisi memunculkan gambar-gambar, tetapi entah siapa yang menonton. Dibiarkan begitu saja reporter berita mengoceh tentang berita yang terjadi di negeri ini. Berita yang tak ubahnya seperti dongeng pengantar tidur. Kasusnya itu-itu saja, sampai hafal. Mulai dari kasus pencurian binatang ternak hingga uang negara.

Rinjani menghela napas berat. Jengah mendengar suara pembawa berita dengan kasus yang sedang hangat dibicarakan. Biasa, korupsi anggota dewan lagi. Televisi pun ia matikan. Kini, kamar kosnya ramai dengan suara gemeresak barang-barang yang ia masukkan ke dalam tas selempang hitamnya.

“Dompet, kosmetik, novel.” Rinjani mengangguk.

Hanya itu barang-barang yang ia butuhkan. Ia pun menutup resleting tas dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana jeansnya.

Tepat pukul tujuh pagi waktu Surabaya ketika Rinjani mengecek kembali penampilannya di depan cermin. Merasa keren dengan outfit kasualnya hari ini, kaos putih dan celana jeans warna hitam, ia pun tersenyum. Kemudian, ia bergegas keluar dari kamar kos dan tak lupa mengunci pintunya. Meskipun jengah dengan segala macam berita tentang pencurian, sejujurnya, ia takut juga apabila ada pencuri yang menggasak kamar kosnya ketika ia pergi. Walau tidak ada barang yang bisa dibilang mewah, tetapi maling zaman sekarang tabiatnya semakin aneh. Bahkan, baru-baru ini, ada kasus pencurian celana dalam di kos-kosannya. Korbannya ada tiga. Dua orang di kamar paling pojok dan satunya lagi merupakan penghuni kamar di sebelah kirinya. 

“Dalaman yang sudah disimpan di dalam kamar saja masih diincar untuk memuaskan hasrat tak normal, berpakaian sedikit terbuka dibilang menggoda, belum lagi tubuh yang sudah terbungkus pakaian nyaris tanpa cela saja masih mengundang nafsu. Apa sih yang aman bagi perempuan saat ini?”  batinnya.

Rinjani meninggalkan kos dengan memanjatkan doa. 

“Semoga aman.” 

Doa bagi kamar kos dan tubuhnya. 

***

Gerimis mereda. Rinjani berjalan santai keluar dari gang kos-kosan menuju arah Pasar Turi. Ia berniat untuk naik bus ke Sidoarjo. Sebenarnya, ia malas keluar kos di hari weekend seperti ini, apalagi naik kendaraan umum. Biasanya, ia memanfaatkan waktu-waktu


senggang seperti ini untuk bersemedi di kamar dan melukis dengan ratusan cat minyak koleksinya. Namun, pesan dari ibunya yang ia baca selepas menunaikan sholat subuh membuat ia harus absen melukis hari ini.

“Tante Arini lagi sakit. Kamu kalau ada waktu luang ke Sidoarjo, ya. Ibu lagi ada urusan penting sama ibu-ibu PKK.”

Dan di sinilah dia. Berjalan sendirian menyusuri trotoar PGS. Sesekali ia menghirup udara Surabaya yang masih segar. Di sekelilingnya masih sepi, hanya tampak beberapa tukang becak yang sudah siap mengejar setoran, beberapa kendaraan memasuki PGS, dan ibu-ibu warung makan yang bersemangat mengulek sambal. Untuk menyamarkan rasa kesepian yang tiba-tiba melanda, ia mengambil ponsel dan headsetnya, lalu memilih lagu mana yang cocok dengan perasaannya saat ini.

Belum sempat memutar lagu pilihannya, dari arah berlawanan, seseorang datang dan meremas dadanya dan berjalan melewatinya begitu saja. 

Rinjani terkejut. Tubuhnya mematung.

Ia tidak tahu harus bagaimana.

Dengan kaku ia memutar kepalanya ke belakang.Dillihatnya laki-laki dengan kaos oblong berwarna hijau tua berjalan dengan santai meninggalkannya seperti tidak terjadi apa-apa.

Tangannya bergetar. Ia kalut. Ia tidak menyangka bahwa pagi ini ia baru saja dilecehkan.

Rinjani masih terpaku hingga bus dengan rute Sidoarjo berhenti di depan halte. Dengan langkah cepat, ia bergegas masuk ke dalam bus tersebut.

Ia tidak menyangka, cerita-cerita tentang pelecehan yang terjadi di jalan raya baru saja terjadi padanya. Bahkan di waktu sepagi ini.

Rinjani merasakan tubuhnya seperti kertas putih dengan tinta yang perlahan jatuh menodai seluruh tubuhnya. 

Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangkup wajah dan menangis dalam diam. Merasa sangat hina.

***

Rinjani telah sampai di kediaman Tante Arini. Diumbar senyum  termanis miliknya, sembari menerima pelukan hangat dari tantenya.

Setelah berbincang-bincang melepas kangen dan bertanya mengenai penyakit tantenya, ia pamit ke kamar mandi.

Rinjani mencoba untuk menetralkan detak jantungnya, yang demi apapun, masih berpacu dengan sangat kencang. Di hadapannya, terpampang sebuah cermin yang memiliki tinggi dari ujung kepala hingga pinggangnya. Ia menatap nanar dirinya. Apa yang salah dengan bajunya hari ini? Toh, ia tidak memakai kaos yang tipis dan menerawang. Tidak ada yang salah dengan bajunya.

Di luar kamar mandi, tantenya memanggil. Menyuruhnya untuk sarapan karena nasinya sudah matang. 

Rinjani mengiyakan. 

***

Seusai sarapan dan membantu tantenya meminum obat, ia menceritakan keresahan yang tadi pagi ia alami. Tante Arini mengamati dirinya. Dengan satu kesimpulan, beliau berucap, “Jangan pakai baju warna putih.”

Sejak kapan ada aturan untuk tidak memakai baju putih agar terhindar dari pelecehan?

***

Rinjani pamit. Tante Arini menunjukkan raut sedih, menyesal karena tidak bisa mengantarnya pulang. Rinjani menenangka dengan menyuruh tantenya segera beristirahat agar cepat sembuh.

“Hati-hati. Kalau ada apa-apa telepon tante, ya!”

“Iya.”

Rinjani melempar senyum sekilas. 

Ia mendekap jaket yang dipinjamkan oleh Tante Arini. Berharap jaket ini dapat melindunginya hingga tiba di Surabaya nanti.

***

Sesampainya di kos-kosan, ia langsung membuka lemari dan menyingkirkan semua baju berwarna putih yang ia punya. Kaos, kemeja, hingga gaun panjangnya. Ia masukkan semua pakaian tersebut ke dalam satu box besar dan meletakkannya di atas lemari.

Mulai hari ini dan seterusnya, Rinjani akan memakai baju berwarna gelap. 

Entah sampai kapan.

***

Sejak kejadian itu, Rinjani tidak pernah lupa untuk memakai jaket. Mau sepanas apapun cuacanya. 

Ia lebih memilih untuk kepanasan daripada harus mengalami pelecehan yang sewaktu-waktu bisa menimpanya kembali.

Hingga detik ini, hanya Tante Arini saja yang mengetahui kejadian itu. Rinjani terlalu jijik untuk menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Lagi pula, semua orang kemungkinan besar akan menanyakan hal-hal yang malah menyudutkannya.

“Kamu pakai baju apa waktu itu?” 

“Kenapa perginya sendirian?”

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menyudutkan Rinjani alih-alih menenangkannya.

Meski sering was-was dan merasa tak aman, Rinjani tidak mau dianggap lemah. Mati-matian ia coba untuk tetap tegap dan berani keluar rumah. Lagi pula,  siapa yang tertarik dengannya sekarang? Perempuan muda dengan jaket hitam kebesaran dan celana jeans longgar serta rambut diikat satu dan wajah polos tanpa dibubuhi make-up. Dengan penampilan seperti ini, tidak ada laki-laki yang akan iseng dan menggodanya.

Maka dari itu, setelah satu bulan pulang pergi dengan aplikasi ojek online yang tentu tidak setiap hari ada promo spesia dan setelah keberaniannya terkumpul, Rinjani mau tidak mau harus naik angkot lagi demi menghemat pengeluarannya sebagai anak rantau.

Selepas kuliah, ia segera berjalan menuju pangkalan angkot. Rinjani menemukan satu angkot yang lenggang dibandingkan angkot-angkot lainnya. Tanpa pikir panjang, ia memasuki angkot tersebut.

Untuk membunuh waktu, ia membaca novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Buku itu telah ia baca sejak dua hari lalu, tetapi belum juga menyentuh seperempat dari total halaman.

Satu persatu penumpang memasuki angkot. Rinjani masih fokus dengan novelnya. Ia duduk di pojok dekat jendela. Bangku kanan dan depannya sudah terisi. Suara deru kendaraan terdengar. Angkot yang Rinjani tumpangi mulai bergerak.

Semua berjalan normal. Ada sopir yang menyetir sambil bersenandung kecil. Wanita tua di samping supir. Ibu-ibu yang menggosip di baris depan. Di hadapannya ada anak-anak SMP yang sedang bermain ponsel, sedangkan di sebelah kanannya ada seorang pria paruh baya berkemeja kotak-kotak rapi, bersih, dan memangku tas laptop. 

Semua nampak aman bagi Rinjani untuk kembali hanyut dalam bacaannya.

Hingga lelaki paruh baya di sampinya memegang pahanya. Mengusap-usap lalu menjalar ke arah yang tidak seharusnya.

Rinjani terpaku. Sungguh, di hari yang ia pikir aman dan menjadi pembuktian bahwa ia berhasil lepas dari ingatan buruk kejadian waktu itu, hal ini terjadi. Hari ini akan menjadi hari dengan torehan luka yang amat dalam baginya.

Tas laptop pria paruh baya tersebut tersingkap, memperlihatkan alat kelaminnya. Memang secara sengaja ia tunjukkan kepada Rinjani.

Rinjani berteriak. Semua orang menatapnya heran.

Sedang pria paruh baya yang telah menggerayanginya itu hanya duduk menatap jendela angkot seakan tidak melakukan apapun.

Dengan bergetar Rinjani berbicara terbata-bata.

“Ba-bapak ini baru saja melecehkan saya.”

Tetapi semua penumpang diam. Tidak ada yang merespon. Angkot tetap melaju.

Rinjani memutuskan untuk turun dari angkot. Membayarkan uangnya dan berdiri mematung di tepi jalan.

Rinjani tidak sanggup berjalan. Sekujur tubuhnya gemetar.

Daerah intimnya sudah dipegang oleh orang lain. Ia pun melihat daerah intim lawan jenisnya.

Ia menangis. Duduk tergugu, dan menyembunyikan wajahnya.

Satu persatu, orang-orag di sekitarnya datang menghampiri. 

“Mbak, kenapa?”

Rinjani menjawab dengan isakan, “Saya baru saja dilecehkan.”

Orang-orang ribut menjawab,

“Kok gak dilawan orangnya mbak?”

“Lain kali naik angkot jangan sendirian, mbak.”

“Jadi perempuan yang kuat dong mbak, jangan dikit-dikit nangis.”

Rinjani semakin tergugu. 

Dimana lagi ia bisa merasa aman?

 

Penulis: Aulia Az Zahra Salsabilla

Editor: Dien Mutia Nurul Fata


TAG#cerpen  #karya-sastra  #  #