
Secara sederhana, analogi kehidupan ini seperti secangkir espresso. Pahit dan manis tercampur jadi satu. Tak ada pilihan lain selain meminumnya. Jika dari awal kita menikmatinya maka akan terasa nikmat. Pahit akan menjadi rasa pertama yang muncul saat espresso dicecap lidah. Kemudian, akan meninggalkan kesan manis di mulut. Espresso yang membukakan kesadaran kita, bahwa selain manis, akan ada rasa pahit yang muncul.
retorika.id - Nuansa pagi yang cukup dingin, kabut turun menyapa rerumputan. Ruas jalan terlihat masih basah setelah diguyur hujan deras tadi malam.Tidak begitu buruk untuk mengawali hari ini. Kuputuskan untuk pergi ke butik milikku. Mentari masih meringkuk di antara gumpalan mega mendung, menambah kesan pagi yang sendu.
Sesampainya di butik, sejenak aku berdiri mematung. Pandanganku menyebar ke berbagai sudut ruangan. Ingatanku terasa terseret ke belakang mengulik sesuatu untuk diingat. Butik ini menjadi saksi bisu atas kisah kecil antara aku dan dirinya. Aroma espresso masih jelas melekat di hidung dan garis wajah yang tersimpan rapi dalam memori otak.
Sepasang cangkir espresso yang saling mendekatkan aku dan dirinya lewat pandangan manis penuh arti. Sangat singkat. Kejadian itu cepat sekali berlalu. Peluh yang saling berkejaran satu sama lain mengucur dari mata yang kosong ini. Kekosongan yang menyakitkan ketika mengingat kemesraan itu telah lama menjadi kenangan. Kesedihan, kegelapan, dan kesendirian seolah-olah sudah menjadi sahabat karib.
Lamunanku terpecah ketika datang seorang perempuan, yang kira-kira usianya sama dengan usia ibuku. Sembari memilah dan memilih deretan dress yang tergantung, perempuan itu sesekali melirik ke arahku.
“Apa ada model dress terbaru selain ini? saya ingin melihatnya,” ujarnya.
“Oh, sebentar. Sepertinya ada, mari saya perlihatkan,” ucapku sambil berjalan menuju ke lantai dua.
Sesampainya di lantai dua, tangan perempuan itu menelusuri setiap dress yang tergantung di sana. Mencari-cari manakah yang paling cocok untuknya. Sedangkan diriku masih duduk menunggu di sofa yang kuletakkan di dekat fitting room.
Selama penantianku terhadap perempuan tersebut, tiba-tiba datanglah seorang pria mengenakan jaket kulit yang muncul dari tangga.
Aku mencoba memusatkan pandanganku pada orang itu. Terhitung tiga detik aku diam memandangi pria itu sambil bertanya-tanya, sepertinya aku mengenalnya.
Ha! aku ingat. Garis wajah itu sekarang benar-benar ada di hadapanku. Dia adalah Ari, teman SMA ku dulu. Kita berdua sudah tidak menjalin komunikasi, bahkan saat aku memutuskan untuk kuliah di Finlandia. Hingga akhirnya, kami berdua dipertemukan kembali setelah tujuh tahun tidak berjumpa.
“Ari?,” ucapku.
“Loh, Rani?,” tukas pria itu.
“Kamu sedang apa di sini?,” tanyaku tanpa basa-basi.
“Ah, aku kemari ingin menjemput ibuku. Tadi di bawah aku sempat melihat kalian berdua naik ke lantai dua. Oh iya, aku sampai lupa kalau butik ini milikmu. Sudah lama ya kita tak berjumpa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Tampaknya kalian sudah saling kenal?,” celetuk perempuan tadi yang ternyata adalah ibunya Ari.
“Iya, ibu. Perkenalkan ini Rani teman SMA ku dan Rani, ini ibuku,” sahut Ari.
Semenjak pertemuan itu, ibunya Ari menjadi sering membeli baju di butikku. Entah anugerah atau musibah. Namun, aku merasa sosok Ari kali ini berbeda dengan dirinya saat SMA dulu. Mungkin sejak itulah awal kesedihanku dimulai.
“Mbak, ini ada undangan untuk mbak Rani,” kata Devi, asisten butik yang sudah bekerja denganku selama empat tahun.
“Dari siapa ini Dev?,” tanyaku.
“Saya tidak tahu mbak, dikirim oleh kurir tadi,” ucap Devi.
Jantungku bagai terlepas dari tempatnya setelah membaca nama yang tertera di sampul depan undangan. Dengan tangan gemetar kubaca isi undangan itu. Namun, hasilnya sama saja. Sekujur tubuhku lemas. Tertunduk sayu. Gelap sudah pandanganku. Aku tak menyangka bahwa Ari akan menikah. Orang yang telah kunanti-nanti sekian lama, kini telah mempersunting orang lain. Seketika itu juga hatiku sudah lebih dari hancur. Tetes air mataku membasahi undangan. Tak pernah terbayangkan penantianku dibalas dengan sepucuk surat undangan.
“Rani, kita nonton yuk,” teriak Nia sambil menghampiriku yang tengah duduk tertunduk di teras butik.
Terlalu larut dalam kesedihan, hingga aku tak menyadari kedatangan Nia. Nia adalah sahabatku sewaktu kuliah di Finlandia dulu. Aku dan Nia mulai akrab sejak kita menghadiri Aria Festival. Aria Festival merupakan salah satu acara di Finlandia yang berlangsung pada bulan Juni dan Juli, tepatnya saat musim panas.
“Ah, kapan kamu datang?,” ujarku sambil berusaha untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
Percuma saja, Nia takkan bisa dibohongi.
“Kamu habis nangis ya? Lihatlah matamu sembab,” ucap Nia sambil memegang pipiku.
Mata Nia tertuju pada undangan yang kugenggam sedari tadi. Ia mengambilnya dan membacanya. Lalu, Nia menggeleng-gelengkan kepala dan terdiam sejenak.
“Jadi ini alasan kamu selalu menolak setiap kali aku ajak blind date. Ternyata ada orang yang kamu tunggu selama ini,” kata Nia dengan nada lirih.
“Nia, aku lelah. Entahlah, aku benar-benar lelah," ucapku.
"Rani, kau ini desainer terkenal. Ayolah, masih banyak ikan di lautan. Jika Ari bisa meninggalkanmu, tentunya kamu harus bisa,” kata Nia.
"Jika kamu berada di posisiku, kamu takkan mudah berbicara seperti itu," bentakku.
"Cinta itu seperti pedang bermata dua. Jika tak melukai maka kau yang akan terluka. Mencintai atau dicintai bukanlah hal yang mudah. Banyak gangguan di dalamnya,” jawab Nia sambil menghela nafas.
"Hati lelaki itu seperti angin. Mudah berubah arah. Aku sudah muak, kebanyakan dari mereka hanya datang padaku untuk sesaat lalu pergi begitu cepat. Aku pun manusia yang punya impian indah tentang cinta. Tapi, apa? kenyataanya mawar yang kutanam hanya tumbuh ilalang," ucapku yang tak kuasa menahan tangis lagi.
Sambil menggenggam tanganku, Nia mencoba menguatkan aku. "Percayalah Rani, kesedihan bukanlah akhir. Selama matahari masih ada, kegelapan takkan berlangsung lama. Ini hanya sebagian dari rentetan problema kehidupan," ungkapnya.
"Jadi apa kau sudah memutuskan untuk datang ke pernikahan Ari atau tidak?," tanya Nia.
Sekejap suasana menjadi hening. Aku dan Nia saling menatap satu sama lain.
"Iya, aku akan datang. Aku tak berhak mencegah kebahagiaan mereka. Bila ini kenyataannya, biarlah terjadi. Mereka sudah mengundangku," jawabku.
Ketika hari pernikahan Ari tiba, aku telah mempersiapkan diriku. Aku mencoba merias diriku sendiri sebaik mungkin untuk menyembunyikan kesedihan di raut wajahku.
Sesampainya di acara pernikahan mereka, berulang kali aku membesarkan hati dan mencoba memasang wajah bahagia di hari sakral tersebut. Terlihat di sana, dua insan dengan senyum merekah di kursi pelaminan. Sementara disini, hanya ada seorang perempuan malang berdiri teraniaya sepi.
Hanya doa restu yang dapat kuberikan. Semoga engkau bahagia, Ari. Bahagialah bersama dia yang menjadi pilihanmu. Segenggam harapan tak sampai. Hancur begitu saja. Malam ini menjadi saksi akan momen bahagia tersebut, sekaligus terpuruknya hati yang terluka.
Kini yang ada hanya langit gelap tanpa bintang. Derai air mata yang tak terbendung jatuh di sepanjang jalan. Ingin kuraih bulan, apalah daya tangan tak sampai.
Kubuka jendela pagi berhembus udara yang letih. Pagi biru yang kelabu. Meninggalkan semua yang telah berlalu. Bukan lagi sepasang cangkir, kini hanya ada satu cangkir espresso. Bukan tatapan manis atau obrolan hangat dengannya, namun yang ada hanya kesunyian yang mendekap lagi.
Meja ini, kursi ini, dan ruangan butik ini menyimpan kisah usang akhir dari penantianku yang sia-sia. Secangkir espresso ini masih ada, dengan rasa yang berbeda. Dingin. Sangat pahit.
Penulis: Alvidha Febrianti
TAG: #cerpen # # #