
Purnama menggantung di atas langit berlatar gumpalan kapas putih
Para bintang malu menunjukkan diri
Celaka yang akan datang selalu terpikir diiringi tangisan lirih
Jika bencana itu datang tanpa aba-aba, membunuh eksistensi diri sudah sangat pasti
Kemudian,
Keajaiban apa yang ditunggu dari kehampaan ruang yang tidak ada petunjuk?
Sulit mencari siapa tersangka yang pantas ditunjuk
Wahai kematian. Izinkan aku mati. Dalam sebuah susunan kalimat ini.
* * *
Langkah cepatnya menuruni anak tangga satu persatu. Rambut berantakan, baju kaus usang ditutupi jaket denim, celana pendek hitam, serta sandal hotel butut dikenakannya. Laki-laki itu diburu waktu malam yang dengan tidak bersahabat untuk menunggunya. Pagar rumah dibukanya, ia tunggangi sepeda motor tua lalu memecut mesinnya dengan tancapan gas yang mendalam. Lalu lintas kota pada jam malam pulang kantor masih padat merayap. Lihainya berkendara menjadi modal menerobos kemacetan, taktik zig-zag di jalan beraspal dilakoninya demi menghindari lecetnya mobil dan tertabraknya seseorang atau anak kecil yang menyebrang jalan. Pukul 19.30 menunjukkan di jam tangan digital.
“Masih sempat,” mulutnya berkata dari balik masker.
Jalan protokol telah ia lewati, meski beberapa kali harus terkena semprotan dari pengemudi lain karena keteledorannya sendiri. “Goblok! Punya mata, nggak?!”
Jalan kecil menuju rumah tujuannya sudah dekat. Pinggir kiri jalan dari arahnya datang kurang lebih 300 meter lagi. Sesampainya ia belok, tidak jauh kemudian ia sampai di sebuah rumah dua tingkat, di pagar putihnya terdapat sebuah papan kayu kecil menggantung diikat oleh tali rafia plastik bertuliskan ‘TERIMA KOS PUTRI’.
“Halo?”
“Di mana?”
“Di depan, baru sampai,”
“Sebentar, keluar.” Suara perempuan dari sana menutup telepon.
Sekarang sosok yang ditunggu melangkah keluar membuka pintu rumah. Perempuan berkulit sawo matang bermata bulat yang diatasnya alis bulan sabit, sedikit kantong mata hitamnya tampak dalam cahaya yang remang. Pinggir bibir tipisnya naik, pipi sedikit mengerut oleh dua garis lurus, menunjukkan senyuman yang tulus. Itu lah yang Damian tunggu. Terlihat di depannya sekarang ini, Padma yang tidak berhias diri, berpakaian santai untuk sekedar keluar malam.
“Masih ada waktu, atau aku terlambat?” tanya Damian gelisah.
“Nggak, aku pulang besok,” gelengan kepala Padma meyakinkan.
Damian bisa bernapas lega sekarang, kepulangan Padma batal malam ini. Sebelumnya Padma berkata akan pulang ke kampung halamannya pada pukul 21.00 bersama keluarga. Namun ia menjelaskan bahwa orangtuanya menunda karena masih ingin menikmati suasana kota.
Damian juga, masih ingin menikmati suasana bersama Padma, berdua saja.
“Keluar yuk?” ajak Damian.
“Boleh, ke mana?”
“Naik saja dulu,” perintah Damian.
Dahi Padma mengerut, senyumnya menunjukkan barisan gigi di mulut atas dengan manis. “Kamu mau culik aku?”
“Kurang lebih, tapi aku gak bawa tali buat mengikat kedua tangan dan kakimu,” lanjut Damian, terdengar serius dari ucapannya.
Padma melanjutkan, “Sudah diikat kok tanpa
diikat.”
“Apanya?” Terheran, Damian cekikikan sendiri.
“Kamu tahu sendiri,” Padma tersipu malu atas kalimat yang barusan terlontar.
“Naik, jangan berdiri terus,” perintah Damian dengan segera.
Malam itu mereka pergi, seperti prasangka Padma, Damian menculiknya. Seperti keinginan Damian, Padma membuatnya ingin menghilang bersama semalaman suntuk.
Mereka membelah kemacetan yang masih terjadi, secepatnya Damian mengambil ‘jalan tikus’ untuk menghindar dari jebakan kemacetan di persimpangan jalan selanjutnya. Atas dasar keinginannya, Damian memang mengajak Padma keluar, namun ia selalu bingung ketika hendak mengajaknya ingin keluar ke mana. Setelah menimbang dalam pikirnya, ia memutuskan pergi ke salah satu restoran di pinggir kota. Tempat yang beberapa kali pernah mereka berdua kunjungi. Menunya cukup banyak, tapi mereka tidak banyak memesan. Restoran itu memiliki tempat nyaman dengan gaya industrial dan diluarnya yang bergaya taman kecil sederhana ala Eropa. Mereka duduk di luar, walau resikonya digigit nyamuk. Tentu itu bukan halangan yang berarti, populasi nyamuk tidak seganas yang dipikirkan. Toh, mereka hanya ingin memikirkan diri mereka berdua, bukan nyamuk.
Sebuah meja kecil dengan lilin kecil di tengahnya, duduklah mereka di dua kursi yang saling berhadapan. Daftar menu makanan di berikan oleh pelayan, sejenak ditinggalkannya untuk diberi ruang memilih. Pilihan makanan serta minuman telah dipilih, keheningan sempat memberi mereka jarak. Suasana restoran cenderung ramai, mungkin banyak yang hendak kemari seusai melepas penat dari kantor.
“Bagaimana magangmu hari ini?” Damian memecah hening.
“Baik, gak ada yang spesial,” jawab Padma.
Dua alis Damian mengangkat, “Oh ya, yakin? Kok bisa?”
“Orang yang bertanggung jawab atas magang kelompokku belum datang, katanya beliau masih di luar kota. Besok baru bisa ngantor lagi.”
“Bagus lah, kesannya kamu gak keliatan gabut atau sia-sia dipandang sama orang sekitar,” jawab Damian meledek.
“Nah iya! Emang benar, kesannya gabut tauk. Udah beberapa orang yang ngomong begitu ke aku,” Padma merasa malas dengan pernyataan seperti demikian.
“Semuanya baik-baik saja?” Tanya Damian tiba-tiba.
“Maksud kamu baik?”
“Kondisimu, kesehatanmu, dan suasana hati kamu.”
Jikalau aku harus jujur, semuanya baik. Tidak ada yang bermasalah. Tapi sebuah pengecualian bagi suasana hati. Ada sesuatu yang merasukiku. Menanggapi pertanyaan Damian yang mudah dijawab, Padma meyakinkan laki-laki yang berhadapan dengannya sekarang. “Iya. Aku baik-baik saja,” senyumnya tidak ada keraguan.
Pesanan yang mereka inginkan sudah datang. Kelaparan sudah melanda perut mereka, Damian mempersilakan, “Ayo makan dulu.”
Santapan malam mereka cukup mengenakkan, begitu pula dengan perasaan hati Damian. Sedikit bertolak belakang dengan suasana hati Padma, walau makanannya cukup memberi kepuasan. Namun jika suasana hati tidak sinkron mau diapakan lagi, semahal atau seenak makananya, tidak akan habis karena suatu hal melintas dalam pikiran.
“Aku kenyang,” sendok dan garpu diletakkan di atas piring oleh Padma.
Makanannya hanya habis setengah porsi, Damian khawatir Padma kurang sehat.
“Kamu kenapa?”
“Tiba-tiba hilang nafsu makan,” jawab Padma dengan tangan menyilang di atas perutnya.
“Kita ngobrol aja ya?”
Padma mengangguk, mengiyakan pertanyaan Damian. Sejam berlalu, obrolan mereka membahas magang, proyek besar yang sedang dikerjakan Damian, hal-hal tidak penting yang kemudian menjadi penting, maupun seputar rencana setelah lulus kuliah.
“Apa yang membuat sama dalam perbedaan kita?” Tanya Damian. Pertanyaan tidak wajar nan penuh kejutan keluar dari mulutnya.
Pikiran Padma sejenak berburu mencari susunan kalimat yang tepat untuk menjawab, ia menggumam sembari memberi jeda, “Hmm..” Damian tersenyum.
“Aku mencintai kamu, di atas pikiran dan perspektif kita yang berbeda?”
“Sungguh?”
“Ya,” jawab Padma, sedikit meragu.
“Apa yang membuat berbeda dalam persamaan kita?” Kembali, pertanyaan yang hanya dibalik saja jawabannya. Namun jawaban itu bukan dari jawaban pertanyaan pertama, Damian ingin Padma menjawab melebihi ekspektasi dari perspektif Damian. Versi diri Padma seorang.
“Kita saling mencinta dengan cara berbeda.” Singkat, lugas, padat, dari Padma. Semoga aku mencintaimu dengan tepat.
Jawaban itu masih belum membawa keluar dari ekspektasi Damian, setidaknya sudah berada dipinggir batas lingkaran. Jika masih ada kelanjutannya, Padma berhasil mendobrak ekspektasi Damian. Dua pertanyaan penting dari sekian yang telah ditanyakan. Damian hanya ingin memastikan hubungan mereka saat ini tidak ada masalah. Sebelum esok hari Damian juga harus pergi pulang kampung. Beruntunglah Padma berangkat besok, malam ini terasa atmosfer mereka berdua yang ingin menikmati hilang semalaman. Kini semua jari tangan mereka bersatu, berdekapan hangat, perasaan tidak ingin kehilangan dan ditinggalkan datang menyelimuti.
Kicauan burung hantu tanpa permisi mengisi percakapan mereka, suara jangkrik masuk dalam keserasian melodi alam. Pembahasan mereka sudah berlangsung cukup panjang, jam telah menunjukkan pukul 11. Pelayan telah memberi tahu restoran akan segera tutup. Mereka berdua keluar dari restoran dan segera pulang.
Dalam percakapannya tadi, Damian tidak merasakan keanehan dari Padma selain nafsu makannya hilang seketika. Sesampainya di rumah indekos, Damian berpamitan.
Laki-laki tersebut tulus berucap, “Ada orang yang selalu menyayangimu saat ini.”
“Kamu juga rasakan itu, dari orang di depanmu sekarang.” Jawab Padma dengan suara lirih, nada rendah itu menandakan semakin tidak ingin ditinggal. Semoga – kata terakhir tertinggal di hatinya.
Kurang lebih baru seminggu mereka dipisahkan jarak, merindu sesaat untuk berlibur melepas hingar bingar kota perantauan. Intensitas komunikasi mereka berkurang, Padma pindah tempat magang di kampung halamannya. Pikir Damian bisa jadi ia sibuk, namun sangat sulit sekali dihubungi. Tumbuh keanehan, sesibuk apakah dia? Sesibuk untuk menghindar?
Kini Damian terus berburu kabar Padma yang menghilang, teman-teman dan semua pihak yang ia kenal dihubungi. Mereka katakan baik-baik saja, tidak ada hal yang aneh. Damian menyimpulkan, “Hanya aku saja yang dibuatnya aneh.”
Sebuah pesan singkat masuk, pengirimnya adalah Padma,
“Damian, maafkan aku yang hilang beberapa hari terakhir. Aku lagi merenung perasaanku atas kamu. Yang aku sadari selama ini adalah perasaanku yang nyatanya cukup pada batas sekedar sayang sebagai seorang teman. Cukup jahat bagiku, tapi lebih jahat lagi jika aku teruskan ini. Ada sesuatu dari sikapmu yang jauh dari harapanku. Aku tidak akan berpikir lagi untuk kembali padamu, maaf. Terima kasih sudah pernah temani aku selama ini. Aku yakin kamu bakal bertemu seseorang yang lebih baik daripada aku. Bagiku ini keputusan finalku. Aku tunggu kabar suksesmu.”
Seketika dinding pertahanannya runtuh, kabar mendadak yang tidak didiskusikan sebelumnya. Keputusan sepihak menyayat hati begitu mendalam, kini ia sedang berjalan di atas bukit melihat pemandangan yang indah, seketika seseorang pengkhianat mendorongnya ke jurang gelap dan tanpa dasar.
Masuk lagi satu pesan susulan,
“Jalani hidup lebih baik ya, Damian. Aku percaya kamu bisa, dengan ini kita sama-sama belajar. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku ke kamu. Aku mau bilang selamat tinggal, Damian.”
Hancur, ia merasakan sehancur-hancurnya kepercayaan kepada seseorang yang diizinkan menetap di hatinya. Ditambah seenak egonya saja yang berkata tanpa ada mufakat kedua belah pihak. Sampai detik ini, ia masih jatuh dalam jurang tanda tanya.
Tiga belas tahun berlalu begitu cepat, ia baru berani menuliskan kisahnya dalam sebuah cerita. Ia butuh waktu lama mengkristalkan perasaannya yang mendidih itu. Sekarang ia masih sendiri, sebuah trauma yang sulit disembuhkan untuk memberi kepercayaan dan cinta seumur hidup.
Padma tidak mengira, seorang Damian akan terus tergeletak di ruang sendiri. Nyatanya, berbagai karya dan apresiasi dari berbagai pihak telah disematkan pada Damian. Jika saat itu Padma pergi tanpa maaf serta motivasi, ia tetap akan bangkit sendiri secepatnya. Sementara Padma? Ia tidak tahu, hanya masih ingin tahu alasannya saat itu. Bukan kabar hari ini, sudah bekerja atau tinggal di mana.
Padma yang dulu manis kini ia kenal jahat. Yang dulu romantis, sampai detik ini ia kenal sadis. Bara dendam sudah padam dengan cepat, namun permintaan maaf saat itu tidak begitu saja dimaafkan walau sudah mencoba. Dia sudah mengecewakan seseorang yang sudah menjadi sangat penting di negeri ini. Tidak ia butuhkan kehadirannya pada titik ini, jika ia muncul saat sukses Damian. Laki-laki itu akan bersedia ikut berpesta merayakan kebodohan sekaligus kecerdikkan Padma yang telah meninggalkan. Ia akan memberinya trofi dengan berlapis emas dan berlian, sebagai tanda penghargaan sandiwara pengkhianatan cinta selama satu tahun setengah.
Dalam tidurnya, ia terus menjelajah mimpi masa depan. Cukup lelah ia jelajahi sesaat masa lalu yang pedih. Ketika bangun, ia menulis setiap abstraksi mimpi. Masih ingat betul sebuah tulisan dahulu ia tempelkan pada dinding kamarnya. Tulisan tersebut masih ada, kertas putih mulai menguning, berdebu, dan usang. Tetapi tidak dengan maknanya. Kini sang penulis mati, atas cintanya, dan makna teks yang tidak pernah tersampaikan.
* * *
Kemenanganku atas kerinduan berawal dari kekalahan atas kerinduan pula
Rindu sedetik saja sakitnya bukan main
Tetapi, menang tidak rindu bukan berarti senangnya bukan main
Kebijaksanaan mengajarkan untuk tidak menganggap ini bukan permainan
Memahami, jangan ada yang jatuh dalam jurang tanda tanya
Biarlah kaki dan tangan patah karna tak mampu berlari dan bertindak
Namun masih ada pikiran yang dapat berkehendak
Bogor, 6 Juli 2006
Kota hujan yang dahulu disebut Buitenzorg.
Penulis : Muhammad Faiz Zaki
TAG: #cerpen #karya-sastra #romansa #