» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Alunan Gita Derita
29 Maret 2019 | Sastra & Seni | Dibaca 2412 kali
Terkutuklah kami berdua dan orang-orang seperti kami. Kemesraan yang terlarang oleh norma yang tidak dapat menerima kami. Ada apa dengan mereka yang menganggap kami berbeda? Sedangkan membuat kekacauan, kerusakan pun tidak. Ini hanyalah persoalan perasaan dan hati. Aku dan Gita ingin melukis surga sendiri.

Biasan cahaya oranye masuk dari jendela gedung lantai 20, membuat efek siluet hitam pekat nan estetik pada objek di ruangan ini. Ditambah instrumental piano di ruangan kerja terdengar sangat  merdu. Suaranya membawaku terombang-ambing dalam distorsi khayalan sore hari. River Flows in You. Ah iya, aku senang atas permainan jari-jari lincah milik Yiruma. Memang terasa sungai mengalir dalam diriku, kepenatan, stres beban kerja hari ini perlahan terbuang.

Terbayang juga pada sungai-sungai bersih di luar negeri sana yang sangat jenih mengalir membawa dedaunan kuning yang jatuh gugur dari pohon. Romantis sekali, aku beruntung di ruangan ini setiap sore walaupun pagi hari hampir selalu terkena ocehan dari Manajer. Di samping itu, aku memikirkan sesosok manusia yang aku rindukan sekarang.

Seketika diselingi dengan polusi suara dering telepon dari handphone milikku. Ternyata Jery. Di kepalaku langsung berdenging bagian pembuka instrumental karya komposer Beethoven pada Symphony No. 5 yang terkesan penuh dramatisasi. Berat hati kujawab panggilan darinya.

“Halo, sayang. Kamu udah makan?” ucapnya semangat.

“Belom, mau ngajak makan di luar?” tanyaku kembali dengan sedikit rasa malas.

“Iyaa dong, aku jemput ya. 30 menit nih ke kantor kamu, macet,” dari sana aku mendengar suara bel dari lift yang terbuka.

“Maaf ya, aku ngga bisa dulu. Ada urusan kantor yang masih penting,” sementara aku ingin menolak kehadirannya.

“Kok masih belom sele…” aku menyentuh bagian merah pada layar handphone.

“Daah.. sampe nanti,” ujarku mengakhiri sambungannya.

Aku menghela nafas, kuraih mouse komputerku untuk mematikan setelan lagu instrumental River Flows in You. Semua sudah selesai, aku membawa tas punggung dan berpamitan kepada Bang Mamat (Cleaning Service).

“Bang, aku duluan ya!”

Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangan dari balik pintu yang berkaca.

Waktu sudah menunjukkan


pukul 18.00 dan kini aku harus menunggu seseorang, bukan Jery.

“Pinkan!”

Aku menoleh ke arah pintu masuk gedung. Gita sudah datang. Pertemuan pada senja ini kami awali dengan cipika-cipiki. Ia menggandeng lenganku dan menuntun cepat untuk keluar dari sini. Ah aku bahagia akhirnya bertemu dengan manusia ini lagi. Langkah kami cepat, padahal kaki masih mengenakan sepatu hak setinggi 10 cm.

“Kita makan dimana sore ini?” tanya Gita si rambut pendek sebahu dengan lipstik merah darahnya yang solid.

“Seafood?”

“Yang lain dong, dua hari lalu kan udah?” pikirku bosan.

“Oke, martabak manis 8 rasa aja ya?”

“Seleramu bagus juga, yuk lah,” saran yang bagus, aku suka idenya.

Pergilah kami ke sebuah restoran langganan yang menyediakan menu martabak 8 rasa. Letaknya di pinggiran Selatan Kota Jakarta, macet. Gita mengemudi fokus ke depan, aku hanya memperhatikan wajahnya yang bercahaya karena lampu dan make up yang masih menempel elegan.

Sesampainya di sana kami berdua duduk di bagian outdoor restoran. Martabak 8 rasa dengan minuman jus alpukat milik Gita, dan jus sirsak milikku. Bagi yang melihat kami mungkin yakin tidak akan habis, nyatanya porsi seperti ini adalah favorit bagi kami berdua setiap kencan makan martabak dengan porsi banyak. Tapi lebih aneh lagi orang-orang yang kadang memperhatikan kami seperti orang berpacaran, kami tidak berkomentar.

Bagi kami, setiap potongan ini memiliki filosofis. Tapi kami hanya senang rasa coklat, selain rasa dan warnanya kami suka efeknya. Menggairahkan. Kenikmatan tiada tara topping coklat pada lapisan martabaknya kadang membuat kami rebutan. Pernah juga makan pada satu garpu dari dua sisi sampai bibir saling bersentuhan dan saling membersihkan coklat yang tersisa.

“Apa kabar Frans, sehat?”

“Ya, tapi ibunya lagi kena DBD,” Gita tampak prihatin.

“Kalau ada waktu aku jenguk ibunya deh,” inisiatifku pada ibu pacarnya Gita.

“Hubungan kalian gimana?” Tanyaku lagi, kini ekspresi gita terlihat murung.

“B-Baik,” jawabannya tidak meyakinkan.

Gita membuang tatapannya padaku, ia menoleh ke arah kanan. Matanya sembab, pipinya memerah, dan air mata itu tidak terbendung. Mulai mengalir perlahan dari kelopak mata. Kusentuh kedua sisi pipinya dan kuarahkan pandangannya pada mataku. Aku bangkit dari kursi dan kuusap perlahan dengan jari, kupeluk ia ditengah meja kecil yang ada martabak di atasnya.

Punggungnya kuusap perlahan sampai bagian leher, tapi ia menahan kesakitan, “Aduh!”

Tanganku merasa ada bekas luka borok bulat tepat di bagian punggung belakang Gita yang tertutup oleh kemeja kantornya ini. Kuintip sedikit dan ternyata benar.

“Frans merasa aneh sama hubungan kita, padahal gak ada yang aneh sama sekali ‘kan? Dia udah curiga semenjak aku pertama kali pacaran. Waktu dia ngerokok, dia peluk aku. Pelukannya dia aku rasa nyaman, tapi gak serasa nyaman sama kamu, Pinkan. Saat itu juga gak terduga ujung rokoknya mendarat dipunggungku, aku jerit kesakitan dan masih tahan meluk Frans.”

“Dia bisik di aku, katanya cintailah hanya padaku seorang lelaki sejati, perjaka, dan kuat, gagah ini. Bukan sama sahabat perempuanmu itu. Aku mencintai kamu murni atas cinta untuk menuntunmu,” perkataan Frans kepada Gita membuat hatiku tersayat, perih sekali.

Gita masih mengeluh di telinga kananku, tanpa sadar rasa empatiku menjadi penghancur bendungan air mata. Kini aku juga ikut menangis, “Tenang ya, kita tetep biasa aja. Mereka yang anggap kita aneh.”

“Kamu juga terlihat ga baik Pinkan,” ia tahu aku menutupi kesedihan agar aku terlihat tegar.

“Jery udah ngelamar aku, tapi aku masih gantung jawabannya. Bukan soal hartanya yang melimpah 7 turunan dari perusahaan keluarganya, tapi perasaan ini Git.” Sekarang Gita yang semakin memelukku erat. Karena secara spontan aku bercerita blak-blakan seperti itu.

“Aku cinta sama Jery, banget. Tapi aku juga gak mau kehilangan kamu di sampingku, Gita. Kalau aku ngasih keputusan, berarti aku cuma harus pilih satu. Jery atau kamu.” Air mataku mengalir makin deras.

Kami berdua duduk kembali, mengusap air mata masing-masing dengan tisu. Perasaan ini tidak terelakkan, semakin hari semakin ingin memberontak dan jujur sejujurnya. Aku juga merasakannya pada Gita. Suasana menjadi sepi, api di atas lilin yang di depan kami masih menari bersama angin.

* * *

Aku menginginkan kehadiran Jery dan Gita disampingku. Gita menginginkan juga kehadiran Frans dan aku di sampingnya. Kami berdua harus memilih salah satu yang tidak dapat kami pilih karena ketidaklengkapannya. Bahkan perasaanku dengan Gita melebihi cinta kepada Jery ataupun Frans.

Terkutuklah kami berdua dan orang-orang seperti kami. Kemesraan yang terlarang oleh norma yang tidak dapat menerima kami. Jeritan sumpah serapah ini memaki dalam hati sampai merasa panas terbakar yang perih.

Aku dan orang-orang sepertiku di atas dunia ini butuh pertolongan dan keadilan. Ada apa dengan mereka yang menganggap kami berbeda? Sedangkan membuat kekacauan, kerusakan pun tidak. Ini hanyalah persoalan perasaan dan hati. Aku dan Gita ingin melukis surga sendiri.

Kini aku tergeletak di kasur, masih mengenakan kemeja kantor seperti saat makan malam tadi. Aku melihat handphone, 13 panggilan tidak terjawab dan 51 pesan masuk dari Jery. Aku abaikan semua itu. Nama Gita kucari, aku hubungi dia.

“Gita?”

“Pinkan?” jawabnya.

“Udah mau tidur?” tanyaku memastikan. Aku harap belum.

“Iya, aku capek,” nada suaranya sudah sangat kecil.

“Yaudah, good night Gita,” kuakhiri telepon.

Aku bangkit meraih laptop, menyalakannya dan memutar instrumen piano saat di kantor tadi. Lampu kamar kumatikan dan hanya lampu tidur berwarna oranye yang redup untuk pengantar tidur. Setidaknya dapat menyejukkan lagi dari River Flows in You.

Penulis: Faiz Zaki


TAG#cerpen  #  #  #