Sebuah refleksi akan keberanian kita membela tanah air, kecintaan dan rasa bangga kita akan negara ini yang seharunya dibuktikan dengan terus berkarya dan bermanfaat bagi sesama. Bukannya bertindak apatis, dan menghambakan diri akan pesona dari negara lain.
retorika.id - Belum bergerak tangan dan kakiku untuk Indonesia. Selama hidupku, yang kulakukan adalah nol. Tidak ada. Terimakasih kepada otak kecilku, yang mampu menghentikan laju gerak mulutku untuk terus mengkritik. Mencaci maki Jokowi pemerintah. Salah untuk tidak merasa sungkan dengan mereka yang merebut kemenangan. Keliru bersikap diam seperti batu.
Jika kau bertanya apa yang telah Indonesia berikan padamu. Jika kau bertanya apa yang telah presiden lakukan untukmu. Kau harusnya berpikir. Pantaskah kau mendapatkannya? Memangnya di mana kau menginjakkan kakimu sekarang?
Di balik punggungku, seorang remaja menangis karena tidak bisa
ikut sebagai pasukan kibar bendera. Seorang pria yang menangis haru karena adik adik mereka juara sepakbola. Seorang pejabat yang bergetar suaranya membaca proklamasi kemerdekaan. Seorang ibu yang rela menunggu pulangnya anak mereka dari tugas negara.
Aku malu ketika aku tak ingin kepanasan untuk upacara dan ada orang lain yang kehilangan nyawa demi Indonesia. Aku malu ketika aku tak tergerak mengingatkan orang lain dan ada yang diculik demi menyuarakan kebenaran. Ketika aku malas berjalan ke lapangan untuk upacara. Ada mereka yang merangkak dan tak lelah mengejar kemerdekaan.
Rasa nasionalis, patriotik hanyalah ada di dalam diriku sendiri. Ketika aku malu untuk sekadar menyampaikannya bahkan untuk sekedar mengakuinya, ada orang lain yang hilang bak ditelan bumi demi memperjuangkan suara rakyat. Tidak seberat kapas pun perjuanganku untuk Indonesia. Namun Indonesia memberikan semuanya dengan cuma-cuma untukku. Lebih luas dari apa yang aku inginkan, lebih besar dari apa yang aku butuhkan.
Saat aku hanya memikirkan bagaimana aku bisa kaya, aku lupa bahwa sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya raya. Tamparan untuk orang orang sepertiku, yang lupa akan jati diri bangsa. Terlalu sering mendongak melihat jendela dan lupa akan rumah sendiri.Tugas kita tidak hanya tidur dan mencari makan lalu menuntut hiburan. Menjaga, menghormati dan menjunjung tanah air. Tanah kita bersama.
Ada mereka yang sibuk bekerja keras agar merah tetap membara dan putih tetap suci. Kita tidak perlu mencampuri dengan warna lain. Tak perlu mengotorinya. Aku seharusnya malu membangun tembok tinggi tinggi. Menutup diri dan tak ambil peduli. Mengasingkan diri ke luar negeri berharap menemukan kesenangan diri.
Padahal inilah kesenangan kita. Indonesia adalah kesenangan kita semua. Bersama-sama kita bangun Indonesia. Indonesia merdeka.
Indonesia jaya !
Dirgahayu ke 73 Republik Indonesiaku !.
Penulis : Shania Amalia
TAG: #cerpen #karya-sastra #pemerintahan #sosial