» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Malaikat Pelindungku
22 Desember 2019 | Sastra & Seni | Dibaca 2753 kali
Ibu dan Anak: Hari Ibu Foto: Pinterest.com

retorika.id - Malam itu, meski bintang bersinar terang hatiku redup sepenuhnya. Di pinggir gang kecil nan gelap, aku merasakan kepedihan di hati ibu, meski air matanya tak dapat kulihat karena tak ada penerangan. Isaknya membuat dadaku sesak. Di ujung gang itu, kulihat sosok tinggi tegap membelakangi ibuku, rupanya ayah telah pergi membawa kedua kakak laki-lakiku.

Umurku baru 5 tahun, tetapi Tuhan seolah mendewasakan pikiranku. Ibu masih terisak, dan aku masih berdiri mematung. Entah, apa yang harus kulakukan?

Mentari bersinar sangat indah, seolah lupa dengan kejadian malam kemarin. Ibu yang tersadar melihatku, langsung mengusap air matanya. Malam itu, ibu menyanyikan sebuah syair untukku…

Anakku sayang

Anakku Rendi

Permata yang membahagiakan

Jadilah terang di antara manusia

Keras kau tempa perjalanan

Ingatlah, ibu selalu di sampingmu

Tentu aku tak mengerti maksudnya, tetapi syair itu seperti obat tidur yang membuatku terlelap.

Aku mencari ibu, ia sedang sibuk menyiapkan barang dagangannya. Sambil menggendong tubuhku, ia menawarkan gorengannya ke beberapa rumah. Aku ingin turun, bukankah tubuhku berat?

“Ibu… apa Lendi tidak belat? Lendi jalan saja”

“Jangan, nanti kau hilang. Ibu tak bisa terus-menerus melihatmu (mengawasi) Rendi.”

“Tapi Lendi bisa bantu ibu”

“Tidak Nak, kau diam saja. Jangan ganggu ibu bekerja.”

Begitulah ibu, meski beliau terlihat egois dan jahat, tetapi sebenarnya aku tahu, ia sangat menyayangiku.

Enam tahun berlalu. Tak serasa aku sudah menjadi murid kelas 5 yang tauladan di sekolah. Ibu selalu bangga saat melihat nilai raportku. Apalagi jika aku berada di peringkat tiga besar, ia akan menceritakannya kepada tetangga-tetangga, jujur aku sangat malu meski sebenarnya tidak ada hal yang harus dipermalukan.

Lambat laun, aku pun menyadari. Selama tinggal bersama ibu, rasanya aku selalu dikekang. Ibu seringkali memarahiku jika bermain dengan teman-temanku. Apalagi jika itu teman laki-laki. Ia bahkan memarahi teman-temanku yang berkunjung ke rumah untuk menjemputku bermain. Dengan lantang ia akan berteriak “Tidak usah ajak-ajak Rendi. Main sendiri sana! Dan jangan kembali lagi!”. Begitulah Ibu, dan aku tak pernah berani bertanya ataupun melawannya. Alhasil, aku dijauhi oleh teman laki-lakiku. Itulah sebabmya, mau tidak mau aku banyak berteman dengan teman perempuan.

Ibu selalu menyuruhku belajar dan mengaji. Bahkan, pernah saat aku pulang terlambat karena piket membersihkan kelas, ibu menjemputku, memarahiku meski aku sudah menjelaskan bahwa piket tersebut wajib dilakukan oleh semua anak. Dan itu perintah dari wali kelas. Tetapi ibu menolak jawabanku. Dan terus memarahiku.

Sebenarnya akupun tak masalah jika beliau memerintahkan aku untuk membantu pekerjaan rumah, bahkan berbelanja sekalipun. Meski tetangga-tetangga sering mengolokku, “Loh Rendi, pinternya. Mana istrinya? Sudah seperti bapak-bapak ya, suami saya saja gak nurut kalau disuruh hahaha”

“Loh Ren, disuruh ibumu lagi? Mau saja kamu ini, itukan tugas perempuan.” Aku tak peduli, aku hanya harus menutup telinga.

Sampai pada suatu saat, aku mulai sadar. Sikap ibu ini sangat keterlaluan. Satu tahun setelah aku menginjak kelas 6 SD. Pastinya guru-guru memberikan tugas kelompok untuk ujian praktik. Akupun bertanya kepada ibu untuk memohon izin darinya. Tetapi, jawabannya sudah sangat tertebak.

“Tidak boleh! Kau ini pakai alasan kerja kelompok! Bilang saja kau ingin main kan? Kau sudah malas membantu ibu?”

“Sungguh bu, aku ada ujian praktik. Aku tidak akan melalaikan pekerjaan rumah kok.”

“Bohong kau! Kecil-kecil sudah jadi penipu. Mau jadi apa kau? Jujur pada ibu, kau hanya ingin bermain dengan teman-temanmu. Tidak ada yang namanya kerja kelompok-kerja kelompok. Sudah sana, kembali ke kamarmu. Ibu mau masak!”

Aku terisak dibawah bantalku. Rasanya seperti di penjara. Ibu selalu mengurungku untuk belajar, bahkan untuk mencari hiburan aku hanya dapat melihat TV. Terkadang aku iri


melihat teman-temanku bermain di luar atau menggunakan HP-nya untuk bermain. Ah andai ibu tahu, aku sudah menuruti segala kemauannya. Bahkan aku sudah meminta izin untuk sekedar kerja kelompok. Aku bahkan tak pernah meminta yang aneh-aneh meski aku sangat ingin memiliki HP seperti teman-temanku. Tetapi aku tahu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja ibu harus banting tulang sampai larut malam.

Esok harinya, teman-teman melaporkanku kepada guru Bahasa Indonesia kami karena aku tak ikut serta mengerjakan tugas drama. Bu guru sempat tak percaya aduan tersebut karena memercayaiku sebagai murid tauladan. Tetapi kemudian, aku menceritakan kebenarannya. Aku sungguh tak peduli meski bu guru tak memercayai penjelasanku sekalipun. Bahkan aku sudah pasrah jika beliau tak mau mendengarkanku dan mengatakanku sebagai pembual. Tetapi, bu guru jutsru iba terhadapku dan malah ingin membantuku untuk membicarakan hal ini kepada ibu. Sebab selama ini ia juga curiga, mengapa aku tidak memiliki banyak teman laki-laki? padahal etikaku juga bagus di sekolah. Awalnya aku memang tak yakin, takut ibu marah besar. Namun, aku berpikir untuk tidak diam saja. Selama ini aku selalu diam dan takut menghadapi ibu, tetapi kali ini ada bu guru yang akan menolongku.

Sore harinya, Bu Diah, guru Bahasa Indonesia, dan Ibu berbincang bersama. Ibu sempat kaget karena takut aku membuat masalah di sekolah. Tetapi Bu Diah menenangkan ibu dan menjelaskan maksud kedatangannya. Ibu sepertinya luluh dengan penjelasan Bu Diah. Ia pun mulai mengizinkanku untuk pulang sedikit terlambat jika aku ada tugas kerja kelompok. Bahkan berkat bu Diah, aku pun dapat mengikuti acara pramuka di sekolah tahun ini. Padahal di tahun-tahun sebelumnya aku selalu izin atau membuat alasan untuk tidak mengikuti acara tersebut. Tentunya itu atas perintah ibu.

Baru saja aku merasakan kesenangan beberapa hari ini, karena ibu sedikit memberikan kelonggaran untukku. Tiba-tiba malam itu merenggut segalanya, hari sebelum aku berangkat ke Malang untuk berkemah esok hari.

Seseorang mengetuk pintu rumahku. Saat aku membukanya, rupanya orang tersebut tidak sendiri. Laki-laki paruh baya itu membawa dua remaja laki-laki. Sejenak, saat aku menatapnya. Tiba-tiba ibu muncul di belakangku, “Siapa?” Dan kalimat itulah yang menjadi pembuka peperangan ini.

“Kamu! Kamu kenapa ke sini? hah! Pergi kamu! Pergi.” Sambil berteriak, ibu menarik lenganku dengan kencang dan menutup pintu dengan kencang. Terlambat, laki-laki itu lebih dulu menahannya. “Nur, kamu tidak bisa begini Nur. Aku hanya ingin menemui anakku. Apa kamu juga tidak rindu dengan Raka dan Agam?”

“Persetan! Pergi sana. Aku tidak ingin melihat kalian. Bahkan nama kalian saja, tidak tercantum dalam kartu keluarga kami.”

“Jangan begini Nur. Jangan egois. Aku ayah Rendi. Aku berhak menemuinya!”

“Untuk apa hah? Pergi! Pergi! Kau sudah mendapatkan Raka dan Agam. Jangan ambil Rendi juga dariku.”

“Ibu Ibu….ini Agam dan Raka, Bu”

“Pergi! Pergi! Tidak! Ayo Rendi, masuk. Masuk ke kamarmu. Jangan mendengarkan mereka”

“Tapi Bu, bukankah itu Ayah dan juga kakak-kakakku? Bu, Rendi sudah lama tidak melihat mereka.”

“Tidak Ren! Jangan buka pintu itu. Sekali kau bertemu dengan mereka. Aku bukan ibumu lagi”

“Kenapa ibu begitu egois? Kenapa Bu? Aku benci sekali dengan Ibu.”

“Berani kau bilang seperti itu pada ibumu Hah?” Kemudian, ibu menampar pipiku.

Sungguh aku terkejut, dan langsung masuk ke kamarku. Aku mendengar ibu memaki dan mengusir ayah serta kakak-kakakku. Tak lama kemudian, keributan berhenti. Sepertinya mereka telah pergi. Aku kembali menangis. Ya, aku tak peduli disebut cengeng meski aku laki-laki. Dunia ini rasanya tidak adil bagiku. Aku ingin ikut ayah dan kakak-kakak saja. Kenapa ibu melarangku bertemu dengan mereka? Sedendam itukah ibu pada mereka? Lalu, kenapa membawa-bawa aku dengan masalah ini? Ah aku terlalu dini untuk mengerti permasalahan ini. Saat aku masih terisak, ibu berkata di depan pintu kamarku.

“Ren, besok kau di rumah saja ya. Tidak usah ikut acara kemah sekolah.”

Aku hanya mendengar kalimat ibu, tanpa suara, tanpa penolakan. Seperti yang selalu aku lakukan, aku masih takut dengan ibu. Walaupun begitu, aku pikir aku harus berpikir maju. Tidak bisa, tidak bisa terus begini. Aku berencana untuk tetap mengikuti acara kemah sekolah. Aku bahkan sudah menyiapkan segala perlengkapanku. Tega sekali ibu mematahkan harapanku.

Pukul 01.00 pagi aku berencana untuk menunggu di sekolah sampai bus keberangkatan tiba. Aku pikir, aku akan benar-benar meninggalkan ibu. Aku sudah tidak tahan dengan segala aturan ibu. Aku sudah muak. Maka aku berencana, setelah kemah nanti, aku tidak ingin pulang ke rumah. Biar aku jadi gelandangan sekalipun, aku tidak peduli. Aku benci sekali pada ibu. 

Pukul 06.00 pagi bus menuju Malang tiba. Aku bersyukur ibu tidak datang menjemputku. Padahal, aku sangat khawatir jika ia menemukanku sejak subuh tadi. Rupanya, ia belum menemukanku atau bisa jadi ia tidak mencariku. Tetapi, perasaan syukurku itu pada akhirnya justru menjadi penyesalan paling menyakitkan dalam hidupku.  

Pukul 07.00 Bu Diah mengabarkan sesuatu yang mengguncang hatiku.

“Ren, yang tabah ya Nak. Ibu baru dapat kabar dari rumah sakit kalau ibumu telah tiada.”

Mendengar kabar tersebut aku seolah tak percaya. Bagaimana bisa? Ibu… Kenapa? Kenapa bisa begini. Hatiku hancur sehancur-hancurnya. Ini mustahil….

“Ibu akan antar kamu ke rumah sakit ya Ren, kebetulan suami saya mengendarai mobil untuk mengikuti bis ini ke Malang.” Aku hanya menuruti instruksi bu Diah dengan tatapan kosong. Sekaligus ingin mengucapkan terima kasih, tetapi suaraku tercekat. Bernafas pun rasanya susah. Aku begitu terguncang.

Setibanya di Rumah Sakit, dokter memberikan belasungkawa kepadaku. Kemudian, dari arah belakang seseorang yang memakai seragam kepolisian tiba-tiba menyerahkan bungkusan kresek kepadaku. “Sebelumnya kami turut berduka cita atas meninggalnya ibu anda. Bungkusan ini kami temukan digenggaman erat tangan ibu anda. Kami menduga, ibu anda dirampok oleh seseorang dan berusaha untuk mempertahankan bungkusan tersebut. Bisa jadi ada sedikit pertikaian antara ibu anda dan si pelaku. Kemudian karena terkejut dan tidak sengaja menusuk ibu anda dengan pisau, si pelaku pun kabur dan meninggalkan ibu anda di lokasi kejadian. Diperkirakan ibu anda meninggal pada pukul 02.00 pagi.”

Aku tak habis pikir dengan polisi ini, bagaimana bisa dia menjelaskan kronologi kejadian terhadap anak berusia 11 tahun yang baru shock mendengar ibunya meninggal dunia. Sungguh, sedikitpun aku tidak bisa mencerna perkataan sang polisi. Aku hanya terpaku dan tidak memercainya, baru kemarin aku bertengkar hebat dengan ibu. Baru kemarin ibu berbicara padaku. Baru kemarin ibu baru saja memberikan sedikit kelonggaran waktu bermain ataupun kerja kelompok dengan temanku. Baru kemarin, ibu, malaikat yang melahirkanku sedikit mengubah sikapnya lebih lemah lembut sebelum kejadian itu tiba. Kejadian saat ayah dan kakak-kakakku datang ke rumah. Ibu kemudian berubah, dan membuatku membencinya kembali. Kenapa? Kenapa?

Akhirnya, air mataku keluar. Aku berteriak… tak peduli orang-orang disekitarku. Bu Diah, memelukku, berusaha menenangkanku. Tidak, tidak bisa. Ini semua salahku. Kenapa aku harus membantah perkataan ibu? Kenapa aku tidak menuruti perkataan ibu saja untuk tetap tinggal di rumah? Kenapa? Ya Tuhan, seandainya aku tidak pergi saat itu, ibu tak mungkin mencariku hingga muncul kejadian ini. Kenapa?

Barulah satu jam kemudian, aku bisa kembali tenang. Tetapi, tidak berkata apa-apa. Bu Diah yang menungguku dari tadi juga tak berani berbicara. Ia hanya menatapku iba. Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk bicara.

“Kenapa?” dengan suara serak parau aku berusaha meredam tangisku. Kali ini aku hanya ingin mendengar kronologi kejadian yang diceritakan polisi tadi. Jujur saat itu aku tidak mampu memahami kalimatnya. Kemudian Bu Diah yang juga sudah mendengar keterangan dari polisi, berusaha menjelaskan kepadaku. Kini emosiku jauh lebih stabil dibanding satu jam yang lalu. Kemudian aku bertanya kembali. Menyatakan kata yang sama dengan maksud pertanyaan yang berbeda.

“Kenapa?” Bu Diah bingung mendengar jawabanku.

“Apakah kamu kurang paham dengan kronologi kejadian yang ibu ceritakan?”

“Kenapa ibuku pergi tanpa meninggalkan penjelasan sedikitpun. Kenapa dia pergi meninggalkanku bu? Kenapa?”

“Oh Rendi, maafkan ibu Ren, tenanglah, tenanglah. Kau tidak sendirian.”

“Duni…a i…ni ti…dak a..dil ba..gi..ku bu huhuhu…” Aku pun mulai tergugu.

“Tidak Ren, tidak. Jangan berpikir seperti itu.”

“Ibu.. pergi.. tanpa.. me..ning..galka..n penje…la..sa..n apa..pu..n”

Seolah teringat sesuatu, Bu Diah mengambil bungkusan kresek di tasnya. Aku hanya tergugu, Nampak kebingungan.

“Masihkah kau ingat dengan bungkusan yang diberikan pak polisi padamu Ren?”

Aku terdiam, kemudian Bu Diah menyerahkan bungkusan itu padaku.“Bungkusan itu berupa HP Ren, sepertinya itu HP baru yang ingin ibumu berikan. Di dalamnya juga terdapat surat, yang barangkali menjawab pertanyaanmu. Jujur ibu tidak berani membukanya.”

“Te.. ri..ma..ka..sih ba..nyak Bu”

“Ya. Kau boleh membacanya jika kau sudah siap Ren. Ibu tidak ingin kau shock lagi.”

Aku pun mengangguk, merespon pertanyaan Bu Diah, bahwa aku telah siap.

Ku buka surat ibu perlahan, dan membacanya dalam hati.

 

Untuk: Anakku Rendi

Oh anakku sayang, anakku Rendi. Selamat ulang tahun, ibu hendak memberikannya padamu saat kau berangkat berkemah besok. Maafkan ibu yang selalu jahat padamu. Maafkan ibu yang selalu menyuruhmu. Maafkan ibu yang tak memperbolehkanmu bermain seperti anak-anak selainnya. Ibu sadar bahwa ibu salah. Sejujurnya, ibu teramat takut, Nak. Maafkan ibu yang bahkan tidak menjauhkanmu dengan ayah dan kakak-kakakmu. Seandainya kau paham Nak, kebenaran itu belum bisa ibu ungkapkan. Ibu amat takut karena usiamu masih sangat kecil, orang bilang masa-masa itu adalah masa emas karena kenangan itulah yang akan selalu kau ingat. Tetapi, kenyatannya ibu malah memberikan kenangan-kenangan pahit padamu bukan? Maafkan ibu, Nak.

Ren, jika kau ingin tahu penjelasannya ibu akan bercerita di sini saja ya… Ibu tak kuat jika harus menjelaskannya langsung padamu.

Ren, malam itu, saat kau melihat ayah dan kakak-kakakmu pergi. Ibu memang mengusir mereka. Bukan, bukan karena ibu tidak sayang. Ibu justru melindungi mu dari lingkungan yang jahat. Seandainya kau tahu, ayahmu adalah penjual narkotika, suka berjudi, dan memainkan perempuan. Agh, ibu tak tahu apa kau paham maksud ibu? Rasanya ibu tak pantas menceritakan ini. Tetapi, ibu yakin kau pasti butuh penjelasan bukan?

Saat kau masih kecil, Ibu baru mengerti bahwa ayahmu melakukan hal yang tidak benar. Bahkan memanfaatkan kedua kakakmu sebagai penjual. Ibu telah memperingatkan Raka dan Agam agar tidak melakukan hal bodoh itu. Tetapi mereka malah mendorong ibu, ibu amat tersentak. Mereka tak mendengarkan kata-kata Ibu. Hari-hari selanjutnya, ibu akhirnya mengerti rencana busuk mereka. Mereka ingin pergi meninggalkan ibu. Jujur, sungguh ibu tak masalah meski hal tersebut menyakitkan. Tetapi, ibu.. ibu tak rela jika mereka harus membawamu. Masa depanmu masih panjang Nak. Kaulah harapan ibu satu-satunya. Karena peristiwa itu, maka jadilah sifat ibu yang seperti ini. Mengekangmu, bahkan tak membolehkanmu bermain.

Ren, saat itu kau masih polos. Pikiranmu masih labil. Ibu takut kau akan terperanguh dengan teman-temanmu. Seandainya kau tahu, buruknya lingkungan di rumah kita. Bahkan kau pernah merasakannya bukan? Diejek oleh tetangga-tetangga. Maafkan jika ibu pura-pura tidak tahu. Tetapi, asal kau tahu. Ibu sangat bangga padamu, kau sudah berusaha keras. Oleh karena itu, ibu sebenarnya juga tak ingin kau berada di lingkungan yang buruk. Temanmu, kalau boleh ibu bercerita. Dia sudah pandai merokok, tak hanya itu. Bahkan ibu sering melihat mereka bersama kakak-kakakmu. Menjadi bandar narkoba. Ren, sungguh tak apa jika kau tak memercainya. Tetapi ibu mu bersumpah pernah melihat mereka berdagang barang haram itu.

Itulah, itulah alasannya ibu bersikap seperti ini. Maafkan ibu, maafkan segala kesalahan ibu. Aku harap kau mengerti anakku. Ingatlah ibu disampingmu. Semoga hadiah HP ini bermanfaat untukmu.

 

Dan air mata jatuh sederas-derasnya. Karena sebuah penyesalan dan keegoisan. Karena bentuk rasa cinta dari seorang Ibu. Malaikat tanpa sayap yang berusaha melindungi anaknya.

 

Penulis: Aisyah Amira Wakang


TAG#cerpen  #karya-sastra  #  #