Tuhan benar-benar tidak habis ide membuatku terkejut. Aku tidak akan membiarkannya pergi seperti ini. Dia harus pulih apapun yang terjadi. Aku menghirup napas dalam-dalam, lantas mengumpulkan semua kekuatanku untuk melakukan permintaannya. Aksa tersenyum. Ia menyuruhku melanjutkannya. “Empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan.†Baiklah, inilah yang bisa kulakukan untuknya. Hanya ini. “Aku melepaskanmu, Sa. Sepuluh.â€
retorika.id- Siang ini hujan turun lagi. Hanya butuh setengah jam untuknya kembali menghujam bumi. Dan aku masih duduk di dalam kafe, bermusikkan lagu kekinian, menunggu seseorang. Sudah hampir satu jam pintu kafe tidak terbuka oleh satu pun pengunjung, aku mulai jenuh.
Jadi, dia akan datang atau tidak?
“Mari berhitung sampai sepuluh, Neer.”
Aku menghirup napas dalam-dalam. Meneguk sekali lagi cappuccino hangat yang sudah mulai habis.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan,”
Aku memejamkan mata. Bodoh. Sungguh bodoh.
Sudah berapa kali aku berhitung seperti ini? Ujung-ujungnya angka sepuluh itu tidak pernah sampai di bibir.
Ya, aku takut. Aku terlalu takut melihat kenyataan di Februari ini semua cerita akan berakhir. Setahun lebih aku mencoba meyakinkannya, dia tetap akan memilih pergi.
Pergi? Dia bahkan tidak pernah benar-benar datang. Bodoh sekali aku bisa percaya jika dia akan melupakan Runa. Sungguh setahun yang terbuang sia-sia.
Aku kembali meneguhkan hati, mulai menghirup napas dalam-dalam.
“Ayo, berhitung sekali lagi, Neer.”
“Astaga, memangnya kamu mau berhitung sampai berapa kali lagi, Neer? Kamu bahkan sudah menghabiskan tiga cangkir cappuccino, loh. Berhenti jadi orang bodoh!” Elsa membanting nampan kayunya, membuatku dan beberapa pengunjung kafe yang terjebak hujan terkejut.
Gadis berambut pendek itu duduk di depanku. Ia sudah tidak peduli lagi apa konsekuensi yang harus diterimanya ketika bos-nya tahu. Wajah geramnya sudah menjawab. Dia naik pitam melihatku yang tidak pernah berhenti berharap.
“Aksa adalah Aksa. Kamu tahu sendiri betapa lamanya dia menyukai Runa. Bahkan ketika Runa sekarat, dia ikutan sekarat. Bahkan ketika Runa pergi, Aksa juga ingin menyusulnya. Mereka tidak terpisahkan, Neer. Kamu hanya membuang-buang waktu dengan menanti orang itu,” tegas Elsa dengan nasehat yang tidak pernah berubah.
Aku tertawa miris. Setengah setuju, setengah lagi tidak.
“Kapan nasihatmu akan berubah, Sa?”
Elsa menggeleng dengan tegas, itu artinya tidak akan pernah terjadi. “Minggu depan pendaftaran beasiswa yang kamu impikan akan ditutup. Cukup tahun kemarin saja, akibat keras kepalamu itu kamu kehilangan masa depan. Sekarang, benar-benar berhitunglah sampai sepuluh, Neer.”
Elsa menatapku dalam, lebih dalam dalam dari biasanya. Sorot matanya seolah menegaskan ini akan menjadi nasehat terakhir darinya.
Aku meneguk kembali cappuccino terakhirku. Sembari menghirup napas dalam-dalam, aku memantapkan hati.
“Sepuluh.” Ujarku dalam hati, mengakhiri penantian panjang ini.
***
Dua tahun berlalu sejak cerita lama itu selesai. Kini aku sedang menikmati secangkir kopi hitam, menatap gugusan gunung es bersalju nan jauh di sana. Alunan piano milik Daniel menggema, mengiringi pagiku yang terlihat sempurna.
Aku tersenyum takjub. Mungkin akan selalu takjub, seolah pemandangan pagi seperti ini adalah pertama kalinya bagiku.
Swedia adalah negara dengan rupa yang menawan. Udara yang sejuk, pemandangan gunung es bersalju, orang-orang hangat yang gemar berternak dan berkebun. Astaga, negeri ini tidak pernah membuatku bosan berlama-lama menikmati semua itu. Pasti akan sempurna jika aku menghabiskan masa tua di sini.
Drrt. Drrt.
Satu pesan dari Daniel muncul di layar ponselku.
Morning, Neer. Aku harap pagimu menyenangkan. Aku tidak percaya bisa bangun sepagi ini. Tapi, percayalah sejak semalam aku memang susah terlelap hanya untuk menantikan malam ini. Pastikan kamu sudah menyiapkan jawaban terbaiknya, Neer. Jag älskar dig.
Pesan dari Daniel membuatku tersenyum sekali lagi. Dia tidak pernah gagal membuat hariku bernyawa. Berkat Daniel lah, Swedia tidak pernah terasa asing. Dia membantuku berjalan keluar dari perasaan yang pernah pupus. Perasaan yang sudah mati sejak Daniel
ada.
Malam ini adalah malam yang istimewa. Selain memberikan Daniel sebuah jawaban, malam nanti untuk pertama kalinya aku akan memainkan karyaku di depan ribuan orang. Teater Slotts yang akan menjadi saksinya. Bagi para musikus, bermain di sana adalah mimpi yang bukan main-main. Tidak terbayangkan bagaimana hidup seseorang akan berubah 180o setelah malam megah itu terjadi.
Dan aku sudah siap dengan itu, sebelum akhirnya Elsa mengabariku beberapa menit kemudian.
“Kamu sudah sampai, Sa?” tanyaku setelah mengangkat teleponnya.
“Aku sudah sampai dari semalam. Ada yang harus aku beritahu padamu, Neer.”
“Ada apa? Kamu lagi ada masalah di sini?”
“Bukan.”
Hening tiba-tiba mengisi kekosongan sambungan telepon kami. Elsa masih belum berbicara.
“Kenapa, Sa?”
“Aksa datang.”
Tubuhku membeku demi mendengar namanya disebut. Nama lama yang tidak ingin kukenal lagi. Sebelum aku berniat menghentikan pembicaraan ini, Elsa sudah melanjutkan kalimatnya.
“Aku memang memberitahunya jika kamu memiliki pertunjukan spesial malam ini. Tapi, tidak kusangka dia akan datang juga, Neer. Dia bahkan sudah mendapatkan tiketnya.”
Pikiranku menjadi kacau. Banyak pertanyaan yang saat ini meracau setelah mendengar penjelasan dari Elsa. Untuk apa dia datang jauh-jauh ke sini? Dia bahkan tidak memeritahuku, jadi untuk apa? Apakah ada yang ingin ia beritahu padaku? Apa dia sengaja ingin membuat pertunjukanku kacau dengan kedatangannya? Tapi, itu bukan Aksa yang aku kenal. Jadi, untuk apa dia datang, Tuhan?
“Dia ingin memberitahumu sesuatu, Neer. Ada satu hal yang belum sempat ia beritahu padamu dulu. Itulah kenapa dia datang ke sini, malam nanti.”
Seolah mengetahui pertanyaan yang saat ini menggangguku, Elsa sudah lebih dulu menjawabnya. Namun, bagaimana pun juga itu masih belum menjawab semuanya.
Tidak ada lagi hal yang ingin Elsa beritahu lagi. Sampai sekarang pun dia masih belum mendapat kabar dari pria itu. Seharusnya tidak ada alasan kan bagiku untuk mencemaskan soal ini? Tidak seharusnya jantungku berdegup tidak karuan seperti ini. Nama itu sudah lama mati. Seharusnya.
Apa hanya aku saja yang tidak sadar? Meski sudah dua tahun, aku masih belum merelakan namanya terdengar tanpa rasa.
***
Malam ini, teater Slotts ramai dihadiri oleh ribuan orang. Dalam balutan gaun bernuansa putih, aku mulai berjalan menuju tengah panggung. Sebuah piano sudah bertengger di sana. Melirik ke barisan depan, aku melihat Daniel dan Elsa yang duduk bersebelahan, mereka tersenyum bangga melihatku.
Duduk di depan piano, aku kembali melihat ke arah penonton. Hanya ada wajah orang-orang asing yang sebagian besar memenuhi teater. Tidak kulihat Aksa sama sekali di sana.
Dua lampu dari atas, menyorotku yang terlihat bersiap-siap memainkan alunan indah dari benda bermelodi ini. Namun, nyatanya pikiranku masih dipenuhi oleh Aksa. Dua tahun dikecewakan, aku masih menjadi orang bodoh yang menunggunya datang. Bahkan di momen terpenting dalam hidupku sekarang.
Maka, inilah yang kulakukan sekarang.
Menghirup napas dalam-dalam, membiarkan perasaan marah, kecewa, dan menyesal berkecamuk di dalam dada. Sebuah kilas balik perjuangan bodohku pun akhirnya bermain-main mengisi ruang fantasi dari lagu yang mulai kumainkan. Melodi indah segera menggema ke seluruh sudut ruang teater.
Bagaimana Aksa sekarat setelah kepergian Runa. Aku yang datang lantas memeluknya erat. Kubiarkan hari-hariku yang seharusnya indah, justru terasa menyesakkan di sampingnya. Aksa adalah Aksa. Dia adalah pria yang sukar disuruh menyimpang. Untuk Runa, perasaannya akan terbawa sampai napas sudah tak lagi memberinya nyawa.
Satu tahun aku hanya dibuat kecewa. Tanpa sadar.
Satu tahun yang menyakitkan. Satu tahun yang tidak bermakna apapun dalam momen kehidupannya setelah kepergian Runa.
Alunan melodi yang aku ciptakan, seharusnya terdengar lembut. Lagu yang kumainkan seharusnya mampu memperkenalkan penonton kepada seorang Daniel yang menjadi penyembuh pupusku. Namun, sekali lagi Aksa membuatku lupa akan logikaku yang seharusnya aku lakukan. Lagu yang kumainkan justru memperkenalkan penonton pada seorang Aksa, yang meski setiap saat membuatku kecewa, rasaku padanya tidak bisa berkurang. Bodoh memang, namun inilah sedikit rasa yang sengaja kukubur namun belum kuraibkan.
Rasa yang sama sejak mengenalnya.
Permainanku akhirnya selesai. Banyak dari penonton sedikit bingung dengan lagu yang kumainkan. Itu sangat berbeda dengan tema konser yang seharusnya aku suguhkan. Namun, sambutan meriah segera kuterima. Sebanyak itu yang bingung, sebanyak itulah mereka berdiri sambil bertepuk tangan. Derai air mata dari para penonton meramaikan pertunjukan pertamaku.
Laguku selesai. Sepatah dua kata aku sampaikan terimakasih kepada para penonton yang telah hadir sebelum akhirnya aku kembali ke backstage.
Tanpa disangka, Elsa sudah menungguku di sana. Bahkan Daniel saja belum sampai. Namun, bukannya sambutan bangga yang aku terima darinya, gurat wajah gadis itu justru memberitahu ada kabar buruk.
Elsa meraih tanganku, menggenggamnya kuat-kuat. Aku bertanya kenapa.
“Aksa,”
Aku berkerut tidak mengerti. Cepat-cepat dia datang ke sini untuk sekali lagi memberitahu soal pria itu? Untuk apa? Pertunjukanku hampir kacau karenanya.
“Jangan bahas dia lagi, Sa. Aku akan menemui Daniel,” aku melepas genggaman Elsa tanpa ingin lagi mendengar apa yang sebenarnya sedikit hatiku tanya.
Namun, belum sempat aku berjalan meninggalkannya, Elsa kembali meraih tanganku. Raut wajahnya nampak serius kali ini.
“Aksa kecelakaan, dia koma. Kamu harus ke rumah sakit, Neer.”
Demi mendengar kabar buruk itu, degup jantungku seketika membeku. Pikiranku mendadak kosong, sukar mencerna kalimat Elsa. Hingga akhirnya Daniel datang, berseru menyapa kami tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
“What’s wrong here? Do you speak a serious thing now, guys? Hmm, aku rasa begitu. Oke, aku akan pergi dulu.”
Sebelum Daniel benar-benar menyingkir, aku meraih tangannya. Tolong maafkan manusia ini, Tuhan. Aku tahu, bodoh sekali aku masih memiliki rasa pada Aksa dan memilih untuk meninggalkan malam yang seharusnya menjadi istimewa antara aku dan Daniel. Namun, sudah cukup aku membohongi diriku sendiri. Nyatanya, dua tahun atau berapa tahun pun itu tidak akan pernah cukup untukku membiarkan nama Aksa terdengar tanpa rasa.
“Antar aku ke rumah sakit.”
Daniel masih belum mengerti dengan permintaanku. Namun, siapa yang peduli dengan itu. Aku sudah berlari sekencang mungkin, meninggalkan sepatu hak tinggiku sembarangan di sana. Elsa ikut menyusul, menyuruh Daniel segera bergegas.
Akhirnya, kami bertiga berlari bersama menuju tempat parkir. Melewati lorong teater dan orang-orang penting yang seharusnya aku sambut malam ini. Namun sekali lagi, siapa yang peduli dengan itu.
***
Dua hari sejak malam itu, aku masih duduk di sebelah Aksa. Kondisinya tidak berubah, masih koma bahkan setelah operasi berjalan lancar. Dokter terbaik di rumah sakit pusat Stockholmjuga tidak dapat memastikan bagaimana kondisi Aksa ke depannya.
Semua serba tidak pasti. Namun, tidak pastinya Aksa kali ini justru membuatku risau. Air mataku bahkan sudah mengering. Entah sudah seberapa buruk penampilanku setelah dua hari hanya meratapi kondisinya yang tidak kunjung pulih.
Daniel dan Elsa masih menunggu di luar.
Silakan kalian berkata buruk tentangku. Aku memang bodoh, aku akui itu. Dua tahun aku lari, ujung-ujungnya kepada Aksa lah aku kembali. Daniel adalah pria yang baik, sudah sepantasnya gadis yang lebih baik dariku yang harus menemaninya. Bukan aku.
“Aku pikir aku sudah sempurna melupakanmu, Sa. Tapi, mendengar namamu disebut saja sudah membuat jantungku berdebar. Bodoh sekali, kan.”
Hanya ini yang bisa aku lakukan. Mengajak seorang pasien bicara dipercaya bisa membuat pasien itu sadar. Sudah dua hari, hanya ini yang kulakukan untuk membantunya pulih.
Air mataku kembali mengalir.
Ini menyakitkan. Melihatnya terbaring lemah dengan beberapa selang yang melilit tubuhnya, membuatku hampir tidak sanggup menatapnya.
“Aku maafkan semua cerita lama aku dan kamu dulu. Jangan tidur lama-lama, Sa. Kamu harus sadar.”
Tuhan memang memiliki banyak kejutan. Terutama untuk ceritaku dengan Aksa. Tidak ada seorang pun yang bisa menyangka. Di saat bibirku sudah terlalu lelah bermonolog menunggu keajaiban, di saat itulah Tuhan benar-benar mendengar permohonanku. Jemari Aksa bergerak pelan, matanya pun perlahan terbuka.
“Aksa!”
Aku buru-buru mencari tombol darurat berharap dokter segera masuk ke dalam untuk memeriksanya. Namun, demi melihat wajah cemasku, Aksa menarik tanganku dan menggeleng pelan. Ia melepaskan alat bantu pernapasannya, lantas menyuruhku mendekat dengan suara lirih.
Ia membisikkan sesuatu.
“Berhitunglah sampai sepuluh, Neer.”
Permintaan Aksa membuatku mematung. Tuhan benar-benar tidak habis ide membuatku terkejut. Aku segera menggeleng dengan tegas. Aku tidak akan membiarkannya pergi seperti ini. Dia harus pulih apapun yang terjadi.
Tanpa memperdulikannya lagi, aku segera mencari kembali tombol darurat di bawah kasur. Namun, pikiranku yang kacau malah membuatku bertindak seperti gadis bodoh. Dimana sih tombol itu? Aku harus segera menemukannya sebelum kondisi Aksa semakin memburuk.
“Neer,”
“Diam, Sa! Kondisimu sedang buruk, jadi jangan melakukan apapun.” Aku berseru lantang.
Layar monitor Aksa menunjukkan detak jantungnya yang berdegup semakin melemah. Untuk bernapas saja, butuh usaha yang besar. Aksa sedang tidak baik-baik saja. Apa yang kulakukan juga tidak berbuah. Pikiranku semakin kacau.
“Neer!” kali ini Aksa balas memanggilku dengan suaranya yang tegas.
Aku pun menyerah. Kuputuskan untuk mengerahkan semua perhatianku padanya.
“Jangan menangis, Neer,” suara lembutnya justru semakin membuatku terisak. Ini menyakitkan, sungguh. Tuhan, tolong hentikan kejutan-Mu yang sama sekali tidak menyenangkan.
“Tuhan memiliki skenario terbaik, percayalah. Maaf, membuatmu menunggu waktu itu dan mungkin sampai sekarang. Aku lega kamu bisa menemukan pria seperti Daniel. Jadi, sekarang aku benar-benar bisa pergi tanpa penyesalan.”
“Stop, Sa! Siapa yang bilang kamu akan pergi seperti ini?”
Aksa hanya tersenyum getir menatapku. Ia memejamkan mata, bernapas sekuat tenaga.
“Aku menyayangimu, Neer, sungguh. Hanya saja caraku berbeda dari yang kamu harapkan. Maka, sekarang seriuslah berhitung. Hanya itu keinginanku untuk pergi tanpa penyesalan.”
Tangisku semakin pecah. Aku tidak ingin melakukannya. Aku bahkan tidak sanggup melakukannya.
“Neer,” suara lembut Aksa memohon.
Astaga, Tuhan, inikah akhir cerita kami yang sudah Kau siapkan? Haruskah Kau merenggutnya seperti ini di depanku? Kenapa?
Aksa memanggilku sekali lagi. Kondisinya semakin melemah.
Aku menghirup napas dalam-dalam, lantas mengumpulkan semua kekuatanku untuk melakukan permintaannya.
“Satu, dua, tiga,”
Aksa tersenyum. Ia menyuruhku melanjutkannya.
“Empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan,”
Aku menunduk dalam-dalam. Derai air mataku semakin mengalir deras. Aku menggeleng tegas, ini sulit, Sa. Aku tidak pernah benar-benar berhasil melakukannya.
“Neer,”
Aku menatapnya sekali lagi. Tatapannya pun semakin melemah, kondisi Aksa jauh dari kata membaik.
Baiklah, inilah yang bisa kulakukan untuknya. Hanya ini.
“Aku melepaskanmu, Sa. Sepuluh.”
Penulis: Rimaya Akhadiyah
TAG: #cerpen #karya-sastra #kisah #romansa