“Satu luka kecil pada tubuh kita akan terasa pada sekujur tubuh. Ambon luka, Jakarta luka, semua Indonesia akan merasakan luka yang sama.†– Ronald Regang
retorika.id - Luka Beta Rasa menjadi film dokumenter pertama Narasi yang rilis lewat Narasi Signature Series. Dengan mengambil tema “The Invisible Heroes”, cerita para penyintas konflik Maluku dari sudut pandang kombatan anak (1999-2002) dipilih menjadi episode pertama. Telah tayang perdana pada tanggal 29 Februari 2020 kemarin, film ini sudah bisa ditonton di website Narasi. Berbeda dengan film dokumenter yang juga fokus pada konflik Ambon, Luka Beta Rasa mengambil sudut pandang Ronald dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Tim Cichak (tim kombatan anak).
Ronald Regang merupakan salah seorang penyintas konflik Maluku. Ia tumbuh dari sejarah kelam kampung halamannya. Menjadi salah seorang kombatan anak pada saat konflik berlangsung, masa muda Ronald harus dipenuhi dengan pengalaman berdarah. Hal tersebut tidak hanya berlaku pada dirinya saja, kawan-kawan Tim Cichak pun ikut mengalaminya.
Tim Cichak yang merupakan singkatan dari Citra Indah Citra Hidup Anak Kristen adalah tim kombatan konflik Maluku yang terdiri dari anak-anak. Sehingga, tidak hanya Ronald yang akan membagikan
pengalaman masa lalunya di film tersebut, namun teman-temannya, seperti Wenand, Fino, Salfatoris, Akbar, Amir, dan Levi pun ikut ambil bagian.
Pembabakan yang dihadirkan dalam film tertata secara urut dan mengalir tanpa kesan dipaksa. Di menit-menit awal, Ronald menceritakan pengalamannya. Di saat usianya genap 10 tahun, ia sudah harus kehilangan keluarga dan saudara serta harus hidup dengan penuh rasa dendam. Hal itu lah yang membawanya ikut andil dalam konflik Maluku. Di dalam film tersebut pula, ia sempat mempraktekkan bagaimana dulu ia harus menghadapi musuh.
Di menit selanjutnya, ia menemui Wenand. Saat bergabung ke medan konflik, ia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Ia mengaku terkejut dengan konflik yang tiba-tiba muncul di tengah suasana damai. Keikutsertaannya pun didorong oleh rasa benci yang ada pada dalam dirinya. Cerita Fino beda lagi. Ia sempat memberitahu di film bahwa untuk menghindari tembakan ia harus berenang melewati Teluk Dalam Pulau Ambon untuk sampai ke pulau seberang.
Beberapa penyintas masih tinggal di Kota Ambon, namun sebagian lagi memutuskan untuk pindah ke Jakarta, Salfatoris salah satunya. Berjumpa dengan Ronald di rumahnya, ia menceritakan pengalaman paling tak terlupakan adalah saat di mana ia harus membunuh banyak orang dengan jumlah bom yang tak terhitung. Bom tersebut merupakan bom rakitannya sendiri.
Kemudian, Ronald menjumpai salah satu teman muslimnya, yaitu Akbar. Karena tidak banyak pengalaman yang bisa dibagikan, ia mengajak Ronald untuk menjumpai dua saudaranya, yaitu Amir dan Levi. Sembari mengobrol di sebuah warung, mereka berdua menceritakan pengalaman pahit tersebut. Amir mengatakan bahwa Paso menjadi tempat paling panas di Talahu. Levi pun menjadi salah satu korbannya.
Semua tokoh yang ada dalam film mengaku menyesal telah ikut andil dalam konflik. Usia muda yang seharusnya mereka habiskan dengan bermain, justru harus diwarnai dengan pengalaman buruk. Mereka pun mengaku masih trauma. Ronald sering memimpikan wajah-wajah orang yang pernah ia bunuh. Mendengar suara petasan, tanpa sadar Wenand akan berlari dengan rasa takut. Bahkan ketika Akbar melewati daerah-daerah di Ambon yang mayoritas dihuni oleh orang Kristen masih muncul rasa was-was.
Trauma-trauma tersebut perlahan mampu diobati oleh masing-masing dari mereka. Berkat bantuan Pendeta Jacky, Ronald mampu menatap masa depan dengan berusaha untuk membayar utang lalunya. Kisah yang berbeda pun terjadi pada keenam kawannya yang lain. Dengan hidup sebaik mungkin, mereka menjalankan hidup yang lebih damai dan indah.
Berkat cerita dari sudut pandang yang berbeda serta pembabakan alur yang berjalan runtut, film ini menuai banyak respon positif dari berbagai kalangan. Namun, tidak satu pun karya yang terlahir sempurna. Cerita Ronald yang sudah ada di mana-mana menjadi kekurangan dari film ini.
Luka Beta Rasa direkomendasikan untuk orang-orang yang berusia remaja ke atas, sebab kebijakan penonton dalam menonton film ini diutamakan. Dengan dilakukan diskusi terbuka, film ini mampu menyadarkan orang lain bahwa di balik konflik besar itu, anak-anak harus hidup dengan beban trauma dan penyesalan yang perlu diperhatikan. Film ini juga menyadarkan penonton bahwa Indonesia terlahir sebagai bangsa majemuk yang membutuhkan kesadaran toleransi di antara warganya.
Penulis: Rimaya Akhadiyah
TAG: #film #humaniora #kisah #