“Jangan mengenang saya, tapi baca karya-karya saya.†–Sapardi Djoko Damono. Selamat jalan, Eyang. Terimakasih untuk karya-karyamu yang indah dan membuat orang jatuh cinta dengan sastra.
retorika.id- Kabar duka menyelimuti dunia sastra Indonesia pada Minggu (19/07/2020). Maestro Sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada pukul 09.17 WIB di usianya yang ke-80 tahun.
Mengutip dari CNBC Indonesia, Mirna Y. selaku editor sastra di penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) mengungkapkan sejak sebulan terakhir, Sapardi memang beberapa kali masuk ke rumah sakit. Seminggu yang lalu pun, fungsi organ tubuhnya menurun dengan faktor usia ikut menjadi salah satu penyebabnya.
Hingga lima jam setelah dikabarkan meninggal, terdapat sekitar 65 ribu ucapan duka terus mengalir di twitter. Berbagai kalangan turut merasa kehilangan sosok sastrawan dengan karya-karyanya yang melegenda.
“Selamat jalan, Eyang Sapardi Djoko Damono. Jasamu abadi, seiring karya sastramu yang meninggalkan pengaruh besar untuk generasi setelahmu. Patah hati terdalam dari kami. Yang fana adalah waktu. Karya Sapardi abadi,” tulis Fiersa Besari dalam akun twitter-nya @FiersaBesari.
“Hujan air mata di bulan
Juli. Selamat jalan Pak Sapardi Djoko Damono,” tulis Adib Hidayat, wartawan senior dalam akun twitter-nya @AdibHidayat.
“Tak ada hujan di bulan Juni, ada hujan air mata di bulan Juli..sebab, itu aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kisah yang menjadikannya sejarah. Selamat jalan penyair, Pak Sapardi Djoko Damono… Innalillahi wa innailaihi roji’un,” tulis politikus Budiman Sudjatmiko di akun twitter-nya @budimanjatmiko.
Mengutip dari laman Kemdikbud RI, penyair Hujan Bulan Juni tersebut lahir pada 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah dari pasangan Sadyoko dan Saparian. Hingga menghembuskan napas terakhirnya, Sapardi dikenal sebagai sosok penyair, dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra. Di tahun 1995, ia menjadi guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Sekitar tahun 1960, Sapardi Djoko Damono mulai menulis. Sebagai seorang sastrawan, ia telah menciptakan banyak karya, diantaranya:
- Duka-Mu abadi (1969)
- Mata Pisau (1974)
- Perahu Kertas (1983)
- Sihir Hujan (1984)
- Hujan Bulan Juni (1994)
- Arloji (1998)
- Ayat-ayat Api (2000)
- Mata Jendela (2000)
- Ada Berita Apa Hari Ini
- Den Sastro (2003)
- Yang Fana Adalah Waktu (2018)
Berbagai penghargaan turut mengapresiasi karya-karya puisinya, diantaranya Hadiah Majalah Basis atas puisinya yang bertajuk “Ballada Matinya Seorang Pemberontak” di tahun 1963, penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia pada tahun 1978, hingga di tahun 2012 ia juga mendapatkan penghargaan dari Akademi Jakarta.
Meski sudah tidak bisa lagi berkarya, Sapardi Djoko Damono akan selalu dikenang melalui karya-karyanya yang abadi. Sesuai harapannya yang disampaikan dalam wawancara dengan klub buku Narasi, “Jangan mengenang saya, tapi baca karya-karya saya.”
Selamat jalan, Eyang. Terimakasih untuk karya-karyamu yang indah dan membuat orang jatuh cinta dengan sastra.
Penulis: Rimaya Akhadiyah
Sumber Referensi:
Ensiklopedia Sastra Indonesia. Tersedia di: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sapardi_Djoko_Damono (Diakses 19 Juli 2020)
Iqbal, Muhammad. (19 Juli 2020). Berita Duka: Maestro Sastra RI Sapardi Djoko Damono Wafat. CNBC Indonesia. Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20200719114526-33-173759/berita-duka-maestro-sastra-ri-sapardi-djoko-damono-wafat (Diakses 19 Juli 2020)
Rizal, Gustav Jawahir. (19 Juli 2020). Sapardi Djoko Damono Meninggal Dunia, Warganet Ungkap Dukacita. Kompas.com. Tersedia di: https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/19/112000765/sapardi-djoko-damono-meninggal-dunia-warganet-ungkapkan-dukacita?page=all (Diakses 19 Juli 2020)
TAG: #karya-sastra #kisah #profil #puisi