» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Rehat
14 Februari 2021 | Sastra & Seni | Dibaca 1150 kali
Rehat: sumber: Foto: Grooveriderz
Akhir-akhir ini, Alisa dibuat bingung dengan pertanyaan yang terus-menerus mendesak untuk ia jawab. Apa sebenarnya tujuan dari semua ambisinya ini? Apakah untuk menyenangkan orang tuanya, orang lain, atau dirinya sendiri?

retorika.id– Jam masih menunjukkan pukul tujuh waktu Surabaya. Kombinasi antara tanggal merah dan cuaca agak mendung membuat siapa saja enggan keluar rumah. Namun, tidak bagi Alisa. Di waktu sepagi ini, ia telah sampai di depan Stasiun Gubeng Surabaya. 

Sebelum masuk ke dalam stasiun, ia membayar pengemudi ojek online di sampingnya dengan selembar uang Rp 20.000. Setelahnya, ia sempatkan untuk melempar senyum dan mengucapkan terima kasih kepada sang pengemudi. Kemudian, pengemudi ojek online tersebut melajukan kendaraannya hingga hilang di tengah para pengemudi berjaket hijau lainnya. 

...

Area di sekitar Stasiun Gubeng Surabaya pagi ini masih sepi. Hanya nampak beberapa orang saja yang sedang berlalu lalang di depan Alisa. Tukang parkir, tukang becak, pengemis tua dan dua cucunya yang lucu-lucu, serta beberapa calon penumpang kereta seperti dirinya.

Tanpa pikir panjang, Alisa pun memutuskan untuk masuk ke dalam stasiun dan mencari tempat duduk di ruang tunggu. 

Alisa menemukan satu tempat duduk kosong dan bergegas untuk menempatinya. Tempat duduknya berada di baris paling depan dan langsung menghadap ke arah datangnya kereta.

Untuk mengusir rasa bosan, ia memutuskan untuk membaca novel The Winner Stands Alone karya Paulo Coelho yang sudah seminggu ia baca namun tak kunjung usai.

Belum ada lima menit waktu berlalu, ponselnya berdering.

Tulisan “Ibu” terpampang jelas di layar ponselnya. 

Ia menghela napas, memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut dan melanjutkan membaca


novel. Tetapi, ponselnya terus-menerus bergetar dan menampilkan nama pemanggil yang sama.

Mau tidak mau, pada dering ketiga, Alisa mengangkat panggilan tersebut. Ia tidak ingin membuat perasaannya semakin buruk.

“Halo?” suara lembut dari ujung sana menyapa. 

“Iya, Bu?” Alisa melipat kecil ujung halaman novel yang sedang ia baca.

“Kuliah kamu libur, ya?” Alisa hanya bergumam mengiyakan. Di ujung sana, sayup-sayup terdengar suara burung perkutut berkicau. 

“Lisa, kapan pulang ke Jogja?” Alisa berdecak. Pertanyaan ini lagi. Topik yang sering ia hindari ketika ibunya menelepon. Ia hanya terdiam, tidak berminat untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Kamu selama ini sibuk banget. Ibu jarang dikasih kabar. Ibu tahu kabarmu, ya, dari lihat status Whatsapp kamu sama dikasih tahu adikmu.”

Alisa menghela napasnya sebentar, “Iya, aku sibuk nugas, ikut organisasi-organisasi, ada event-”

-jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri, Lisa.” 

Alisa terdiam. 

“Kamu itu ambisius, ya, dari kecil. Kalau sedang ingin sesuatu, langsung berusaha keras biar bisa mendapatkan itu. Gak bisa tenang kalau gak menyelesaikan tugas-tugas kamu dalam waktu singkat. Kamu jauh, Lisa. Ibu jadi enggak tahu keadaan kamu gimana. Pasti makin kurus.” Dalam diam, Alisa mengiyakan.

Hening pun tercipta di antara keduanya. 

Panggilan akhirnya terputus ketika ibu tergesa-gesa mengatakan bahwa air yang ia masak telah mendidih. Tak lupa, ibu menyisipkan doa agar Alisa tetap sehat dan mengingatkan ia untuk menghubunginya di kala senggang. 

Kemudian, datanglah seorang perempuan. Sosoknya heboh membawa barang di kedua tangannya. Kursi di sebelah Alisa kini sudah berpenghuni olehnya dan barang-barang yang tadi ia bawa.

Seakan belum selesai menciptakan kegaduhan, ponsel perempuan itu berbunyi. Berisik. Lagu dangdut “Bojo Galak” dengan volume hampir maksimal terdengar. Perempuan tersebut menatap Alisa sekilas.  Ia menyengir, merasa tak bersalah.

“Halo, Ma!” jawab perempuan itu dengan heboh. Diaktifkannya mode speaker, sehingga suara orang di ujung sana pun ikut terdengar.

“Maaf, Ma, adik enggak bisa bawa oleh-oleh. Adik belum bisa lanjut ke tahap berikutnya.”

Enggak apa-apa. Kamu bisa coba lagi, masih ada waktu. Dengar kabar kamu mau pulang aja udah senang.”

“Iya, Ma. Tungguin adik, ya, habis ini keretanya datang.”

Alisa merasa tertohok. Ia teringat akan respons ibunya. Jelas bahwa ibunya juga akan bersikap seperti itu apabila ia kalah pada suatu perlombaan ataupun gagal dalam merealisasikan ambisinya. Respons yang sayangnya justru Alisa benci. Ia tidak suka dikasihani. Ia memilih untuk berusaha sekuat tenaga agar selalu berhasil memenuhi segala ekspektasinya. Termasuk pilihannya untuk berkuliah di kota ini. Ambisi yang ia raih mati-matian, bahkan saat masih duduk di kelas sepuluh. 

Namun, akhir-akhir ini, Alisa dibuat bingung dengan pertanyaan yang terus-menerus mendesak meminta ia jawab; sebenarnya, apa tujuan dari semua ambisinya ini? Apakah untuk menyenangkan orang tuanya, orang lain, atau dirinya sendiri? 

Alisa belum dapat menemukan jawaban dari semua pertanyaannya itu.

Keretanya pun datang. Ia menatap karcisnya dengan nanar.

Seharusnya, ia tidak pergi ke Malang. Mana mungkin ia bisa jalan-jalan melepas penat ketika dua kata kembali mengusik pikirannya. Jogja dan pulang. Mungkin, bagi orang lain, kedua kata tersebut merupakan kombinasi yang indah, hangat, dan abadi dalam ingatan. Namun, tidak bagi Alisa. 

Kampung halamannya terlalu banyak menggores luka. Belum lagi perempuan di keluarganya bagai perkutut dalam sangkar milik bapak. Tunduk dan terkekang. Alisa benci. Ia memutuskan untuk menjadi “narapidana” yang lepas dari jerat jeruji dengan membawa serta ribuan asanya di kota lain.

Di dalam kereta ia termenung. Sang “narapidana” kini merasa hampa dengan seluruh pencapaian yang selama ini ia agung-agungkan. Tanpa sadar, demi ambisinya, ia sudah melangkah terlalu jauh. Jauh dengan keluarga. Bukan lagi jauh secara fisik, tetapi hatinya pun turut serta.

Di tengah perasaan gundah, ia memutuskan untuk menelepon seseorang.

Pada dering ketiga, orang yang dihubunginya menjawab.

“Halo, Lisa?”

“Bu, tiga hari lagi aku ke Jogja. Ibu masak yang enak, ya?” pintanya  

Mungkin, Alisa butuh rehat. Tak perlu dalam jangka lama. Sebentar saja. Memperbaiki kembali kerenggangan yang sempat tercipta. Menunjukkan pada Bapak bahwa anak sulungnya ini bisa hidup mandiri dengan pilihannya sendiri.

Mungkin, Alisa butuh waktu untuk berhenti sejenak. Tanpa harus berlari mengejar segala ekspektasi.

 

Penulis: Aulia Az Zahra Salsabilla

Editor Dien Mutia Nurul Fata


TAG#cerpen  #karya-sastra  #  #