» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Muncratan Darah dan Keajaiban Cinta Tertuang Indah di Atas Buku-buku Gabriel Garcia Marquez
09 Februari 2021 | Mild Report | Dibaca 1392 kali
Di pedalaman hutan Kolombia. Terkenal orang yang tak begitu tinggi, juga tak begitu gagah. Seorang wartawan yang mengabdikan diri menulis buku-buku tentang Kolombia dan segala kehidupan orang Karibia. Semua angin dan guntur-guntur hutan seakan berhasil tertangkap dengan baik dalam tulisan-tulisan manusia satu ini ketika membaca bukunya. Dengan berbagai pengalaman dan pembawaan cerita yang menarik, Gabriel Garcia Marquez dianugerahi Nobel Kesusastraan di tahun 1982.

retorika.id-Tak ada yang tahu, bahkan dirinya sendiri, kenapa ia akhirnya menulis sebuah buku. Gabo, sapaan akrabnya berkata dalam sebuah wawancara dokumenter oleh AFP. Ilham untuk menulis didapatkannya ketika ia berlibur di pantai tepi jalan saat berlibur bersama keluarganya. Profesinya sebagai Jurnalis di pinggiran Kota Bogota, membuatnya fasih menuliskan kata-kata dalam novelnya.

Meskipun sebenarnya, cita-cita untuk menulis novel tentang tanah kelahirannya, di pedalaman Kolombia sudah mengakar di kepalanya sejak ia berusia 18 tahun. Ketika ia banyak mendengar tentang cerita-cerita mistis yang tidak rasional menghiasi pembangunan sebuah kampung di tengah hutan lebat Kolombia. Cerita-cerita itu didengar Gabo dari kakeknya. Kakeknya adalah generasi ketiga pembangun kota ditengah hutan antah berantah itu.

Gayung bersambut baginya. Ketika Gabo menjadi Jurnalis, ia menulis kolom cerpen berjudul A Story of a Shipwrecked Sailor, atau dalam bahasa Indonesia “Kisah tentang seorang Pelaut dengan Kapal yang Karam” menjadikan dirinya muncul di berbagai perdebatan sastra Amerika Latin. Apalagi saat itu, Jenderal Gustavo Rojas Pinilla dikenal sebagai seorang diktator di Kolombia. Karena keberaniannya menulis cerita itu, nama Gabriel Garcia Marquez mulai dikenal oleh banyak orang.

Saat menulis buku Cien Anos de Soledad atau “Seratus Tahun Kesunyian", Ia menuangkan segala apapun yang diceritakan kakeknya dulu. Seluruh emosi, kata-kata, sampai suasananya dituangkan dalam novelnya ini. Gabo bercerita saat proses penulisan, ia berusaha untuk menulis setiap hari novelnya. Sekira 18 bulan sejak awal pengerjaan, novel yang melambungkan namanya itu selesai ditulisnya.

Ketika membaca buku ini,


akan sangat bercampur aduk perasaan. Baik antara realitas dan keajaiban magis. Magical Realism menjadi salah satu genre novel yang baru dalam perantara buku Seratus Tahun Kesunyian ini. Tidak ada batas, tidak ada sekat, seolah-olah keajaiban dunia nyata bersatu dengan realitas dunia nyata. Mulai saat itu Gabo dikenal sebagai pionir genre Magical Realism.

Cerita yang dikemas apik, tentang orang-orang gipsi (orang-orang nomaden dari eropa timur) datang untuk menjajakan barang bawaannya. Juga seorang dukun yang menjual ramalan-ramalannya. Dalam buku ini akan sangat lazim ditemukan banyak sekali kontradiktif. Karena memang dunia gaib dan dunia nyata memiliki versinya masing-masing yang terpadu indah ketika Gabo menuliskannya.

Selain itu, ketika tembak-menembak tentara-tentara melawan pekerja kebun pisang di Macondo, semua terserap dengan apik. Mulai dari konsepsi besar bisnis United Fruit Company, industri perkebunan pisang dari Amerika yang membuka areal hutan besar-besaran di Kolombia. Pembantaian api melawan angin mampu dengan baik secara emosional menggambarkan pertumpahan darah di atas bukunya.

Ketika buku ini terbit, seluruh dunia terhenyak dengan kemampuan sastrawan Amerika Latin ini. Sangat jarang ditemui sastrawan latin yang kontroversial seperti ini. Sejak zaman Michel Cervantes dengan bukunya Don Quixote, hanya ada beberapa saja yang mampu menghenyakkan dunia seperti Gabo. Dengan itulah, Gabo akhirnya berhasil membentuk satu karakteristik baru sastra Amerika Latin, yang tegas, emosionil, dan ajaib. Disebutnya sebagai Sastra Gaya Latin Amerika.

Gabo sendiri dalam menuliskan karyanya sangat terinspirasi dengan gaya menulis William Faulkner dan Ernest Hemingway. Dua orang peraih Nobel Kesusastraan dari Amerika Serikat. Faulkner dengan Fear and Fury dan Hemingway dengan The Old Man and The Sea. Gaya bahasa yang diadopsi Gabo juga mirip-mirip dengan Faulkner dan Hemingway. Jadi tak begitu terkejut ketika membaca Seratus Tahun Kesunyian, akan ditemukan beberapa diksi yang mirip dengan model-model Hemingway ataupun Faulkner.

Tapi begitu, Gabo berujar bahwa ia berusaha membuat gaya baru dalam setiap bukunya. Mungkin gaya lugas seperti di buku, Chronicle of The Death Foretold, dan juga gaya halus dan penuh dengan rima-rima romansa seperti Love in The Time of Cholera. Gabo selalu berusaha membedakan gaya-gaya kepenulisannya dengan baik dan hati-hati.

Sebagai seorang Jurnalis, Gabo bukan kaleng-kaleng dalam meliput berita. Beberapa kali borok-borok Pemerintahan Junta Militer Kolombia menjadi sasaran empuk liputannya. Urusan korupsi pejabat-pejabat tinggi menjadi perbincangan karena koran-koran Kolombia menjadikannya sebagai headline berita. Siapa lagi orang dibelakangnya, kalau bukan Gabriel Garcia Marquez.

Hingga suatu malam yang dingin, Gabo bersama keluarga pindah ke Mexico City untuk mengamankan diri. Telinganya gemetar ketika kabar pembunuhan dirinya mencuat dimana-mana. Dengan itu, ia sekeluarga mengungsi ke Mexico City. 

Di Mexico, Gabo juga bergabung menjadi kolumnis koran di salah satu media besar Meksiko. Disini, semakin tajam ia mengasah pisau penanya dalam mengritik pemerintahan Jenderal Gustavo di Kolombia. Ketika di Mexico inilah karir kepenulisannya semakin moncer. Tidak hanya menulis sastra, Gabo juga aktif menulis sandiwara dan teater di Meksiko.

Kampanye-nya yang aktif mendukung Gerakan Castro dan Guevara dalam membalikkan roda politik Cuba atas Superioritas Amerika Serikat, membuatnya sempat masuk dalam daftar orang yang dilarang masuk Amerika Serikat. Apalagi terang-terangannya Gabo dalam mendukung Sosialisme Amerika Latin, membuat beberapa penghargaan sastra dari Amerika tidak berani menjadikannya sebagai nominator.

Namun begitu, Gabo tak mengambil pusing akan hal tersebut. Ia tetap menjalankan dirinya sebagaimana seorang biasa pada umumnya. Di akhir hayatnya, ketika politik Kolombia kembali stabil, ia sering mondar-mandir Kolombia – Mexico. Rakyat Kolombia juga mengelu-elukannya sebagai orang yang penting nan kontroversial di negaranya tersebut.

Gerakan kepenulisan seperti ini juga menginspirasi banyak penulis lain. Indonesia, nama Eka Kurniawan patut disebut sebagai salah satu penulis yang memiliki gaya penulisan mirip dengan Gabriel Garcia Marquez. Mulai dari bukunya Cantik Itu Luka ataupun Manusia Harimau. Gaya-gaya kepenulisannya-pun dapat dikatakan mirip dengan gaya Gabriel Garcia. Eka-sendiri tidak menampik itu, menurutnya memang Gabo menjadi salah satu inspirasinya dalam menulis novel.

Kemonceran dan kehandalan Gabriel Garcia Marquez memang tak bisa diindahkan lagi. Kata-kata yang menggambarkan rekahan bunga, tumpahan darah diatas ladang pisang, Gabo telah membuktikan kepada dunia tentang realita sastra latin.

Sastra yang dianggap sebelah mata, karena tidak realistis sama sekali. Apalagi waktu itu, gejolak rasionalisme dan positivisme sedang mengakar, seperti Camus dan Sartre. Gabo ternyata membuktikan bahwa ternyata muncul keajaiban tiada tara dalam kaidah sastra yang dianggap sebelah mata.

 

Penulis: M. Alfi Rahman

Editor: Uyun Lissa

 


TAG#humaniora  #karya-sastra  #kisah  #politik