» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Oki: Musik sebagai Instrumen Kritik Itu Masih Penting
31 Januari 2021 | Liputan Khusus | Dibaca 1817 kali
Musik Sebagai Instrumen Kritik dalam Diskusi “SINDIRAN#1 LPPM SINTESA FISIPOL UGM”: sumber: Foto: screenshot zoom meeting
Dari masa ke masa, musik tidak pernah berhenti untuk dijadikan sarana berekspresi atas rasa maupun kegundahan terhadap peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam hal ini, Tashoora, grup musik asal Yogyakarta, tidak berpatok pada genre yang kaku, serta tidak sekadar mencari popularitas semata. Hadir sebagai salah satu grup musik yang menghadirkan lagu-lagu dengan nuansa kritik dan aktivisme, penyajian musik terbaru dari grup musik ini kemudian membuka awal diskusi bertajuk “Menilik Peran Musik Pergerakan dalam Ketaksaan Negara Demokrasi,” yang diadakan oleh LPPM Sintesa FISIPOL UGM.

retorika.id-Sabtu (30/01/2021), Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (LPPM FISIPOL UGM), Sintesa, tengah mengadakan diskusi ringan bertajuk “Menilik Peran Musik Pergerakan dalam Ketaksaan Negara Demokrasi.” Diskusi yang dilaksanakan daring melalui media Zoom Meeting ini menghadirkan beberapa narasumber seperti Oki Rahadianto selaku Ketua Program Studi S1 Departemen Sosiologi UGM, Gusti Arirang selaku bassist sekaligus vokalis Tashoora, serta Devananta Rafiq selaku alumni dari FISIPOL UGM. 

Diskusi diawali dengan pemutaran lagu keluaran terbaru dari Tashoora (salah satu grup musik asal Yogyakarta) yang berjudul “Aparat.” Berdurasi sekitar tiga setengah menit, lagu tersebut menarasikan serta menceritakan aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya melalui kekerasan maupun tindakan yang sewenang-wenang. ”Salah satu bait yang paling mengena adalah ‘aparat salah tangkap lagi’,” ujar Achmad Hanif selaku moderator usai video tersebut berakhir.

Pembuka tadi kemudian dilanjut dengan pemaparan Hanif terkait kesesuaian bait tersebut dengan laporan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pers yang menyebutkan bahwa dalam tahun 2020, aparat kepolisian menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab pada kekerasan terhadap jurnalis. Hal ini terlihat dari adanya 76 kasus kekerasan terhadap anggota pers yang melibatkan aparat kepolisian sebagai pelakunya.

Mengenai lagu “Aparat,” Gusti Arirang menuturkan bahwa peristiwa yang memantik dibuatnya lagu tadi adalah kasus salah tangkap para pengamen di bawah umur, di daerah Cipulir, oleh aparat kepolisian. Selain itu, kasus salah tangkap seorang anak muda Papua bernama Mispo Gwijangge yang dituduh membunuh 17 karyawan pabrik dan membuat proyek infrastruktur jalan tol terhambat, juga turut menjadi latar belakang pembuatan lagu ini. “Supaya proyek bisa jalan lagi, harus ada pelaku yang ditemukan atas kasus pembunuhan di perusahaan ini, dan Mispo adalah tumbal di peristiwa itu,” jelas bassist


sekaligus vokalis itu.

Selanjutnya, beliau menambahkan bahwa dengan musik diharapkan dapat tumbuh rasa empati serta simpati masyarakat sehingga hadir dukungan yang kemudian diharapkan dapat berdampak pada proses kebijakan. Beliau juga menekankan, jika berbicara tentang hal-hal kebijakan publik, musik tidak mudah begitu saja untuk mengubah hal itu karena musik tidak berdiri sendiri. Namun, hal ini tidak berarti bahwa musik tidak memiliki peluang sebagai faktor pendorong perubahan tersebut.

Pembahasan selanjutnya beralih ke narasumber kedua, yakni Oki Rahadianto. Dalam pemaparannya, pria yang biasa dipanggil mas Oki ini, menyebutkan jika dihadapkan secara vis a vis, serta dipertentangkan antara musik, pergerakan, kritik pemerintah atau tidak, dan lain sebagainya, justru mungkin akan mengkrangkeng pembahasan mengenai musik itu sendiri.  Hal tersebut dikarenakan resistensi tidak melulu tentang melawan negara atau tidak mengapresiasi negara. “Musik tidak bisa berdiri sendiri, di sini ada banyak sekali irisan-irisan yang sangat kompleks sekali,” jelas Ketua Prodi S1 Departemen Sosiologi UGM itu.

Dijelaskan pula bahwa dalam permasalahan tentang dipertentangkantadi, perlu dilihat dari perspektif mana dulu masalah mengenai resistensi itu hadir. Oki memberikan contoh bahwa resistensi bukanlah monopoli salah satu genre musik tertentu. “Mungkin bagi generasi Anda, yang sedang populer adalah musik-musik yang tadi Anda perdengarkan di awal-awal ini (lagu Aparat), ya. Tapi mungkin kalau kita tanya lagi kalau zamannya, siapa gitu ya, mungkin agak berbeda, bisa jadi mereka menggunakan musik jazz sebagai artikulasi untuk resistensi dalam level lokal, misalnya,” ucapnya.

Oki mengutip tulisan seorang akademisi dan kritikus bernama Emma Baulch terkait musik Metal di Bali yang menyebutkan bahwa musik Metal di Bali justru digunakan sebagai tools untuk resistensi terhadap nilai-nilai kebalian, serta dapat mengartikulasikan identitas mereka yang kosmopolitan. Ada juga kasus yang sempat booming di Yogyakarta, dimana reggae digunakan sebagai upaya resistensi terhadap krangkeng budaya jawa.  

Mengenai musik reggae, secara spesifik Oki menjelaskan bahwa lagu “No Woman No Cry”oleh Bob Marley sebenarnya tidak hanya membahas mengenai kesedihan karena perempuan, tetapi juga menceritakan tentang penderitaan yang sedang terjadi di Jamaika pada saat itu. Namun kemudian, makna ideologis yang terkandung di dalamnya mengalami perubahan, contohnya pada konteks tourism di Bali. “Reggae saat maknanya terbang, pesan ideologisnya diolah ulang, misalnya oleh kepentingan pariwisata, yang lebih banyak ditonjolkan reggae adalah eksotismenya,” tuturnya. 

Sebagai tambahan, Oki menyebut bahwa musisi atau pencipta lagu tidaklah terlepas dari daur hidup mereka sendiri sebagai manusia dan juga artis. Namun, ekspresi serta produk musik yang dihasilkan, bisa jadi merupakan ekspresi atas keresahan pada suatu titik di daur hidup tersebut.

Setuju dengan Oki, Devananta Rafiq berpendapat bahwa memolarisasi atau menghitamputihkan musik yang politis atau tidak adalah sekadar jebakan batman. Hal tersebut dikarenakan jika dilihat dari perubahan di masa beliau masih berkuliah dan pada hari ini, terdapat tipologi atau macam-macam seni yang politis dan tidak. Selain itu, beliau menyebut ada musik aspiratif seperti yang dibuat oleh Tashoora, ada pula yang politik seperti musik punk yang sering dianggap hanya membahas kehidupan sehari-hari.

Rafiq juga menjelaskan bahwa pergerakan tidak hanya sekadar dilihat dari isi lagu yang dibawakan oleh si musisi. “Ada lagu yang bahkan tidak politis, bahkan cinta-cintaan, namun yang mereka lakukan adalah tindakan advokasi yang politis. Misalnya kayak Ananda Badudu, yang lagu-lagunya bisa dibilang cinta-cintaan, tapi kemudian apa yang dilakukan secara real di pergerakan itu menggambarkan sesuatu yang lain,” jelas Alumni FISIPOL UGM itu.

Selain itu, Rafiq juga menambahkan, musik dapat digunakan sebagai media strategis untuk faktor perubahan sosial. “Dari segi musikalitas, menurutku di Indonesia yang paling terbaik itu ada pada Paduan Suara Dialita. Perubahan sosialnya terjadi dalam peristiwa musiknya itu sendiri yang pada awalnya didirikan oleh ibu-ibu eks tahanan politik (tapol) atau partai-partai terlarang di zaman dahulu yang kemudian dikumpulkan dan dibentuk Paduan Suara. Lalu, dilanjutkan dengan pembuatan lagu atau menggunakan lagu yang sudah ada yang sama dari eks tapol. Mereka diberikan kesempatan untuk mengekspresikan apa yang direpresi oleh rezim,” tambahnya.

Diskusi kemudian dilanjut dengan pemaparan close statement dari masing-masing narasumber. 

Gusti Arirang berharap, “Kami harap lebih banyak lagi orang yang berani bicara hal yang sama seperti ini dan juga tentunya lebih banyak dukungan atas apa yang memang sedang kita perjuangkan sehingga tujuan besarnya ada, serta pemerintah memberikan solusi atas permasalahan yang kami utarakan.”

Sementara itu, Oki menegaskan, “Musik sebagai instrumen kritik itu masih penting. Saya kira harus dibuka sebanyak mungkin instrumen-instrumen untuk melakukan kritik dalam konteks sekarang ini, baik demonstrasi maupun musik atau sosial media dan sebagainya. Namun, kita juga harus aware dan tetap berhati-hati yang seharusnya di dalam bungkus mengkritik malah meng-endorse kebijakan yang merugikan banyak orang.”

Selanjutnya Rafiq menyarankan, “Mungkin harus ada dialog berupa apresiasi atau umpan balik misal apa yang disampaikan oleh teman-teman musisi salah atau mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan itu bertolak belakang dengan apa yang mereka sampaikan. Ya, itu harus disampaikan pula. Mungkin saja.”

Setelah pemberian closing statement, kegiatan dilanjut dengan pemutaran lagu lainnya dari Tashoora yang berjudul “Sintas.” Usai pemutaran, kegiatan dilanjut dengan sesi tanya jawab antara narasumber dengan peserta diskusi hingga waktu tanya jawab berakhir. Diskusi ini dipungkasi dengan diberikannya kenang-kenangan berupa gambar ilustrasi masing-masing narasumber oleh Panitia Diskusi LPPM Sintesa FISIPOL UGM.

 

Penulis : Bagus Puguh & Awan Hermawan

Editor : Sindhie Ananda Dwianti


TAG#aspirasi  #event  #gagasan  #musik