» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
BRIDGERTON: Ketika Isu Krusial Tentang Perempuan Diangkat
29 Januari 2021 | Pop Culture | Dibaca 2443 kali
BRIDGERTON: Ketika Isu Krusial Tentang Perempuan Diangkat: sumber Foto: Liam Daniel/Netflix
“You think that just because I’m a woman, I’m incapable of making my own choiches?” –Daphne Bridgerton.

Serial bertajuk Bridgerton merupakan serial yang dapat dinikmati di platform video on demand Netflix sejak 25 Desember 2020 lalu. Dibintangi oleh Rage-Jean Page, Phoebe Dynevor, dan masih banyak lagi, serial ini diangkat dari novel The Duke & I karya Julia Quinn. Berjumlah delapan episode, secara garis besar serial ini mengangkat cerita tentang bagaimana musim perjodohan di Inggris pada tahun 1800-an terjadi dengan sangat kompetitif. Dengan Daphne Bridgerton (Phoebe Dynevor) yang menjadi pemeran utamanya, cerita ini mengisahkan bagaimana gadis tertua dari keluarga bangsawan Bridgerton itu berjuang untuk mendapatkan pasangan dan hidup bahagia sebagaimana orang tuanya.

Daphne sendiri merupakan gadis dengan rupa cantik yang tidak tertandingi, sehingga banyak pria yang ingin berkenalan dengannya. Namun, dengan karakter kakaknya, Anthony Bridgerton (Jonathan Bailey) yang terlalu protektif, membuat Daphne kehilangan semua peminatnya. Pada suatu pesta, dia dipertemukan dengan Duke of Hastings atau Simon Basset (Rage-Jean Page) yang terkenal tampan, namun tidak berminat menikah. Mereka berdua pun membuat suatu kesepakatan untuk berpura-pura menjadi pasangan yang akan membuat Daphne mendapatkan kembali perhatian dari para pria. Kesepakatan itu juga akan menyingkirkan semua ibu yang berusaha menjodohkan anaknya kepada Simon.

Di tengah sandiwara tersebut, perasaan saling tertarik tumbuh diantara keduanya. Namun, sumpah Simon untuk memutus garis keturunan Duke of Hastings sebagai bentuk balas dendam kepada sang ayah, membuatnya memilih untuk memutuskan hubungan dengan Daphne. Sebab, prinsip keduanya jelas sangat berbeda. Meski mencintai Daphne, Simon tidak bisa membuat gadis itu terjebak di sebuah pernikahan yang tidak akan memberinya anak sebagaimana yang diimpikan Daphne selama ini. Namun karena suatu kejadian, Daphne memutuskan


untuk merelakan mimpinya dan menikah dengan Simon atau jika tidak pria itu akan mati di tangan kakaknya.

Serial ini tidak hanya menyajikan kisah romantis antara Daphne dan Simon sebagai tokoh utama, melainkan ada beberapa pesan krusial terkait perempuan yang ingin disampaikan, seperti tentang pelecehan seksual, kesetaraan gender, edukasi seks, dll. Jadi, meskipun berlatar belakang tahun 1800-an, serial ini memiliki pesan yang masih relevan dengan zaman sekarang.

Bridgerton membuka mata kita tentang isu kesetaraan gender yang masih sering dijumpai hingga sekarang. Bagaimana Daphne Bridgerton maupun perempuan lainnya ditempatkan sebagai pihak yang tidak bisa memutuskan dengan siapa mereka akan menikah, sebab keputusan terbesar ada di tangan ayah atau saudara laki-laki tertua mereka. Anggapan bahwa perempuan itu hanya ditakdirkan menjadi ibu rumah tangga juga tergambar jelas di sini. Bagaimana ekspektasi masyarakat membuat Daphne Bridgerton hanya memimpikan sebuah kehidupan pernikahan yang indah bersama pasangan dan anak-anaknya kelak. Ia bahkan cemas dengan keadaannya sendiri apabila tidak bisa mendapatkan suami.

“Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan, seperti apa rasanya saat seluruh hidupmu hanya dinilai dari satu momen. Aku dibesarkan untuk ini. Inilah diriku. Aku tidak punya nilai lain. Jika tidak bisa mendapatkan suami, aku tak berguna,” tutur Daphne.

Kontras dengan sosok adik Daphne, Eloise Bridgerton (Claudia Jessie) dan sahabat Eloise, yaitu Penelope Featherington (Nicola Coughlan), yang memiliki hobi membaca buku justru mendapatkan tekanan dari ibu mereka. Sebab, buku dianggap sebagai sumber yang bisa membuat pikiran mereka bingung. Sebagai sosok yang memiliki definisi ‘sukses’ yang berbeda dengan Daphne, Eloise tidak menganggap bahwa tatanan masyarakat yang menempatkan perempuan harus seperti Daphne adalah benar.

“Daphne jatuh cinta. Apa baginya itu sebuah capaian? Berwajah elok dan berambut bagus bukan capaian. Kamu tahu apa itu capaian? Menuntut ilmu di universitas,” ucap Eloise kepada sahabatnya, Penelope.

Tidak hanya itu, isu krusial tentang perempuan sebagai korban pelecehan seksual juga diangkat di serial Bridgerton. Di episode-episode awal, Daphne mendapatkan pelecehan dari Nigel Berbrooke (Jamie Beamish). Ia merasa ketakutan kalau kejadian yang menimpanya terbongkar dan akan menjadi aib keluarga. Ia memilih bungkam bahkan dengan keluarganya sendiri. Sosok Nigel Berbrooke juga digambarkan sebagai laki-laki yang seolah menjadi pihak dominan di atas perempuan. Ia bahkan menganggap perempuan setara dengan binatang.

“Saat membeli kuda, saya tidak bernegosiasi dengan kuda,” kata Nigel yang tetap ngotot ingin menikah dengan Daphne.

Melalui Bridgerton, kita juga akan tahu bahwa dulu, berbicara tentang seks adalah hal tabu di Inggris. Sedangkan, di negara kita hal ini masih berlaku. Di suatu momen, Lady Featherington (Polly Walker) memberikan informasi keliru seputar seks. Ia mengatakan bahwa kehamilan bisa menular, sehingga membuat anak-anaknya takut dan menjauhi Marina Thompson (Ruby Barker). Dulu, perempuan yang sudah hamil sebelum menikah dianggap hina dan akan dijauhi oleh orang-orang. Kejadian yang menimpa Marina Thompson pun membuat Penelope, Eloise, dan Daphne bingung bagaimana perempuan bisa hamil sebelum menikah. Edukasi seks yang menim dibicarakan di lingkungan keluarganya sendiri bahkan membuat Daphne bertanya kepada asisten rumah tangganya.

Selain tentang pesan yang sarat makna, serial ini juga memiliki poin plus, diantaranya Chris Van Dusen sebagai Program Creator mampu menggambarkan bagaimana suasana Inggris di tahun 1800-an melalui properti-properti yang mendukung. Selain itu, soundtrack yang dipilih justru merupakan instrumen dari lagu-lagu populer, salah satunya Wildest Dream oleh Taylor Swift.

Meski begitu, serial ini memiliki jalan cerita yang cenderung mudah ditebak, terutama terkait kisah asmara dari karakter utama, yaitu antara Daphne dan Simon. Bagaimana mereka dipertemukan secara tidak sengaja, membuat kesepakatan, terjebak dalam hubungan sandiwara yang awalnya bukan keinginan mereka, hingga akhirnya keduanya saling jatuh cinta.

Isu-isu krusial tentang perempuan, mulai dari pelecehan seksual, kesetaraan gender, hingga edukasi seks, yang dikemas secara ringan oleh serial Bridgerton mampu menjadi daya tarik tersendiri untuk ditonton di masa-masa liburan seperti ini. Kita bisa memahami bagaimana kondisi perempuan yang digambarkan di serial ini sebenarnya masih relate dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia.

Kabar terkini, Bridgerton akan berlanjut di season kedua pada musim semi 2021. Namun, masih belum ada kepastian tanggal dan bulan kapan serial ini akan kembali dirilis di Netflix. Di season kedua, jalan cerita akan fokus mengangkat tentang kisah asmara Anthony Bridgerton yang di season pertama mengalami ending yang tidak bahagia. Plot dari serial ini akan diangkat dari novel series kedua Julia Quinn yang berjudul The Viscount Who Loved Me.

 

Penulis: Rimaya Akhadiyah

Editor: Hani Elza

 

Sumber Referensi:

Stefanie, C. (2021). Review Serial: Bridgerton. Diakses dari CNN Indonesia pada 23 Januari 2021.

Philippe, McKenzie J. (2021). Season 2 of Bridgerton Will Give Anthony a “Sweeping” Love Story of His Own. Diakses dari The Oprah Magazine pada 23 Januari 2021.


TAG#film  #gagasan  #gender  #