» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Mencoba Memahami Haruki Murakami
01 Maret 2021 | Mild Report | Dibaca 2446 kali
Cerita-cerita realis dengan komposisi psikologis dan kemampuan Murakami meraciknya menjadi satu paduan panjang. Banyak pembaca merasa seperti sedang bernyanyi daripada membaca novel. Selain novel-novelnya yang banyak dibicarakan, penulisnya juga menjadi satu perbincangan hangat dikalangan orang-orang sastra. Keberaniannya mematahkan kebiasaan orang dan berani membuka hal-hal tabu, membuat karyanya semakin dikagumi banyak orang.

retorika.id-Ketika bola pukulan kriket terbang diatas kepalanya, melayang tinggi hingga sampai ke tribun atas. Sorak sorai pemukul menandakan tercetak angka homerun bagi tim yang ditontonnya. Semua orang bersorak-sorai, angka besar ditambahkan tertempel di papan skor permainan. Disaat gegap gempita gembira seperti ini, ada satu penonton yang tiba-tiba terbesit pikiran untuk menulis novel. Penonton itu adalah calon penulis besar Haruki Murakami.

Entah apa yang ada dipikirannya ketika menonton permainan kriket waktu itu. Ketika sampai dirumah, Murakami tiba-tiba menulis dengan mesin tik beberapa lembar cerita yang mungkin merubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. Novel Dengarlah Nyanyian Angin, Hear the Wind Sing, menjadi novel pertama dalam karir kepenulisannya.

Gaya tulisan Murakami sangat dipengaruhi oleh Yukhio Mishima. Penulis besar Jepang yang sebelumnya membuat heboh seantero kepulauan Jepang, karena mati bunuh diri dengan cara seppuku di Markas Militer. 

Gaya puitis dengan kalimat-kalimat yang efektif, tulisan-tulisan Murakami menjadi lumayan hangat dimata pembaca Jepang yang saat itu masih terbawa suasana Mishima dan Kawabata sebagai penulis besar disana.

Gaya penulisan itu berlanjut ketika Murakami menulis Norwegian Wood. Satu buku yang masih kerap dibicarakan pecinta sastra sampai saat ini. Norwegian Wood menjadi satu bahasan kunci terbaliknya hidup Murakami. Cerita cinta segitiga antara mahasiswa ini menjadi satu cerita yang menarik, apalagi gaya puitis murakami mampu melukiskan cerita dengan kata-kata.

Cerita tentang bunuh diri dan kehidupan malang akibat percintaan ini membuat nama Murakami menjadi tenar. Kemanapun ia pergi, tak ayal banyak


orang mengerubunginya di sela-sela kunjungannya. Ketika ia pulang bertandang dari Kanada, Bandara Narita tiba-tiba penuh dengan penggemarnya. Murakami makin digandrungi oleh pemuda-pemuda Jepang dan bahkan Internasional.

Novel yang menghenyak lagi adalah novel Murakami berjudul Kafka on the Shore. Murakami mematahkan asumsi-asumsi logis dalam sastranya. Tak seperti novel-novel dan cerita-ceritanya sebelumnya. Murakami memasukkan unsur-unsur yang tidak logis dan tidak masuk diakal sama sekali dalam buku ini.

Cerita tentang buku ini memang terkesan absurd. Murakami tidak memberikan satu gambaran jelas terkait makna dalam buku ini. Padahal, itulah yang dicari oleh pembaca. Tapi sepertinya, Murakami memahami itu. Ia hanya memberikan tanda-tanda dan tidak mengambil kesimpulan final. Bagi pembaca yang kurang mengenali gaya Murakami, mungkin akan kebingungan. Seperti saya.

Pasti akan mengalami pengalaman unik ketika membaca karena akan sering menggaruk-garuk kepala karena anehnya cerita yang ditulis Murakami. Bagaimana tidak aneh, sejak awal membaca tidak akan kita berpikir akan adanya satu adegan fantasi dalam novel ini. Karena memang tidak ada juga track record fiktif-magis maupun fiktif-fantasi dari penulis. Sungguh, buku ini sangat penuh kejutan dan begitulah Murakami menulis bukunya. 

Ada yang bilang, tokoh protagonis dalam buku itu, pemuda yang mengaku bernama Kafka sedang dalam kondisi menenggak ekstasi atau karena terlalu banyak minum sake. Karena terlalu banyak minum sake, akhirnya otaknya jadi sedikit tidak nyambung. Nah karena itu juga, pengalaman-pengalaman aneh yang ada di novel ini terjadi karena efek kebanyakan sake.

Tapi ada yang menjadi acuan pasti menurut para pembaca. Selalu ada makna dibalik peristiwa-peristiwa yang ditulis oleh Murakami. Entah adegan hujan ini, adegan ngomong dengan kucing, ataupun adegan radiasi radioaktif, katanya selalu ada maknanya. 

Tapi ketika ditanyai begitu, Murakami tidak bergeming sama sekali. Malah menyuruh pembaca untuk lagi membolak-balik membacai bukunya. Siapa tahu jawabannya tiba-tiba muncul dengan sendirinya. Entah saran seperti apa itu, seperti menggosok undian saja.

Ketika Murakami menulis buku 1Q84, pikiran orang tentu akan tertuju pada buku 1984 karya George Orwell. Murakami menulis buku ini entah karena terinspirasi atau karena ingin mengritik George Orwell. Tapi memanglah berbeda buku 1Q84 dengan 1984. Buku berjilid-jilid itu tak kalah mencengangkan dari Kafka on the shore.

Jika kata Eka Kurniawan dalam blognya, Murakami ini memang unik. Belum puas membuat Franz Kafka gusar di kuburnya karena buku Kafka on the Shore, Murakami tiba-tiba memaksa George Orwell memikirkan ulang karyanya. Karena buku milik Murakami ini seolah-olah mengoreksi buku karya George Orwell itu tadi. Apalagi, 1984 karya George Orwell dianggap banyak orang sudah lewat masanya dan ternyata banyak yang tidak terbukti. 

Entah berniat menyelamatkan ataupun mengoreksi, tapi Murakami sendiri berhasil mengingatkan kita akan buku yang membuat orang paranoid berjudul 1984 itu. Apalagi 1984 itu sudah terlewat jauh dari buku 1Q84 yang diterbitkan ditahun 2009.

Selain menulis buku-buku novel, Murakami seringkali menulis cerita-cerita pendek. Cerpen yang menjadi buah bibir kemarin hari adalah cerpen berjudul Barn Burning. Karena, salah satu Rumah Produksi di Korea Selatan menggugah ceritanya sebagai film. Dalam film itu, banyak ditemui kejanggalan dan keanehan. Sama seperti di cerpennya. Sama juga seperti karakter ceritanya.

Banyak kritikus film yang memertanyakan apa inti dari film ini. Apalagi banyak pecinta film yang malah memaki film ini. Film kosong tidak bermakna. Tapi memang begitulah Murakami. Begitu juga ceritanya jika difilmkan. Absurd dan tidak memiliki satu kesimpulan. Aneh, namun itulah yang membuat orang masih setia terhadap Murakami. Orang tidak perlu mencari pesan moral dalam buku-bukunya.

Didalam buku Autobiografinya, Murakami sering menjelaskan bahwa dalam menulis, ia memang tak punya rencana matang ataupun garis biru terkait caranya menulis. Jadi, sebelok dan seaneh apapun apa yang ada dipikirannya, itulah yang dijadikannya sebagai cerita selanjutnya. Begitulah cara Murakami menulis cerita.

Apalagi cerita tentang sex dan gairah cinta. Murakami seakan menjadi jagoan dalam menuliskan kejadian-kejadian di ranjang. Tidak terlalu bertele-tele, masih melankolis, dan pas. Begitulah Murakami melukiskan kisah ranjang kepada para pembaca. Bukan hal baru juga dalam sastra Jepang. Karena Kawabata dan Mishima, keduanya malah secara vulgar menuliskan hal tersebut di buku-bukunya.

Begitulah kira-kira. Bagaimana Murakami menulis dan mengobral kisah diatas kertasnya. Aneh, tentu. Karena memang tak ada yang dikejar bagi Murakami. Seorang pelari marathon yang diusia senjanya, 72-tahun, masih aktif ikut lomba marathon dalam beberapa perhelatan di Jepang. Semakin berlari, semakin aneh saja cerita yang ditulisnya. Semakin aneh ceritanya, malah semakin menarik karya-karyanya.

 

Penulis: M. Alfi Rahman

Editor: Uyun Lissa

 

 

 


TAG#film  #gagasan  #humaniora  #karya-sastra