» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Kasus Ahok: Bibit Puritanisme-Religius
01 Juni 2017 | Opini | Dibaca 2224 kali
Intoleransi Dalam Negeri: Berkaca dari Kasus Ahok Foto: ISBD
“Bunuh, Bunuh Ahok sekarang juga!” begitulah kiranya ungkapan yang diucapkan oleh anak-anak kecil dalam video saat mengikuti pawai obor.

retorika.id - Sewaktu menempuh Sekolah Dasar, kebetulan saya bersekolah di SD Katolik, sehingga tentu saja mereka yang beragama Islam menjadi kaum minoritas. Namun menariknya, setiap kali mereka berpuasa, kami yang akan makan di dekatnya menyampaikan permohonan maaf terlebih dahulu. Saat berkumpul kerja kelompok dan sudah waktunya mereka melakukan ibadah lima kali seharinya pun, kami selalu mengingatkan.

Jika mengingat masa itu, saya kagum dengan saya sendiri dan teman-teman saya, karena saling menghargai perbedaan sudah menjadi hal lumrah bagi kami. Mungkin hal tersebut merupakan berkat ketidakbosanan guru kami untuk mengingatkan mengenai Bhineka Tunggal Ika dan maknanya setiap kali ada kesempatan. Nyatanya Bhineka Tunggal Ika memang menjadi identitas kebanggaan bagi Indonesia, bahkan mungkin hal tersebut yang kemudian menjadi dasar penyebutan diri Indonesia sebagai “role model” negara demokrasi mayoritas islam yang moderat dan pluralistik.

Sayangnya, akhir-akhir ini identitas kebanggaan Indonesia itu tercoreng. Banyak sekali kasus yang disebabkan oleh perbedaan


kultur. Misalnya, beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan sebuah video yang menayangkan sekelompok anak kecil sedang melakukan pawai obor dengan nyanyian; “Bunuh, Bunuh Ahok sekarang juga!” Mungkin saja, sebenarnya mereka tidak benar-benar memahami dan menyadari apa yang mereka ucapkan. Namun demikianlah yang berbahaya. Ucapan mereka mengandung ujaran kebencian, dalam hal ini kebencian terhadap Ahok sebagai representasi kaum minoritas, kaum yang berbeda dengan mereka.

Menurut Sigmund Freud, dalam teori psikoanalisis perkembangan, terdapat tiga komponen perkembangan manusia, yaitu id, ego, dan superego. Komponen superego merupakan komponen dalam diri manusia yang akan menjadi pedoman diri dalam membuat penilaian. Penilaian tersebut berdasar pada persetujuan figur orang tua serta masyarakat. Hal ini akan berdampak pada perasaan benar atau salah dari tindakan yang dilakukan.

Sesuai dengan teori ini, dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan anak-anak kecil tersebut pada dasarnya mendapatkan pengakuan kebenaran dari masyarakat sekitarnya. Sehingga jika suatu saat mereka melakukan ujaran kebencian pada kelompok yang beda, dianggap sebagai hal yang wajar.

Bibit-bibit kebencian terhadap Ahok menunjukkan adanya bibit-bibit kelompok aliran keras yang disebut Magnis-Suseno sebagai kaum puritanisme-religius. Menurutnya, kaum puritanisme-religius dapat mengancam integrasi bangsa. Paham absolutisme yang mereka pegang tidak mengenal kompromi sehingga sulit menemukan titik temu dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. Padahal jantung Bhineka Tunggal Ika sendiri terletak pada kesadaran masyarakat akan perbedaan suku, ras, agama, dan budaya.

Oleh karena itu, dapat dipahami pula bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis pemahaman mengenai Indonesia itu sendiri. Sebagai warga Indonesia, sudah selayaknya setiap pribadi mampu memahami dengan benar apa itu Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan agama Islam sebagai agama mayoritas merupakan simbol perlawanan penjajah. Namun demikian bukan berarti bahwa Indonesia ialah hanya milik kaum tertentu saja.

Jika menilik sejarah, tentu kita masih ingat tentang perdebatan  penghapusan tujuh kata pada sila pertama Pancasila rumusan Panitia Sembilan, yaitu “kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Persetujuan penghapusan tujuh kata bukan merupakan hasil voting, melainkan hasil musyawarah, sehingga semua yang terlibat di dalamnya sudah dalam keadaan rela untuk menghapusnya. Mereka yang terlibat juga bukan orang sembarangan, sebut saja KH Wahid Hasyim yang merupakan keturunan ulama dan perintis pesantren di Jawa. Hidupnya sangat erat dengan para ulama di Indonesia. Namun beliau menyadari keadaan Indonesia yang multikultur, sehingga ia menempatkan Indonesia pada sisi inklusif sebagai milik bersama diantara perbedaan yang ada.

Berpijak dari peristiwa tersebut, sudah saatnya kita saling membangun kesadaran untuk merawat kebhinekaan Indonesia. Sehingga keberadaan bibit-bibit puritanisme-religius tidak sampai merusak integrasi bangsa bahkan menggerus nilai-nilai pluralisme yang dicita-citakan oleh Pancasila.

 

Penulis             : Yosinta Maharani Here

Editor              : Choir


TAG#aspirasi  #demokrasi  #humaniora  #sosial