
Kamis (15/7) Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo divonis lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Edhy terbukti melakukan tindak pidana korupsi yaitu penerimaan suap penetapan izin ekspor benih lobster. Namun, banyak yang menyayangkan hukuman yang dianggap ringan bagi seorang koruptor.
Akhir tahun lalu publik digemparkan kembali dengan tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Edhy Prabowo, bersama istri dan rombongannya, ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta setelah bepergian dari Amerika. Edhy diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa suap benih lobster.
Kasus bermula dari diterbitkannya surat keputusan oleh Menteri Edhy Prabowo tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Edhy menunjuk beberapa staf yakni APM dan SAF untuk menguji dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon eksportir benih lobster atau benur.
“Pada Oktober 2020 SJT selaku Direktur PT DPPP bertemu dengan SAF. Dari pertemuan itu diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800/ekor,” jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Untuk melancarkan kegiatan ekspor dengan mempercepat pemberian izin benih lobster, PT ACK melakukan transfer ke rekening staf istri Edhy sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy dan istrinya, serta tim SAF dan APM.
Atas dugaan suap tersebut, Edhy Prabowo didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Edhy dituntut penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tak hanya itu, Jaksa juga menuntut untuk mencabut hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun
sejak terdakwa selesai menjalani masa pidana pokok. Dalam dakwaan jaksa, Edhy Prabowo disebut menerima suap sekitar Rp 24.625.587.250.000 dan USD 77.000 terkait kasus korupsi izin ekspor benih lobster. Setelah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum, Hakim menjatuhkan hukuman kepada Edhy sesuai dengan tuntutan jaksa.
"Mengadili, menyatakan Terdakwa Edhy Prabowo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa 5 tahun dan pidana denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar hakim ketua Albertus Usada di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Vonis hakim kepada Edhy yang dianggap tidak memberatkan mengakibatkan banyaknya masyarakat yang kontra terhadap putusan tersebut. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) vonis hakim terhadap Edhy Prabowo tidak pantas untuk diganjar lima tahun.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan mengatakan Edhy seharusnya menerima vonis 20 tahun penjara. Putusan hakim vonis lima tahun menggambarkan ketidakadilan kepada masyarakat. Menurutnya, baik KPK maupun majelis hakim sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor. Seperti yang diketahui, hukuman 5 tahun penjara itu serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK.
Putusan tersebut dianggap keliru karena hakim membenarkan suap sebesar Rp 24,6 miliar ditambah USD 77 ribu. Namun, hukuman yang diterima terbilang ringan. Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara.
“Vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut. Putusan itu dapat dianggap benar apabila Edhy hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator. Namun, hal ini berbeda. Edhy menerima suap mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga sekarang tidak kunjung mengakui perbuatannya," kata Kurnia Ramadhan.
ICW mendesak KPK untuk menyelidiki adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Edhy Prabowo. Bukti awal terlihat jelas misalnya, modus menggunakan pihak lain sebagai pembeli properti untuk menyamarkan aset hasil kejahatan atau bahkan meminjam rekening orang ketiga untuk menerima sejumlah penerimaan suap.
Usai sidang Edhy mengaku sedih atas putusan hakim karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Kesedihan Edhy tidak mengurungkan niatnya untuk mengajukan banding. Sebelumnya, Edhy mengaku siap dihukum mati jika dianggap salah.
"Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah saya tidak lari dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari itupun saya siap yang penting demi masyarakat saya. Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan, saya tidak berlari dari kesalahan yang ada. Silakan proses peradilan berjalan," katanya.
Saat ini yang menjadi problematika adalah masyarakat seringkali mempertanyakan regulasi mengenai hukuman yang diberikan kepada para koruptor. Masyarakat merasa bingung mengapa pemberi hukuman tidak memberikan hukuman sesuai dengan tindakan yang telah dilakukan oleh para koruptor. Hukuman yang diputuskan dinilai tidak setimpal dengan perilaku yang telah dibuat. Pemberian hukuman yang tidak sesuai ini dapat menyebabkan ketidakadilan hukum di masyarakat. Akibatnya, kepercayaan publik pada pemerintah dapat menurun.
Referensi :
BBC. 2020. Edhy Prabowo Dijatuhi Hukuman 5 Tahun Penjara Dan Dicabut Hak Politiknya dari Jabatan Publik. Diakses pada 25 Juli 2021. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57849008.
Ramadhan, Azhar Bagas. 2021. ICW: Edhy Prabowo Harusnya Divonis 20 Tahun Penjara. Diakses pada 25 Juli 2021. https://news.detik.com/berita/d-5645570/icw-edhy-prabowo-harusnya-divonis-20-tahun-penjara?_ga=2.125265608.376610248.1627177815-500304010.1615085328.
Tempo. 2021. Vonis Korupsi Edhy Prabowo, Berapa Hukuman Maksimal Koruptor Sesuai KUHP?. Diakses pada 25 Juli 2021. https://nasional.tempo.co/read/1484215/vonis-korupsi-edhy-prabowo-berapa-hukuman-maksimal-koruptor-sesuai-kuhp.
Penulis : Annisa Firdaus
Editor : Fitha Dwi Kartikayuni
TAG: #demokrasi #hukum #pemerintahan #politik