Pemberian julukan “The King of Lip Service†kepada Jokowi, “The King of Silent†kepada Ma’ruf Amin, dan “The Queen of Ghosting†kepada Puan Maharani telah menjadi topik perbincangan utama belakangan ini. Gelar ini diberikan sebab kinerja ketiga pejabat tersebut dianggap tidak efektif untuk mengatasi krisis di Indonesia, seperti permasalahan UU ITE, RUU Pelemahan KPK, hingga penanganan pandemi yang buruk.
Belakangan ini, topik yang sedang hangat dibicarakan selain COVID-19 adalah poster berwarna putih dengan wajah Presiden Indonesia di tengahnya, dibarengi dengan kata-kata “Jokowi: The King of Lip Service”. Sontak, poster ini menyebar dan masyarakat menyoroti fakta bahwa pengunggah poster tersebut adalah BEM salah satu universitas ternama, yakni Universitas Indonesia. Hal ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat yang kembali memunculkan kembali janji-janji presiden Joko Widodo yang selama ini dianggap tidak pernah terpenuhi. Kemarahan ini dikatakan muncul sebab banyak permasalahan yang tetap tidak dapat ditangani Jokowi meskipun telah memberikan janji untuk segera menyelesaikannya, seperti UU ITE dan RUU KPK.
Sekelompok orang yang kerap dijuluki “Buzzer RP” menanggapi hal ini dengan melemparkan ujaran kebencian ke beberapa anggota BEM UI melalui cuitan-cuitan Twitter. Namun, teror tidak berhenti sampai situ. Dari kabar yang beredar di Twitter, beberapa anggota BEM UI bahkan mengalami peretasan sosial media pribadi. Pihak yang kontra terhadap unggahan BEM UI menyebut bahwa pembuatan poster tersebut merupakan penyerangan terhadap presiden. Dilansir dari Kompas.com, Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra, menyangkal tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa poster ini merupakan kritik terhadap kebijakan Jokowi selama ini, bukan
penyerangan secara personal.
“Jadi itu adalah dua hal yang berbeda antara serangan personal dengan kritik yang kita sebut the king of lip service,” ujarnya untuk menegaskan perbedaan keduanya.
Meski menuai banyak kontra, banyak pula golongan masyarakat yang mengapresiasi keberanian BEM UI untuk mengangkat topik tersebut meskipun terdapat kemungkinan bahwa mereka bisa dijerat UU ITE.
Tak lama setelah itu, BEM UI mendapat dukungan dari BEM UNNES yang mengangkat dua tokoh baru dengan dua julukan baru pula, yakni “Puan Maharani, The Queen of Ghosting” dan “Ma’ruf Amin, The King of Silent.”
Kedua tokoh ini disoroti oleh beberapa alasan. Puan digelari “The Queen of Ghosting” sebab kinerja DPR yang dinilai buruk dua tahun ke belakang. BEM UNNES menyoroti persoalan RUU, seperti RUU KPK, RUU Cipta Kerja, dan RUU Minerba. RUU Cipta Kerja dan RUU Minerba yang didiskusikan ketika kondisi pandemi memburuk di Indonesia dianggap BEM UNNES sebagai langkah yang mengecewakan. Pengesahan UU Minerba yang baru-baru ini dianggap sebagai keberpihakan terhadap oligarki, terutama pemilik perusahaan-perusahaan tambang besar. Pemberian kontrol penuh terhadap pemerintah pusat dinilai tidak tepat pula, sebab pemerintah daerah tentunya lebih mengetahui kondisi wilayah. Selain itu, BEM UNNES juga menyesalkan pasifnya DPR dalam penanganan pandemi. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, peran aktif DPR dibutuhkan untuk memulihkan dan membantu masyarakat di tengah pandemi seperti ini.
“Namun, harapan publik dan kondisi ideal itu berbeda dengan apa yang terjadi. DPR RI tak lebih dari sekadar lembaga yang hanya memproduksi janji menjadikan kedaulatan rakyat hanya sebatas jargon,” tulis BEM UNNES pada unggahan Instagramnya.
Unggahan ini menuai respon dari beberapa politikus PDIP. Dilansir dari Galamedianews.com, Arteria Dahlan menyebut kritik tersebut dangkal karena tidak berdasarkan fakta yang utuh.
"Kok dangkal sekali ya, hanya dengan mendasarkan pada beberapa fakta atau bahkan kepingan suatu fakta yang tidak utuh. Hanya dengan mendasarkan prasangka tanpa terlebih dahulu melakukan penelitian dan kajian untuk kemudian diuji publik? Tiba-tiba melakukan kesimpulan-kesimpulan seperti itu yang bahkan cenderung menista, memfitnah dan menyerang kehormatan seseorang," ujarnya, menyesalkan penyematan gelar “The Queen of Ghosting” tersebut.
BEM UNNES juga menjabarkan alasan Ma’ruf Amin diberi gelar “The King of Silent” di unggahan selanjutnya. Penyematan gelar tersebut dikarenakan BEM UNNES menilai bahwa tidak terdapat peranan aktif dari Ma’ruf Amin untuk turut mengatasi permasalahan yang terjadi di Indonesia, seperti konflik agraria antara masyarakat dan pemodal, permasalahan pendidikan, kesejahteraan masyarakat rentan, serta ancaman kebebasan sipil dan demokrasi di tengah pandemi yang sedang berlangsung di Indonesia. Pribadi yang low profile tidak bisa menjadi alasan untuk bersikap pasif mengingat jabatannya sebagai wakil presiden.
“Kecenderungan diam karena alasan pribadi yang low profile, dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden dapat dinilai kurang tepat dengan menakar pada tugas, peran, wewenang dan tanggung jawab etisnya sebagai wakil presiden,” tulis BEM UNNES.
Dilansir dari Kompas.com, Juru Bicara Wakil Presiden Masduki Baidlowi mengatakan bahwa Wapres Ma’ruf Amin telah mengetahui kritik yang diberikan BEM UNNES. Tetapi, reaksi yang disampaikan biasa-biasa saja.
“Sudah tahu (soal kritikan BEM UNNES). Reaksinya biasa-biasa, ketawa-ketawa saja,” ujar Masduki dalam konferensi pers, Rabu (7/7).
TAG: #pemerintahan #politik #tokoh-nasional #