.jpg)
Riset ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga memberikan ruang inklusif bagi mahasiswa dengan identitas gender queer dan orientasi seksual dalam spektrum LGBTQ+.(Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, dan sebagainya)
Retorika.id- Masyarakat Indonesia masih sulit menerapkan toleransi pada kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan sebagainya (LGBTQ+). Meski LGBTQ+ tidak lagi diklasifikasikan sebagai “gangguan mental” sejak 1973 dan sudah terdapat banyak inklusi dari organisasi-organisasi besar dunia (lihat artikel PBB, WHO), kelompok queer tetap dianggap sebagai bagian dari penyimpangan sosial yang bertentangan dengan norma, budaya, dan agama.
Di lingkungan akademis, hal ini acap kali termanifestasi dalam bentuk peraturan resmi yang menolak dan mendiskriminasi kelompok LGBTQ+. Beberapa contohnya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
ITB, melalui Peraturan Senat Akademik 2023, menggolongkan LGBTQ+ sebagai perilaku berisiko dan melarang mahasiswa terlibat dalam aktivitas LGBTQ+. UGM juga mengeluarkan larangan terhadap LGBTQ+ di Fakultas Teknik pada 2023, dengan alasan tidak sesuai dengan nilai Pancasila.
Di sisi yang berseberangan, Universitas Indonesia (UI) justru mengeluarkan peraturan yang melarang adanya diskriminasi terhadap orang lain, salah satunya adalah diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual. Peraturan ini terdapat pada Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Universitas Indonesia. Aturan ini disebut beberapa kali pada Bab III Pasal 16, Bab V Pasal 32, dan Bab V Pasal 33 yang menjadi tanda bahwa UI tegas menghadapi adanya diskriminasi terhadap kelompok Queer dan memberikan mahasiswanya lingkungan kampus yang aman dan inklusif bagi semua orientasi seksual.
Jika berbicara mengenai posisi Universitas Airlangga dalam menyikapi kelompok LGBTQ+, Unair sebenarnya dapat mengacu pada salah satu poin Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta. Di dalamnya, Universitas Airlangga menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, Unair berprinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Artinya, setiap civitas akademika berhak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif.
Atas basis tersebut, riset ini dilakukan untuk menganalisis sejauh mana lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga memberikan ruang inklusif bagi mahasiswa dengan identitas gender queer dan orientasi seksual dalam spektrum LGBTQ+. Riset ini penting dilakukan untuk melihat baik dari sisi mahasiswa queer maupun orang-orang terasosiasi yang rentan mengalami represi. Data yang diperoleh berasal dari tujuh mahasiswa dari tujuh program studi, yaitu Sosiologi, Ilmu Politik, Ilmu Komunikasi, Antropologi Administrasi Publik, Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Data tersebut kemudian kami sajikan sebagai riset naratif yang melibatkan pengumpulan, analisis, dan penafsiran dari bahan-bahan naratif (Squire et al, 2014) yang berasal dari pengalaman subyektif milik para narasumber.
Inklusivitas Semu Berbumbu Heteronormatif FISIP
L, saat ini berstatus sebagai mahasiswa aktif di FISIP Unair, mengidentifikasi dirinya sebagai seorang pansexual dan genderfluid. Kepada Retorika, ia bercerita pengalamannya mengikuti suatu perkuliahan yang sempat membuatnya tersindir.
“Dosen itu bilang, kalau misalkan… kalau apa ya? Dibilangnya, kalau laki-laki, ya udah, laki-laki. Kalau perempuan, ya udah, perempuan.”
Katya (nama disamarkan), mahasiswa FISIP lain yang juga merupakan narasumber Retorika, adalah transgender dan genderfluid. Dia beranggapan bahwa kampusnya tersebut masih memegang budaya heteronormatif. Ini berarti bahwa FISIP didominasi oleh pandangan di mana heteroseksualitas merupakan orientasi seksual yang normal dibandingkan dengan orientasi seksual yang lain dan bahwa di dunia ini hanya terdapat dua gender: laki-laki dan perempuan (Pandea et al., 2019).
Berkaca dari ITB, UGM, dan UI, Universitas Airlangga sendiri masih belum memiliki basis hukum atau kebijakan formal yang menyikapi kelompok dengan keberagaman gender dan orientasi seksual secara langsung. Hal ini tercermin dalam iklim sosial budaya di FISIP yang menurut sebagian besar narasumber kami, masih sangat heteronormatif dan kurang mendukung ekspresi identitas gender dan orientasi seksual yang beragam. Seluruh narasumber kami yang mengidentifikasikan diri sebagai queer mengungkapkan bahwa mereka harus menncari ruang kecil di dalam kampus di mana mereka bisa bebas mengekspresikan identitas mereka tanpa takut terhakimi.
“Circle ada ibaratnya lingkungan kecil buat membentengi diri dari lingkungan queerphobic yang lebih dominan. Supaya bisa survive,” ujar Maleti (nama disamarkan), salah satu narasumber kami. Sebagai seorang gay, ia berpendapat bahwa lingkungan FISIP masih belum cukup inklusif. “Karena nggak ada semacam aturan tertulis yang jadi acuan kalau orang-orang dengan gender yang rentan kenapa-napa.”
L, meski merasa nyaman dengan lingkungan sosial dekatnya, mengakui bahwa ada rasa takut yang masih membayangi dirinya saat beraktivitas di kampus.
“Ga pasti gitu loh. Kayak masih ada takut. Masih ada apa ya. Sadar aja kalo misalkan kita itu agak rawan gitu loh untuk keseharian di kampus gitu. Kalau misal keseharian aku di kampus sama teman-teman dekat sama orang-orang terdekat aku itu aku masih bisa apa ya,
biasa gitu sehari-hari. Tapi, kalo misalkan kita gali lebih dalam itu masih ada kekhawatiran dan ketakutan karena mungkin sadar kalau posisi kita tuh sangat rawan gitu loh.”
Di sisi lain, Mawar, seorang narasumber lain yang mengidentifikasi diri sebagai biseksual, memiliki pandangan yang sedikit lebih optimis mengenai inklusivitas di FISIP.
“Menurutku orang-orangnya (civitas akademika FISIP) gak seberapa peduli as long as gak ke-exposed,” ujarnya. “Orang lain tidak sepeduli itu asalkan tidak bikin acara yang exposed soal mereka (LGBTQ+). Jadi, temen-teman lingkungan FISIP menurutku udah inklusif, cuma masih kurang pengekspresian yang lebih dari temen-temen LGBTQ+.”
Namun, Mawar menyambung ini dengan pengalamannya ketika terlibat dalam suatu ormawa di FISIP dari tahun 2023-2024. Menurutnya, meski sudah ada upaya untuk mendukung kesetaraan gender melalui wadah yang ada di BEM FISIP, kesetaraan tersebut masih timpang, bahkan cenderung mengalami kemunduran.
“Kalau dibandingkan sama tahun ‘23 beda banget. Tahun ‘23 pernah bikin acara nobar film queer yang juga mengundang narasumber queer Komunitas Transpuan Surabaya. Jadi beneran se-inklusif dan sangat diwadahi oleh Cakrawala Sanubari (Caksan),” kata Mawar, merujuk kepada nama lain Kementerian Pergerakan dan Kesetaraan Gender BEM FISIP dari tahun 2020 hingga 2023. “Namun, di GKKG (kementerian kesetaraan gender BEM FISIP tahun 2024, -red) sendiri kayaknya emang dari presbemnya yang emang pengen gerakan perempuannya lebih banyak dan menterinya juga kurang inklusif. Mereka lebih ke women-centered gitu.”
Diskriminasi dari Organisasi Mahasiswa (Ormawa)
Bicara tentang isu gender dan seksualitas di ranah Ormawa, kami kembali mewawancarai Maleti dan Katya. Karir organisasi keduanya berfokus pada perjuangan kesetaraan gender, dan pengalaman hidup mereka sebagai individu queer diikutsertakan dengan kinerja mereka di BEM FISIP Universitas Airlangga.
Namun, meski menjadi bagian dalam BEM, kehidupan keduanya sebagai mahasiswa queer masih memiliki tantangan tersendiri, karena banyak pihak yang masih menentang eksistensi kelompok LGBTQ+, baik di dalam maupun di luar lingkungan FISIP Unair.
Di ranah BEM FISIP, Maleti mengakui bahwa ia mendapat diskriminasi. Namun, diskriminasi yang ia terima bukan atas dasar orientasi seksualnya, namun karena ia membersamai teman-teman queer yang lebih ‘visible’, misalnya mereka yang berpenampilan tidak menuruti konformitas gender yang sesuai dengan harapan gender masyarakat (contoh; lelaki feminim, perempuan maskulin).
“Posisiku saat itu nggak didiskriminasi karena orientasi seksualku gay, tapi karena aku membersamai teman-teman gay yang lain yang mungkin lebih visible. Hal itu yang aku coba angkat tapi mereka (BEM) gamau dan ga membiarkan aku untuk mengangkat hal itu. Padahal, posisinya di situ dalam kementerian yang seharusnya sejalan dengan hal itu.”
Maleti menambahkan, meskipun partai-partai tertentu dalam kampus sering mengusung tema inklusivitas saat berkampanye, kenyataannya ia merasa tidak ada representasi yang nyata.
“Berdasarkan permira, mereka yang berasal dari partai-partai itu ketika berkampanye selalu mengusung tema inklusif, tapi ketika selebrasi aku bahkan gak melihat ada perempuan di situ. Jadi jangankan gender yang rentan (queer), perempuan aja belum. Aku agak pesimis kedepannya gimana. Juga, karena nggak ada semacam aturan tertulis yang jadi acuan kalau orang-orang dengan gender yang rentan kenapa-napa.”
Perlakuan diskriminatif pihak ormawa tidak hanya berhenti di situ saja. Katya, yang mengidentifikasi diri sebagai trans dan genderfluid, juga mengungkapkan bahwa dirinya kerap kali menerima perlakuan diskriminatif. Prasangka masyarakat umum dialami olehnya secara pribadi sehari-hari karena penampilannya yang menjurus ke feminin.
Ketika Katya sedang melakukan video promosi untuk BEM FISIP, dia menerima pesan seperti "Kamu mau syuting ulang atau nggak videonya? Karena ini masih awal pengurusan. Takutnya, mengundang kontroversi dan lain sebagainya." Selain itu, di proses perekaman video tersebut, beberapa scene miliknya juga di-cut karena ia menggunakan make up.
“Terus ada beberapa kayak contoh skenario yang kejadian ke aku dan yang aku rasa cukup homophobic gitu. Kayak misal ada pembatalan acara dari Presbem yang temanya kesetaraan gender sebenarnya waktu itu. Terus abis itu pernah juga waktu bikin vivideo promosi awal-awal itu aku juga sempat di-cut. Pokoknya scene-scene-ku ada beberapa yang di-cut karena aku pakai make-up gitu.”
Bentuk diskriminasi lain yang diterima Katya adalah kesulitan selama mengajukan program kerja hingga berujung pada penolakan program kerja oleh Presiden Ormawa tersebut.
"Pokoknya dia bilang, 'Di FISIP itu udah setara, dari teman-teman LGBTQ+ pun bisa ikut banyak acara dari BEM maupun dari FISIP. Jadi, nggak pantes lah kalau misalnya kita bikin satu acara atau kayak satu malam khusus untuk teman-teman LGBTQ+ doang,' gitu."
Restriksi terhadap pelaksanaan program kerja yang menyinggung topik keberagaman gender dan seksualitas ini juga disaksikan oleh Code (nama disamarkan), seorang narasumber yang juga adalah bagian dari Ormawa yang bersangkutan.
“Dulu sempat magang di KPKG aku nggak dapat (diskriminasi) sama sekali. Tapi sejak pindah Presbem, pindah menteri lah, ya kaya gitu. Bahkan ketika kita bicara soal hak-hak gitu ditutup, terus kita mau bikin kajian tentang Pride Month di bulan Juni itu dibungkam, kaya takedown! Takedown! disuruh Presbem takedown! Kek what the heck bro? Aneh, cuma bikin (kajian) Pride Month di bulan Juni tentang kesetaraan doang nggak boleh.”
Minimnya aturan yang mendukung inklusivitas kaum Queer di Unair
Kembali pada Maleti. Ia merujuk pada peristiwa enam tahun lalu, yaitu ketika Universitas Indonesia merilis Peraturan Rektor No.14 tahun 2019 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku UI. Dalam peraturan tersebut, terkandung dua pasal, yaitu pasal 5 dan pasal 14, yang melarang keras bentuk diskriminasi bagi setiap warga UI berdasarkan kriteria apapun, termasuk identitas gender dan orientasi seksual.
Dua pasal ini, meski sederhana, eksistensinya amat sangat penting. Karena memiliki kebijakan anti-diskriminasi yang jelas, lembaga seperti UI bisa melindungi kelompok LGBTQ+ dari peraturan maupun perlakuan diskriminatif, memastikan bahwa dalam ranah akademik, setiap orang berhak diperlakukan sama dan adil (Johnson, 2023). Ditambah, kebijakan ini dirilis sebagai Peraturan Rektor yang adalah kepala pemangku kebijakan di Universitas.
Fondasi krusial inilah yang belum dimiliki Universitas Airlangga secara keseluruhan. Perlindungan yang hilang dari kepala pemangku kebijakan Universitas Airlangga inilah yang mendukung suburnya budaya heteronormatif yang berkembang, juga membuka celah, bagi pihak instansi maupun mahasiswa, untuk melakukan tindakan-tindakan diskriminasi yang telah disebutkan pada kelompok queer di FISIP, seperti yang telah disebutkan oleh para narasumber kami.
“Kalau BEM, BLM, dan lain-lain jelas mengikuti instansi utamanya; entah Dekanat sebagai pimpinan FISIP,” ujar Maleti. Sejalan dengan Maleti, Mawar juga mengamini bahwa hal tersebut juga terjadi di dalam BEM FISIP.
“Soalnya anak-anak di organisasi tergantung menteri, menteri juga tergantung sama presbem. Bedanya menteri tahun 2023 dan 2024, 2023 menterinya bisa gerak sendiri bener-bener mewadahi anggotanya untuk mengekspresikan apapun dari kementeriannya. 2024 menterinya kurang banget buat memaksimalkan wadah kesetaraan gender. Jangankan queer, kesetaraan gender antara cewek dan cowok aja kurang banget.”
Lebih jauh lagi, Katya mengakui adanya kesulitan dalam menerima kondisi ini, meskipun ia mencoba untuk memahaminya. “Kalau misal dari pihak Dekanat, oke mungkin aku bisa paham sedikit ada perbedaan generasi ada dan segala macam di situ walaupun kita ada di FISIP yang harusnya open-open aja gitu kan. Dan harusnya kita nilai itu sebagai kayak suatu keragaman manusia aja. Tapi, ternyata, banyak yang enggak. Tapi aku masih bisa paham kalau misalnya itu (dosen) ada di golongan tua atau di Dekanat gitu.” (Katya).
Tantangan dari Pihak Mahasiswa
Selanjutnya, dua narasumber kami, Katya dan Code, menyebutkan bahwa tantangan kedua datang dari mahasiswa yang tidak mau mengedukasi diri sendiri.
“Jadi kalau misal kalau KPKG bikin acara atau segala macam, mereka tuh nggak mau datang atau kayak kalaupun datang udah bawa kayak jubah agama, kepercayaannya, atau nilai-nilainya masing-masing. Pokoknya mereka jadinya nggak berempati atau program edukasi kita yang emang tujuannya adalah untuk membahas topik-topik tabu dan lain sebagainya itu jadi nggak nyampe di mereka. Karena boro-boro mau diterima, terbuka, untuk mendengarkan aja tuh nggak kadang. Seperti itu,” jelas Katya.
Mawar sendiri sempat menyebutkan bahwa semua jurusan di FISIP memiliki mata kuliah tentang gender. Menyangkut hal ini, Code menambahkan bahwa kecenderungan diskriminasi dan sikap homofobik oleh mahasiswa FISIP merupakan hal yang sangat disayangkan.
“If you’re being homophobic kaya aneh gitu loh, kaya elu mahasiswa and di sosial and then lu being homophobic gamau menerima ilmu-ilmu yang di sosial sedang terjadi tuh kaya aneh sih menurut aku. Aku nggak memaksa kalian untuk menjadi orang yang mendukung or what, aku ngga peduli, setidaknya kamu menghargai, setidaknya kamu ya tidak menutupi suara-suara seperti itu.”
Sejatinya, yang diminta oleh kelompok queer tidak muluk-muluk. Indah (nama disamarkan), narasumber lain yang megidentifikasikan diri sebagai biseksual pun mengakui bahwa menciptakan lingkungan kampus yang ideal memang tidak mudah, apalagi di Indonesia. Namun begitu, ia hanya meminta agar ia dipandang sebagai seorang manusia.
“Lingkungan yang ideal agak susah karena menentang aturan dan norma jadi mendukung kebebasan ekspresi dari queer juga agak tertekan. Jangan sampai keluar statement benci bagaimanapun juga kita juga manusia. At least gak menyebar kebencian aja.”
Bagaimana LGBTQ+ dipandang dalam aturan Unair Saat ini
Lantas, bagaimana kaum LGBTQ+ sebenarnya dipandang dalam aturan Unair saat ini?
Mengacu pada salah satu poin Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Airlangga menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, Unair berprinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Artinya, setiap civitas akademika berhak menerima perilaku non-diskriminatif. Perlu digarisbawahi bahwa peraturan ini berlaku dan wajib ditaati seluruh civitas akademika Unair. Seperti ungkapan "Aturan ada untuk dilanggar," masih ada civitas akademika yang menerima perilaku diskriminatif karena latar belakang mereka ataupun bagi mereka yang turut memperjuangkan kesetaraan keberagaman gender. Hal ini terbukti dari beberapa kesaksian oleh narasumber.
Maleti dan Katya memiliki acuan bahwa lingkungan yang inklusif terhadap komunitas queer adalah lingkungan di mana badan yang berkuasa dapat membuat statuta yang mengakui bahwa komunitas queer adalah masyarakat yang rentan di lingkungan sosial dan bahwa mendiskriminasikan mereka adalah tindakan yang ilegal dan tidak semestinya terjadi, terutama di lingkungan akademik.
Meskipun demikian, di Universitas Airlangga belum terdapat basis hukum sedemikian rupa sehingga membuat diskriminasi terhadap kelompok queer di FISIP Universitas Airlangga tidak dapat dijerat secara hukum.
“Belum, karena gak ada semacam aturan tertulis yang jadi acuan kalau orang-orang dengan gender yang rentan kenapa-kenapa. Contoh, di UI (Universitas Indonesia) tertera jelas di statutanya kalau gak boleh mendiskriminasikan seseorang berdasarkan orientasi seksual dan gendernya. Di Unair, terutama FISIP, belum ada dan dibilang inklusif belum bisa,” jelas Maleti.
“Setidaknya kita punya basis legal bahwa emang di lingkungan Universitas Airlangga itu gak boleh melakukan yang kayak begitu,” ungkap Katya.
Di akhir wawancara, semua narasumber kami pun mengungkapkan harapan mereka. Katya berharap upaya anti diskriminasi dapat lebih dipertegas terutama dalam lingkungan organisasi mahasiswa dengan cara membuat aturan yang melarang diskriminasi berbasis jenis kelamin, agama, ras, termasuk identitas gender dan orientasi seksual supaya terjamin bahwa setidaknya kita punya dasar hukum untuk melindungi teman-teman komunitas LGBTQ+.
Sementara itu, Maleti menegaskan bahwa untuk mewujudkan lingkungan inklusif yang ideal harus ada aturan tertulis. Mawar menyampaikan harapan untuk tidak hanya membiarkan keberadaan teman-teman LGBTQ+ tetapi juga memandang mereka sebagai manusia dan sebaiknya tidak perlu memberi tekanan kepada teman-teman LGBTQ+. Sejalan dengan Mawar, Indah berharap untuk jangan sampai keluar pernyataan benci terhadap teman-teman LGBTQ+ karena bagaimanapun mereka juga seorang manusia.
Kesimpulan
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan terhadap tujuh narasumber dari seluruh prodi di FISIP, dapat disimpulkan bahwa lingkungan FISIP saat ini belum bisa dikatakan inklusif ataupun terbuka terhadap isu-isu mengenai orientasi seksual dan identitas gender. Beragam pernyataan narasumber yang didapat masih menjadi bukti bahwasannya civitas akademika belum melaksanakan Statuta Unair secara maksimal.
Hadirnya ungkapan narasumber mengenai perilaku diskriminatif, seharusnya menjadi evaluasi, khususnya bagi ormawa dan lembaga Unair sendiri. Terlebih lagi lembaga atau organisasi di FISIP yang berdiri di bawah nama kesetaraan dan keberagaman gender. Sebaiknya menjadi bahan renungan, apakah perjuangan yang mereka gembor-gemborkan selama ini sesuai dengan misi kesetaraan? Ataukah hanya sekadar performatif belaka?
Selain itu, Unair pun menunjukkan ketidak tegasannya dalam menindaklanjuti beragam perilaku diskriminatif dan homofobik terhadap keberagaman gender. Sederhananya, kembali pada Statuta Unair, sama sekali tidak menyebut keberagaman gender pada prinsip anti diskriminatif.
Berdasarkan harapan yang disampaikan oleh para narasumber, perlu adanya pemahaman oleh warga FISIP mengenai orientasi seksual, identitas gender, dan jenis kelamin sebagai langkah awal dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas diskriminasi. Pemahaman yang komprehensif mengenai keberagaman gender dan seksualitas akan membantu untuk lebih menghargai perbedaan serta tidak mudah untuk melayangkan ujaran kebencian.
Tidak cukup hanya dengan mengakui keberadaan mereka, kesadaran keberagaman ini perlu ditegaskan oleh institusi akademik untuk menjamin hak dan keamanan setiap individu, baik melalui peraturan tertulis maupun edukasi yang berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan lingkungan fisip dapat menciptakan ruang yang aman dan setara bagi setiap individu tanpa adanya stigma dan diskriminasi.
Referensi:
Johnson, R. B. (2019). Passion and Policy: How Student Affairs Educators Navigate Their Roles in the Face of Legislative Restrictions. In P. M. Magolda, M. B. B. Magolda, & R. Carducci (Eds.), Contested Issues in Troubled Times: Student Affairs Dialogues on Equity, Civility, and Safety (p. 274). Stylus Publishing, LLC.
Pandea, A.-R., Grzemny, D., & Keen, E. (2019). Gender Matters: A manual on addressing gender-based violence affecting young people (R. Gomes (ed.); Second Edi). Council of Europe.
Squire, C., Davis, Ma., Esin, C., Andrews, M., Harrison, B., Hyden, L.-C., & Hyden, M. (2014). What is Narrative Research? Bloomsbury Publishing Plc.
Penulis: Naara Nava A.L., Zauria Septiarrum, Pinkan Ayu N., Albertus Rahardiyan A., Ade Kalya N.P., Nailah Rahma T., Anisa Eka (Tim Litbang)
Editor: Aveny Raisa
TAG: #aspirasi #fisip-unair #universitas-airlangga #