Kontroversi karangan bunga satire untuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029 memicu debat tentang kebebasan berpendapat dan serangan siber terhadap Presiden BEM, Tuffahati Ulayyah. Serangan komentar misoginis dan ancaman kekerasan seksual di media sosial menunjukkan sisi gelap budaya misoginis di media sosial Indonesia
Retorika.id - Memang, sebagai negara demokrasi, kebebasan berpendapat telah dijamin, artinya warganet memiliki hak untuk melayangkan komentar terkait suatu peristiwa. Terpancingnya berbagai komentar terkait dengan diksi yang dicantumkan dalam karangan bunga satire adalah hal yang wajar karena proses encoding di tiap individu berbeda-beda. Warganet kerap keliru dalam mendefinisikan bebas berpendapat sebagai ujaran kebencian. Penggunaan diksi kasar dalam karangan bunga tersebut seakan menjadi justifikasi bagi para warganet untuk melayangkan komentar yang menyerang baik kelompok maupun personal individu dari produsen konten bunga satire.
Komentar negatif tidak hanya menyasar akun resmi BEM FISIP Unair, terutama di Instagram (@bemfisipunair), tetapi juga menyasar ke akun yang tidak berkaitan, seperti BEM Unair (@bem_unair) dan akun resmi Unair (@univ_airlangga). Bahkan, di unggahan yang tidak berkaitan sama sekali dengan kasus, seperti info webinar atau advokasi mahasiswa terkait pendataan juga menjadi sasaran empuk pelampiasan amarah para warganet.
Lebih parahnya lagi, saluran pribadi milik Tuffahati Ulayyah (Tuffa), Presiden BEM FISIP Unair, juga dipenuhi oleh banyaknya komentar serupa. Tidak sedikit pula pesan yang dikirimkan tidak sesuai dengan kasus ataupun substansi dari kritik sebelumnya,
tetapi justru mengarah ke doxxing, ancaman personal, pelecehan verbal dan seksual, diskriminasi gender, dan lain-lain. Beberapa bukti yang sudah dikumpulkan oleh tim Retorika, berasal dari kolom komentar di akun Instagram pribadi Tuffa (@tuffa_) dapat diakses melalui tautan berikut: https://drive.google.com/drive/folders/10zg2Tcl3h2Ez1kAZ6_wx9hK-QvxxadG-?usp=sharing
Jika diksi “jenderal bengis pelanggar HAM”, “rahim haram konstitusi”, dan “bajingan penghancur demokrasi” dalam karangan bunga itu dipermasalahkan dan dianggap sebagai penghinaan, lalu apa bedanya dengan diksi yang digunakan oleh para warganet untuk menyerang pribadi Tuffa?
Salah satu contoh paling bengis adalah komentar oleh salah satu warganet, “perk0sa aja rame2 lalu kencingin mukanya”. Apakah komentar semacam ini dirasa pantas untuk membalas perbuatan yang dilakukan sebelumnya? Komentar tersebut bahkan sama sekali tidak berkaitan dengan kritik satire yang seharusnya menjadi topik utama. Parahnya, komentar-komentar serupa juga membanjiri di kanal media lain. Dari kasus ini, warganet bukan lagi bersikap kritis terhadap permasalahan yang ada, namun hanya mencari ‘samsak’ untuk meluapkan emosi-emosinya, salah satunya dengan melecehkan Tuffa.
Pelecehan siber yang dialami Tuffa merupakan contoh nyata mengakarnya budaya misoginis di Indonesia. Posisi Tuffa sebagai perempuan menjadikan Tuffa sasaran empuk dengan menghujamnya dengan komentar-komentar degradasi ala kaum misoginis. Komentar yang telah diucapkan selama bertahun-tahun jika ditinjau menggunakan the ritual model dalam studi komunikasi tidak hanya menumbuhkan perasaan rendah diri tetapi juga menyebabkan perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok kelompok minoritas, yang dalam kasus ini adalah kelompok perempuan. Jika masyarakat terus-menerus mendengar bahwa orang lain dianggap rendah hanya karena mereka perempuan, identitas perempuan itu akan menjadi lencana rendah diri dan alasan untuk menolak kesempatan serta perlakuan yang layak. Terbukti, terlepas dari posisi dan prestasi Tuffa sebagai Presiden BEM FISIP Unair, identitasnya sebagai perempuan membuat Tuffa tetap terperangkap dalam komentar-komentar misoginis yang mengobjektifikasi dirinya.
Walau status pembekuan BEM FISIP Unair telah dicabut, komentar serupa juga tak kunjung berhenti di berbagai kanal media. Pemandangan khas dari kaum misoginis yang mencari justifikasi untuk mendegradasi wanita. Kasus serupa juga pernah terjadi pada Gitasav yang masih kerap dihujani komentar-komentar misoginis jauh setelah kontroversi mengenai konsep ‘childfree’ yang ia lontarkan. Warganet Indonesia seakan terjebak dalam implicit bias, yaitu preferensi atau penilaian yang tidak disadari muncul dan mempengaruhi perbuatan suatu individu. Implicit bias terhadap perempuan inilah yang akan terus menghambat perempuan, apapun posisinya untuk keluar dari lingkungan misoginis. Perempuan rasanya akan selalu menjadi objek kemarahan publik. Fisik, gender role, dan identitas lainnya yang tertancap pada diri perempuan akan menjadi alat justifikasi bagi mereka yang berada dibawah pengaruh implicit bias, menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan.
Memang, diksi yang digunakan oleh BEM FISIP Unair itu bisa diinterpretasikan sebagai ‘kurang ajar’. Banyak yang mengatakan bahwa kebebasan berpendapat itu juga tidak mengenal batas, asal sesuai dengan realita yang ada. Namun, kebebasan berpendapat dan ancaman verbal ataupun seksual atas dasar misogini merupakan dua hal yang jauh berbeda. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila masih banyak warganet yang melontarkan komentar seperti itu dan berlindung di balik frasa ‘kebebasan berpendapat’.
Penulis : Naomi Widita dan Anisa Eka
Editor: Shafa Athirah
TAG: #bem #bullying #demokrasi #gender