
Menanggapi kontroversi karangan bunga satire BEM FISIP Unair akibat diksi yang dinilai ‘kurang ajar’, Rektor Unair, Mohammad Nasih tidak setuju dengan penggunaan akun institusi sebagai medium kritik dan mendorong mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi secara personal. Langkah ini dinilai mengabaikan peran perguruan tinggi dalam memfasilitasi kebebasan berpendapat mahasiswanya. Terlebih lagi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) juga mengimbau pemberian kritik yang sopan ke depannya. Dari sinilah, muncul permasalahan baru. Apa sebenarnya peran universitas terhadap para mahasiswanya?
Retorika.id - Karangan bunga berisi ucapan selamat bernada satire atas pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029 oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) pada Selasa (22/10/2024). Karangan yang ditujukan sebagai kritik atas rekam jejak kurang mengenakkan dari pasangan terpilih itu menuai reaksi impulsif, bahkan ancaman dari warganet kepada BEM FISIP Unair lantaran penggunaan diksi yang dinilai ‘kurang ajar’ dan menghina pemimpin negara, seperti “jenderal bengis pelanggar HAM”, “rahim haram konstitusi”, dan “bajingan penghancur demokrasi”. Alhasil, surat keputusan pembekuan BEM FISIP Unair turun pada Jumat (25/10/2024).
Tanggapan Rektor Mohammad Nasih terkait dengan pembekuan BEM FISIP Unair kepada media Suara Surabaya pada Senin (28/10/2024) merupakan hal yang sangat disayangkan, karena Nasih menjelaskan bahwa kritik mahasiswa harus disalurkan melalui kanal yang benar.
“Kawan-kawan mahasiswa bebas mau menyampaikan apa saja, tapi gak perlu melibatkan institusi. Jadi misalnya mau apa pun lah ya, sudah silakan aja. Mudah saja kan menggunakan saluran Instagram pribadi, kenapa harus pakai instagram BEM Unair, persoalannya di situ aja. Kami tidak membatasi mereka, mau apa saja silakan. Tapi gunakan saluran-saluran yang benar,” seperti yang disampaikan Nasih kepada tim reportase Suara Surabaya pada Senin (28/10/2024).
Dari pernyataan itu saja, muncul sebuah permasalahan baru. Bagaimanakah sesungguhnya saluran kritik yang benar tersebut?
Pernyataan bahwa mahasiswa seharusnya melayangkan kritik kepada pemerintah melalui akun pribadinya yang disampaikan oleh Nasih menyalahi marwah perguruan tinggi sendiri.
Padahal, perguruan tinggi harusnya menjadi pengawas, khususnya dalam mengamati kondisi iklim politik di Indonesia. Maka, sudah sewajarnya mahasiswa melayangkan kritik. Sejatinya, kritik juga merupakan suatu pendapat yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian bersama. Kritik pula merupakan hal yang sangat wajar, apalagi di lingkungan akademis dan negara demokrasi. Namun, bukannya difasilitasi oleh kampus, kini suara mahasiswa FISIP terancam dibatasi akibat dinilai menyalahi etika.
Kembali pada pernyataan Nasih, institusi seharusnya juga menjadi jaminan keselamatan mahasiswanya apabila kritik yang disampaikan mendapat reaksi impulsif dari warganet. Komentar Nasih dalam reportase Suara Surabaya merupakan suatu bentuk mencuci tangan. Rektor seolah tidak mau ambil pertanggungjawaban apabila kejadian serupa terulang di masa depan. Dengan mengunggah kritik melalui media pribadi, mahasiswa sudah kehilangan identitasnya sebagai bagian dari akademisi dan lebih rentan terkena pasal karet tentang penghinaan atau pencemaran nama baik. Dengan demikian, reputasi institusi tidak akan terancam. Apa kabar peran perguruan tinggi yang konon katanya melindungi dan mengayomi para mahasiswanya?
Kalau perguruan tinggi tidak lagi mau menjadi wadah yang mengayomi dan menampung kritik mahasiswa, lebih baik ubah saja jargon ‘kritis’ jadi ‘apatis’.
Tuffahati Ulayyah (Tuffa) sebagai Presiden BEM FISIP Unair mengaku mendapatkan banyak ancaman dari pihak tidak dikenal melalui media sosialnya. Bahkan, tidak sedikit orang yang menyasar nomor pribadinya untuk mengirimkan teror, bahkan sampai ancaman pidana. Tuffa menambahkan akan melanjutkan kasus teror ini ke UNAIR Help Center dan Lembaga Bantuan Hukum. Ini semua terjadi ketika mahasiswa masih menggunakan saluran institusi. Lalu bagaimana jika mahasiswa menuruti perintah dari rektornya dan bergeser ke saluran pribadi? Apakah universitas benar-benar ingin lepas tangan jika ada kabar mahasiswanya menerima teror karena pendapatnya yang dinilai menghina hanya karena institusi tidak disebut lagi?
Padahal, sejatinya identitas asal institusi seorang mahasiswa akan tetap kekal baik disebutkan ataupun tidak. Publik tidak serta-merta melupakan identitas dan peran yang dimiliki seseorang begitu saja. Justru, dengan saluran institusi dapat menjadi sebuah langkah agar suatu kritik memiliki kredibilitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika memang institusi kini enggan menjadi wadah berpendapat bagi mahasiswanya, lalu apa gunanya ilmu-ilmu yang diajarkan di kelas? Apakah hanya cukup sebatas ditulis di lembar jawaban ujian?
Padahal, peran perguruan tinggi sebagai pendidik seperti yang tercantum dalam Tridharma Perguruan Tinggi tak sebatas di ruang kelas saja, tetapi juga kepada publik. Mahasiswa sebagai kaum yang berprivilese tentu juga memiliki kredibilitas untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu tersebut dalam bentuk kritik. Kritik yang dilayangkan kepada publik sebenarnya juga sebuah upaya bahwa perguruan tinggi tak hanya berperan sebagai ‘menara gading’ yang fokus pada internalisasi saja, tetapi sekali lagi, juga menjadi pendidik publik.
Terlepas dari tuduhan afiliasi dengan pihak tertentu yang belum dapat diketahui kebenarannya, sebagai bagian dari Unair, kami merasa tindakan ini tidak layak dibenarkan. Sebagai rektor, Nasih harusnya sadar bahwa kritik yang disampaikan oleh mahasiswanya juga merupakan bagian dari pertanggungjawabannya, bukan justru melarang penggunaan saluran institusi sebagai wadah kritik tersebut. Kembali lagi, perguruan tinggi seharusnya dapat mengayomi mahasiswanya dan jika perguruan tinggi merasa bahwa kritik yang disampaikan berisiko, maka langkah pertama yang seharusnya diberikan adalah dengan menemui pihak yang bersangkutan, memberi advokasi serta pembinaan yang tepat, tanpa harus mengikis pemikiran kritis mahasiswa. Metode itulah yang harusnya ditempuh sebagai fasilitator yang baik.
Tanggapan kedua, dari Dekan FISIP Unair, Bagong Suyanto, pada Senin (28/10/2024) bahwa mahasiswa boleh mengkritik, tetapi juga harus memperhitungkan kesopanan. Oleh karena itulah, tim Retorika memanfaatkan media ini sebagai wujud kritik yang sopan, terstruktur, dan tidak menggunakan diksi ‘kurang ajar’ seperti yang diminta. Apakah kritik semacam ini yang diharapkan? Apakah kritik seperti ini bisa menarik perhatian pembacanya? Kalaupun sebuah kritik dilakukan dengan pendekatan yang ‘sopan’, apakah ada jaminan bahwa kritik tersebut tidak akan diintervensi kembali oleh pihak-pihak tertentu? Belum tentu, maka tidak heran jika kritik dapat dilayangkan secara ‘kurang ajar’ jika ingin mencapai sasaran.
Pendekatan ‘kurang ajar’ juga seringkali dibutuhkan melihat tingkat urgensi suatu permasalahan yang tinggi. Justru pendekatan ‘kurang ajar’ itulah yang lebih efektif menarik perhatian dan menjamin agar kritiknya sampai pada sasaran. Bahkan Aksi Tritura hingga Aksi 1998 juga menggunakan diksi ‘kurang ajar’ demi tersampaikannya aspirasi yang mereka bawa. Namun, sungguh disayangkan bahwa nada seperti itu kemudian disalahartikan sebagai penghinaan.
Jika kritik sesederhana karangan bunga dinilai sebagai sebuah penghinaan, maka kami turut berduka terhadap iklim demokrasi di Kampus Timur Jawa Dwipa ini. []
Penulis: Naomi Widita, Anisa Eka, Adil Salvino, dan Sakha Ruhan H.
Editor: Aveny Raisa
TAG: #akademik #aspirasi #bem #demokrasi