Impian akan ruang terbuka hijau rasanya seakan hanya sebuah harapan. Pembangunan yang gencar dilakukan di kampus justru semakin hanya menciptakan ruang hijau semu. Ruang-ruang hijau yang seharusnya diperluas namun hanya diwujudkan lewat plastik-plastik buatan pabrik. Langkah ini sangat ironis karena menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan lingkungan dalam jangka panjang.
Retorika-id Gencarnya proses pembangunan di kampus kini menjadi pemandangan sehari-hari warga kampus B. Mulai dari pembangunan gedung baru FISIP, FH, dan pascasarjana, sampai renovasi perpustakaan kampus B yang akhir-akhir ini baru dilakukan. Riuhnya pembangunan yang dilakukan serentak memunculkan harapan baru akan terpenuhinya fasilitas yang semakin memadai. Ruang terbuka hijau menjadi salah satu fasilitas impian bagi mahasiswa, khususunya mahasiswa timur Jawa dwipa yang merindukan kerindangan alam dari panasnya matahari.
Namun sayangnya fasilitas ruang terbuka hijau justru diwujudkan lewat plastik-plastik buatan pabrik. Rumput yang seharusnya menciptakan nafas-nafas segar untuk warga kampus, justru digantikan dengan “rumput-rumputan” yang menyumpal permukaan tanah. Fasilitas ruang hijau di lingkup kampus seakan hanya menjadi angan-angan semata. Di samping itu, tidak hanya menciptakan fantasi akan alam, rumput sintetis ini memunculkan ancaman nyata bagi kesehatan.
Penelitian dari National Toxicology Program (NTP) menemukan bahwa karet pada rumput sintetis mengandung zat yang diketahui membahayakan kesehatan manusia, seperti ftalat dan bisphenol-A (BPA). Karet ini juga mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH), yaitu golongan bahan kimia yang dapat mengikat atau membentuk partikel kecil di
udara sehingga mudah terhirup. Paparan PAH juga berpotensi pada kanker payudara, kanker pada masa kanak-kanak, kanker paru-paru, asma yang memburuk, dan peningkatan angka penyakit paru-paru dan kardiovaskular (Bechard, 2022).
Mirisnya, semua rumput sintetis dibuat dengan senyawa PFAS beracun dan beberapa masih diproduksi dengan bahan yang mengandung logam berat, benzena, VOC, dan karsinogen lainnya yang dapat menimbulkan ancaman kesehatan. Bahan tersebut mengeluarkan metana tingkat tinggi, gas rumah kaca yang kuat, dan membuang mikroplastik dan bahan kimia lainnya ke saluran air (Perkins, 2022).
Selain berpotensi menyebabkan masalah pada kesehatan, rumput sintetis juga berbahaya bagi lingkungan. Rumput sintetis menghasilkan polusi plastik yang berpotensi menyebabkan berbagai macam masalah karena tidak terurai, membahayakan satwa liar, mencemari lautan, melepaskan racun ke dalam bumi, mengubah proses dan habitat alami, dan berkontribusi terhadap pemanasan global. Rumput sintetis juga hampir mustahil untuk didaur ulang. Bahan-bahannya mengikat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisahkan, harus dibawa ke pusat daur ulang khusus yang di Inggris saja tidak menyediakan tempat seperti ini. Pada akhirnya rumput sintetis melepaskan banyak karbon mulai dari produksi, transportasi, hingga instalasi. Yang jelas, rumput ini tidak dapat melakukan tugas rumput seharusnya, yaitu mengurangi jumlah karbon dioksida di lingkungan (Doherty, 2023).
Dari banyaknya penelitian yang mengklaim bahaya rumput sintetis, ironisnya hal ini sejalan dengan makin banyaknya penggunaan rumput sintetis di lingkup kampus. Lihat saja mulai dari jalanan menuju tempat parkir warna-warni, halaman FEB, sampai yang baru-baru ini sedang dalam proses pembangunan di halaman perpustakaan kampus B. Miris rasanya jika kampus hanya menyediakan ruang hijau semu bagi warga kampus. Seharusnya kampus menjadi pionir penyedia ruang yang ‘aman’ dan nyaman dalam berkegiatan.
Lagi-lagi sayang jika kampus hanya menyelenggarakan pembangunan namun tak berkelanjutan. Seharusnya pembangunan tidak hanya memenuhi kebutuhan kini tapi juga nanti. Kebutuhan akan keberlangsungan alam seharusnya masih tetap menjadi prioritas dalam melangsungkan pembangunan. Seharusnya, beton-beton yang membumbung tinggi itu setinggi dengan penyediaan ruang-ruang ‘bernafas’ untuk makhluk hidup. Seharusnya, semakin megah tumpukan batu-bata itu juga semegah ruang-ruang hijau yang dapat diwujudkan.
Kita tidak hanya butuh ruang kelas tapi juga ruang untuk hewan dan tanaman hijau bisa tumbuh. Kita tidak hanya butuh ruang belajar tapi juga ruang untuk hidup dengan sehat. Kita tidak hanya butuh ruang bersuara tapi juga ruang untuk hidup tanpa paparan zat kimia berbahaya.
Referensi:
Bechard, E. (2022). Artificial Grass Isn’t Always Greener: Toxic Chemicals in Synthetic Turf. Www.Momscleanairforce.Org. https://www.momscleanairforce.org/artificial-grass-isnt-always-greener-toxic-chemicals-in-synthetic-turf/
Doherty, K. (2023). Is Artificial Grass Bad For The Environment? Theecoexperts.Co.Uk. https://www.theecoexperts.co.uk/blog/artificial-grass
Perkins, T. (2022). Boston bans artificial turf in parks due to toxic ‘forever chemicals.’ The Guardian. https://www.theguardian.com/environment/2022/sep/30/boston-bans-artificial-turf-toxic-forever-chemicals-pfas
Penulis: Afifah Alfina
Editor: Jingga R
TAG: #aspirasi #dinamika-kampus #fisip-unair #lingkungan