» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Surat Pembaca
Islam dan Pencegahan Radikalisme
26 April 2017 | Surat Pembaca | Dibaca 2734 kali
Islam dan Radikalisme: - Foto: gospellherald
Gerakan radikalisme agama (tak terkecuali Islam) bukan sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks.

Pendahuluan

Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gerakan radikalisme agama (tak terkecuali Islam) bukan sekadar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Radikalisme memiliki kaitan erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta masalah sosial ekonomi akibat proses globalisasi.

Berpijak dari realitas tersebut, wacana jihad hendaknya tidak dimaknai sebagai ekspresi gerakan radikalisme Islam. Tidak pula dikaitkan dengan fanatisme terhadap doktrin-doktrin Islam. Sebab, jihad merupakan bahasa protes yang bisa digunakan oleh siapa saja, terutama mereka yang merasa terpinggirkan dalam arus modernisasi dan globalisasi. Tujuannya, tiada lain untuk membangun identitas  dan tawar-menawar posisi di ruang publik.

 

Dari Islamisme ke Radikalisme

Sejarah Islam mengajarkan bahwa radikalisme selalu berawal dari Islamisme. Islamisme adalah gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bukan sekadar ajaran agama. Dalam pengertian ini, islamisme tidak dapat dijelaskan hanya dengan membuka lembaran sejarah dunia Islam 14 abad silam atau mempersepsikan sebagai konflik lanjutan di masa awal sejarah Islam. Islamisme juga tidak bisa dikonseptualisasikan sekadar impuls fanatisme keagamaan yang digerakkan oleh keinginan kuat meraih surga.

Islamisme dalam banyak hal merupakan rupture yang berkaitan erat dengan gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi di berbagai negara Islam. Manifestasinya kerap kali mencerminakan persinggungan antara dinamika sosial-ekonomi dan politik pada tingkat lokal hingga global.

Konsep islamisme mulai memperlihatkan pengaruh besar pada awal abad ke-20. Saat itu, negara-negara modern melakukan ekspansi dengan mengubah sistem kekhalifahan, keamiran, pemerintahan feodal dan kesukuan. Perubahan sistem tersebut tentunya berdampak pada pergeseran dominasi kaum status-quo oleh para elit politik dan kelas sosial ekonomi pendukung.

Pada tahun 1930-an, Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, dan Abdul Ala Maududi (1903-1978), pencetus partai Jama’at Islami di Pakistan memperkenalkan gerakan pemikiran yang berusaha mendefinisikan Islam sebagai ideologi politik berhadapan dengan ideologi-ideologi politik besar lainnya. Seiring perubahan waktu, gagasan tersebut  berkembang dengan penyesuaian ataupun modifikasi.

Kedua ideologi tersebut melegitimasi visi baru dengan merujuk pada dua model gerakan. Pertama, gerakan purifikasi (Salafisme) yang sebelumnya diperkenalkan oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792), belakangan lebih dikenal sebagai Wahabisme. Kedua, gerakan modernisasi yang digagas para pembaharu Mesir, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1898), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935).

Keberadaan kelompok Salafi dan Wahabi ini lebih memfokuskan kembali pada teks-teks Quran, Hadist, serta pemurnian Islam dari syirik, bid’ah, dan semua bentuk thagut. Sementara untuk kelompok modernis, mereka cenderung mendorong penerimaan rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan Barat yang diklaim sebagai bagian inheren dari Islam yang murni. Perlu dicatat, gerakan tersebut bergelora di tengah tekanan kuat gelombang kolonialisasi yang melahirkan sentimen-sentimen anti (dominasi) Barat sekaligus obsesi akan kebangkitan kembali umat Islam dan sistem kekhalifahan (pan-islamisme) yang pernah jaya berabad-abad.

Dalam merespon kolonialisme, Ikhwan al-Muslimin dan Jama’at-i Islami meratapi kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam sambil bekerja keras menyerukan revitalisasi dan solidaritas umat. Keduanya menekankan bahwa kemunduran umat Islam tidak lain disebabkan oleh lemahnya solidaritas persaudaraan di antara mereka serta lunturnya kesadaran akan nilai-nilai moral dan keagamaan.

Ikhwan al-Muslimin maupun Jama’at-i Islami sering kali mengalami pasang-surut di antara arus represi dan akomodasi pihak penguasa. Bagi mereka, merebut kontrol negara dianggap akan melapangkan jalan penyebaran Islam dalam masyarakat yang telah ternoda nilai-nilai Barat.

Dinamika sejarah dan munculnya gerakan radikalisme dalam Islam sebenarnya pekat dengan nuansa power struggle. Dalam banyak hal, ia merupakan protes politik yang dibalut dengan simbol-simbol dan wacana keagamaan. Di


tengah dominasi sistem politik sekuler gaya-Barat, islamisme mendorong Islam masuk kedalam lingkar kekuasaan negara. Jualan mereka adalah Islam merupakan nizham. Artinya, sebuah sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, perekonomian, dan tata hubungan internasional. Sejak itulah slogan Islam is the solution mulai bergema di berbagai belahan dunia Islam. Slogan serupa telah lama diteriakkan kalangan fundamentalisme Kristen di Amerika, yaitu Jesus is the solution.

Akan tetapi, islamisme bukanlah cerita tentang keberhasilan. Ia lebih merupakan episode-episode kegagalan yang kerap berakhir dengan fragmentasi atau kelumpuhan akibat represi brutal yang dilancarkan negara. Menariknya, gerakan ini tidak pernah padam. Api semangatnya tetap menyala.

Upaya islamisasi dari bawah dilakukan melalui dakwah dan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan. Sedangkan islamisasi dari atas dilakukan dengan mengambil wujud jihad revolusioner untuk menggulingkan rezim berkuasa. Pilihan taktik dan strategi biasanya ditentukan oleh kesempatan politik dan struktur mobilisasi yang menopangnya.

Para aktor gerakan islamisme biasanya memiliki kesempatan lebih banyak dalam menggelar mobilisasi dan mengancam rezim berkuasa bila negara sedang lemah dan dililit konflik kepentingan. Keadaan semacam inilah yang menjelaskan keberhasilan tokoh-tokoh Islam garis keras semisal Rizieq Shihab, Ja’far Umar Thalib, dan Abu bakar Ba’asyir, dalam mendirikan dan mengelola kelompok militan yang menuntut penerapan syariah di Indonesia. Demikian pula dalam berbagai aksi brutal merazia café, diskotik dan tempat-tempat hiburan lainnya, bahkan menggelar aksi jihad di beberapa kawasan konflik pasca kejatuhan Suharto 1998. Mereka mewujud dalam beberapa organisasi Islam, seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan Laskar Mujahidin Indonesia dan lainnya.

Jika diruntut ke belakang, munculnya kelompok-kelompok militan Islam pasca orde Baru sebenarnya berakar sejak lama. Benih-benih islamisme di Indonesia mengembang dalam ketegangan Islam dan negara sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, negara dan pemerintah tidak secara serius mengelola ketegangan yang sudah terlanjur mengkristal.

Alih-alih mengurai ketegangan, berbagai kebijakan Orde Baru justru mempersubur kehadiran kelompok tersebut. Misalnya, kebijakan restriksi Orde baru terhadap aktivisme kampus lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang kemudian diperkuat dengan penerapan “asas tunggal”. Keberadaan kebijakan tersebut justru memiliki andil cukup besar dalam perkembangan dakwah gerakan Islamis di kampus.

Gerakan Islamis kampus mencapai puncaknya pasca revolusi Iran 1979 yang didorong popularitas Ayatollah Khomeini, Murtada Mutahhari, dan Ali Shariati. Sementara itu, Saudi Arabia juga berusaha sekuat tenaga menahan laju pengaruh Iran di tanah air dengan mengintensifkan penyebaran Wahabisme yang sangat anti-Syi’ah.

Dalam konteks ini, Saudi memberikan bantuan keuangan kepada organisasi keislaman untuk membangun masjid dan mendirikan lembaga pendidikan. Saudi sendiri mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Jakarta pada 1980. Lembaga itu menjadi centre of excellence pengembangan dakwah Wahabi yang didompleng gerakan-gerakan lainnya. Situasi ini menyediakan lahan subur bagi ekspansi berbagai gerakan Islam transnasional, termasuk Ikhwan al-Muslimin, Hizbut-Tahrir, dan Salafi.

Sejak itulah, masyarakat Indonesia bisa menyaksikan pemuda-pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal). Selain itu, mereka juga bisa melihat perempuan-perempuan dengan baju lebar hitam (gamis) dan penutup muka (niqab).

Pada umumnya, orag-orang tersebut menyebut dirinya “Salafi”. Mereka memperkenalkan varian Islam yang sangat “kaku” (rigid). Fokus dakwah mereka terletak pada upaya pemurnian tauhid dan praktik keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar mengikuti jejak keteladanan Salaf al-Salih, generasi awal muslim. Berdasarkan klaim tersebut, mereka tidak segan menuduh kelompok Islam lain sebagai kafir, murtad dan sesat. Bahkan, mereka juga menilai sistem politik Indonesia yang berbasis Pancasila sebagai sistem thagut. Artinya, sistem yang berasal dari luar Islam.   

Masalah-masalah yang tampak sederhana, seperti jalabiyyah, imamah, lihyah, isbal, gamis dan niqab atau hijab, menjadi tema utama yang selalu muncul dalam wacana keseharian mereka. Awalnya, mereka menolak segala bentuk aktivisme politik (hizbiyyah) yang dipandang sebagai bid’ah, dan dengan demikian mereka bercorak “kesunyian apolitis”. Dengan mengibarkan bendera gerakan dakwah Salafi, mereka berupaya menarik garis pemisah tegas dari masyarakat melalui pengelompokkan diri secara eksklusif menyerupai “daerah kantong” (enclave).

Seiring perkembangan zaman, kelompok islamis yang awalnya bersikap “apolitis”, justru bertekad memerangi kelompok lain di luar mereka. Kelompok tersebut biasanya menciptakan in group love berbasis solidaritas, rasa cinta dan perasaan senasib di kalangan mereka (al-wala). Bersamaan dengan itu, mereka juga melahirkan out group hate (kebencian dan rasa permusuhan yang dikenal sebagai al-barra terhadap orang-orang di luar kelompok). Berbagai sentimen tersebut sengaja dipelihara untuk keberlangsungan kelompok mereka. Maka tidak heran jika kelompok ini kemudian mendapatkan label radikalisme, ekstrimisme atau fundamentalisme.

Melalui kategorisasi sosial, kelompok radikalisme membagi dunia sosial dalam dua kategori yang bertolak-belakang. Mereka membangun in group-positivity dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka. Pada tahap selanjutnya, mereka membentuk intergroup comparison dengan membandingkan betapa beruntungnya mereka dibanding orang-orang yang bukan bagian dari kelompoknya. Dengan cara itu, mereka membangun out group hostility, kebencian terhadap orang-orang yang hidup di luar kelompok mereka. Doktrin-doktrin tersebut sengaja mereka tanamkan untuk menawarkan paham syari’ah sebagai solusi krisis terciptanya masyarakat adil dan makmur.

Bentuk resistensi pasif ini hanya memerlukan sedikit sentuhan untuk bermetamorfosis menjadi perlawanan terbuka bermantra jihad. Di tengah ketatnya persaingan memperebutkan ruang publik, jihad memancarkan aura kuat yang dapat mentransformasikan frustasi menjadi heroisme. Di sinilah kelompok tersebut dapat berkembang menjadi kelompok terorisme yang sangat biadab, seperti ISIS.

 

Mengikis Radikalisme dengan Mengatasi Ketimpangan Sosial-Politik   

Memahami matriks persinggungan ideologi dan kondisi sosial, ekonomi, politik yang melatarbelakangi tumbuhnya gejala radikalisme memungkinkan kita mencari solusi lebih tepat dan komprehensif untuk mengikis terorisme di Indonesia. Sebagaimana digambarkan di atas, ideologi jalin-menjalin secara fungsional dengan faktor-faktor struktural sosial-ekonomi, telah mendorong proses radikalisasi. Radikalisasi ini mucul akibat kekecewaan sejumlah individu terhadap kondisi makro sosial-ekonomi yang kerap menghadirkan potret pengangguran, keterbelakangan, ketimpangan, korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan.

Oleh karena itu, tidak ada upaya lain memutus mata rantai radikalisme kecuali mengotimalkan peran pemerintah beserta seluruh elemen masyarakat untuk mengatasi masalah struktural yang berdampak terhadap ketimpangan dan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus segera memperbaiki dan mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Berdasar hasil studi dengan pendekatan ekonomi, menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang lamban, pendapatan masyarakat yang rendah, angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, serta tingkat pendidikan rata-rata yang tidak memadai sangat berpengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat. Kondisi buruk tersebut berdampak secara keseluruhan terhadap indeks pembangunan manusia suatu negara. Bahkan, kondisi yang tidak mengembirakan itu berkolerasi positif dengan maraknya radikalisme dan aksi-aksi kekerasan di masyarakat.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Kampanye yang terus-menerus memojokkan mereka hanya akan membuat kelompok tersebut mati suri. Mereka tetap beroperasi dibawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia nya. Kemudian, mereka akan mengobarkan kembali semangat jihad yang seringkali berujung dengan ledakan terorisme.

Berpijak dari realitas tersebut, negara wajib merespons efektif aksi-aksi teror dan mengejar para pelakunya dengan menggunakan pendekatan keamanan yang bertanggung jawab dan terukur. Karena itu, pilihan logis untuk menghadapi radikalisme adalah berupaya “memberdayakan” mereka yang pernah terlibat dalam aksi-aksi teror melalui program-program advokasi bermatra ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan. Saya yakin bahwa program-program advokasi ekonomi yang dipadukan dengan program advokasi hukum dan sosial serta deradikalisasi ideologi akan menjadi senjata ampuh untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.

 

Pentingnya Nilai Kebhinekaan dan Multikulturalisme

Selain advokasi di bidang ekonomi, pemerintah harus sungguh-sungguh dan terus-menerus berupaya menegakkan nilai-nilai kebhinekaan dan multikulturalisme dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk pembangunan bidang agama. Sebagai sebuah prinsip yang menghargai kemajemukan dan kebhinekaan, multikulturalisme merupakan tulang punggung demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Kultur dan struktur sosial yang demokratis tidak akan dapat tumbuh dan bertahan tanpa multikulturalisme.

Masalahnya, multikulturalisme tidak otomatis dapat tumbuh, sekalipun dalam sistem yang dianggap demokratis. Berdasarkan pengalaman Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, multikulturalisme baru akan tumbuh bila ditunjang, antara lain 9 syarat berikut: 

1)      Negara tidak boleh berpihak pada kelompok dominan atau mayoritas;

2)      Agama harus berfungsi menciptakan solidaritas sosial, bukan perpecahan; 

3)      Akses pendidikan yang merata termasuk untuk perempuan dan mereka yang tidak mampu;

4)      Kebijakan pemerintah harus berpihak pada nilai keragaman budaya;

5)      Adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan;

6)      Penegakan hukum yang tegas dan jaminan persamaan di depan hukum;

7)      Negara dengan jaring pengaman sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan melalui sistem pajak progresif;

8)      Tidak ada kelas bawah yang terpinggirkan menurut garis etnisitas;

9)      Legislasi yang efektif untuk menghukum provokator yang menebar kebencian antaragama, suku, ras dan golongan.

Perwujudan kondisi ideal tersebut tentunya bukan perkara yang mudah. Komitmen seluruh elemen penting ditanamkan untuk mewujudkan multikulturalisme. Komitmen itu tidak saja melibatkan pemerintah, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, termasuk kekuatan-kekuatan civil society. Disinilah arti penting dialog antar iman dan budaya yang dilaksanakan secara berkeadilan sebagai sarana untuk merevitalisasi komitmen tersebut. Dialog tersebut hendaknya terus menerus dilakukan demi membangun kesepahaman dan saling pengertian antarkelompok masyarakat.

Selain dialog, sudah waktunya semua elemen agama, khususnya Islam, sepakat mengedepankan interpretasi keagamaan hanya akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Mereka harusnya sadar bahwa tegaknya Pancasila dan Konstitusi membutuhkan dukungan kuat dari interpretasi agama. Karena itu, interpretasi agama yang dikembangkan di masyarakat haruslah kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila dan Kosntitusi. Dengan ungkapan lain, pembangunan bidang agama melalui Kementerian Agama hendaknya diarahkan pada upaya mengembangkan pola keberagamaan yang humanis, pluralis dan mengedepankan perdamaian.

Jika hal ini terwujud, maka keberadaan agama, khususnya Islam, tidak lagi berkutat pada aspek-aspek simbolistik dan formalistik yang seringkali menimbulkan kegaduhan dan konflik. Agama justru mampu nilai-nilai keadilan, kedamaian, kesetaraan, kejujuran dan kebersamaan.

Terakhir, negara semestinya memikirkan bagaimana menggulirkan strategi counter-terrorism yang komprehensif dan mengedepankan nilai pluralisme sebagai solusi mengatasi radikalisme dan terorisme. Taktik-taktik tambal sulam dan keamanan yang bertumpu pada respon ad-hoc jelas tidak memadai lagi.  

 

Penulis : Prof. Dr. Hj. Musdah Mulia, MA (Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender)

Editor : Choir


TAG#agama  #demokrasi  #humaniora  #politik 
Rubrik "Surat Pembaca" terbuka untuk siapa saja. Silakan kirim karya Anda dengan melampirkannya ke email redaksi@retorika.id dengan subjek (Surat Pembaca) Nama - Judul Tulisan.