» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Surat Pembaca
Dakwah Hak dan Kesehatan Reproduksi di Taliban
24 April 2017 | Surat Pembaca | Dibaca 3526 kali
Bersama Pimpinan UNFPA menyampaikan presentasi tentang Kesehatan Reproduksi di hadapan ulama : - Foto: Musdah Mulia
"Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia”

retorika.id - Salju turun cukup deras ketika pesawat Ariana Airlines yang aku tumpangi mendarat di Kabul, Afghanistan. Seluruh permukaan bandara nyaris tertutup salju tebal. Aku segera keluar dari pesawat mengikuti penumpang lain menuju bandara tua dan kumuh. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa negara ini sangat terbelakang. Aku terkejut melihat begitu banyak tentara dengan senapan siap tembak di sekitar bandara. Sungguh ini suasana yang sangat mencekam. 

“Jangan pernah keluar bandara sebelum bertemu petugas UN yang menjemput ibu”Demikian kalimat berulang kali disampaikan oleh panitia sebelum saya berangkat. Untung saja setiba di ruang pengambilan bagasi, seseorang menghampiri saya sambil tersenyum ramah dan menunjukkan identitas dirinya sebagai petugas UN. Aku pun segera mengikutinya ke mobil yang didesain khusus untuk anti peluru. Ada perasaan tidak nyaman, tapi kemudian aku segera sadar mengapa harus menggunakan mobil itu.

Tak lama kemudian, mobil kami meluncur menuju Hotel Serena. Hotel ini dianggap satu-satunya yang layak dan aman di Kabul. Sepanjang jalan menuju hotel, terlihat banyak tentara bersenjata lengkap. Bahkan, tidak sedikit yang berdiri di atap gedung dengan mata tajam mengawasi.

Tiba-tiba perhatianku tertuju pada sejumlah pengemis di pinggir jalan. Mereka memakai burqah, pakaian khusus untuk perempuan yang menutupi seluruh tubuh berwarna abu-abu tua. Menurutku, bentuknya seperti kelambu. Hanya tersedia beberapa lubang kecil di bagian mata untuk melihat.

Aku membayangkan, mereka yang mengenakan burqah pasti merasa tidak nyaman, sulit bergerak, juga sulit untuk memandang dengan leluasa. Sempat terlihat seorang perempuan menggendong anaknya di dalam burqah, aku sangat khawatir anaknya akan kekurangan oksigen. Sulit memastikan, apakah semua pemakai burqah adalah perempuan? Boleh jadi ada laki-laki memakai burqah untuk mengemis atau untuk tujuan lain.

Semakin lama, kulihat jumlah pengemis semakin banyak. Ada beberapa dari mereka merupakan anak-anak usia 4-12 tahun. Mereka tampak nekat mengganduli mobil kami sambil berteriak-teriak minta uang dan makanan. Aku merasa iba melihatnya dan tanpa sadar membuka dompet untuk memberikan beberapa lembar uang dollar. Mendadak petugas UN memperingatiku, aku pun urung memberikannya.

Kehadiranku di Kabul ini


tak lain untuk memenuhi undangan panitia pelatihan Hak dan Kesehatan Reproduksi yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Afghanistan dengan dukungan United Nations, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa,yang selanjutnya dikelola oleh UNFPA. Peserta pelatihan adalah pimpinan agama, termasuk dari kelompok Taliban.

Pelatihan selama 8 hari itu memang dikhususkan bagi kalangan agama agar mereka paham pentingnya hak dan kesehatan reproduksi. Melalui pelatihan tersebut, mereka diharapkan mau menjelaskan isu ini dalam khotbah di masjid dan berbagai media dakwah lainnya. Peran pemuka agama sangat penting dalam perubahan masyarakat, khususnya bagi umat Islam.

Afghanistan adalah negara Islam yang sangat miskin dengan tingkat kematian ibu melahirkan tertinggi di Asia. Ia juga dikenal sebagai negara dengan angka kelahiran sangat tinggi. Ada pun faktor yang membuat kondisi perempuan dan masyarakat terpuruk adalah tidak terpenuhinya hak dan kesehatan reproduksi dari setengah perempuan Afghanistan. Problematika ini disebabkan oleh kurangnya kepedulian pemerintah terhadap hak dan kebutuhan mendasar rakyatnya, terutama kaum perempuan.

Sejak Taliban berkuasa, perempuan ditarik dari ruang publik. Mereka dilarang bekerja dan harus berada di rumah atau ruang domestik. Para perempuan yang tadinya bekerja sebagai guru, hakim, dokter, perawat, karyawan perusahaan dan lainnya kini kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemiskinan semakin mendera masyarakat.

Para perempuan yang sebelumnya memiliki penghasilan tetap bahkan menjadi penyangga utama ekonomi keluarga kini harus menganggur. Sebagian terpaksa menjadi pelacur dan pengemis. Anehnya, ketika mengemis dan melacur pemerintah Taliban membiarkan mereka berada di jalan atau di area publik.

Pada hari pertama pelatihan, sebagian peserta memandangiku tidak ramah. Mereka menganggap perempuan tidak pantas bicara di depan laki-laki apalagi untuk ceramah dan menggurui. Begitu mereka tahu aku berasal dari Indonesia, salah seorang peserta berkata: “Muslim Indonesia semuanya kafir karena mempraktekkan KB (Keluarga Berencana). Muslim Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, melainkan pakai baju kafir, baju Amerika. Muslim Indonesia kafir karena laki-laki tidak pelihara jenggot, padahal itu sunnah Nabi yang paling afdhal. Jadi, kalian kafir.” Aku tertawa, kupikir dia sedang bergurau.Tapi dia justru memandangku tajam sebagai tanda bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya.

Ketika break, dia menjelaskan panjang lebar sebuah hadis tentang jenggot, kira-kira artinya demikian, "Panjangkanlah jenggotmu, cukurlah kumis, berbedalah dari orang-orang kafir". Alhasil, mereka mempraktikkan hadis ini sebagai suatu kewajiban dan menghukum para lelaki yang tidak memanjangkan jenggot. Bayangkan, gara-gara jenggot, laki-laki bisa masuk penjara!

Demikianlah, jika kita memahami agama secara tekstual, yang dipentingkan adalah penerapan lahiriah dari sebuah teks, bukan pesan moral yang terkandung di balik teks. Aku sangat yakin pesan moral dari teks suci itu pasti mengandung nilai-nilai penghormatan kepada manusia sebagai karya agung Tuhan yang Maha Pencipta.

Di awal pelatihan, banyak peserta protes dengan penjelasan narasumber. Mereka menuduh  para pembicara sebagai agen Amerika yang kafir dan berusaha mengubah akidah umat Islam.

Bagiku, mereka yang meyakini itu adalah kelompok masyarakat yang picik dan kurang gaul. Mereka tidak mau mendengar pendapat yang berbeda karena selalu memandang pendapat orang lain salah. Orang lain selalu dituduh kafir, murtad dan sesat. Labeling seperti inilah yang menyulitkan mereka untuk mendengar, berdialog dan mengedepankan pemikiran kritis dalam segala hal. Sehingga pantas jika mereka sulit berubah.

Mereka harusnya mau membuka ruang untuk mendengarkan pendapat orang lain. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman yang harus ditakuti. Perbedaan pendapat justru sebuah modal sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dalam memahami eksistensi diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Pada hari ketiga pelatihan, suasana sudah mulai cair. Mereka sudah mau diajak berdialog. Sebagian besar mereka mulai respek pada penjelasanku, terutama ketika aku menjelaskan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia, pentingnya kesetaraan gender, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan reproduksi.

Beberapa tampak terkesima karena aku menghapal sejumlah ayat Qur’an terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat luas. Seorang peserta mengatakan, tidak banyak perempuan bisa menghapal ayat-ayat Qur’an. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghapal Qur’an menjadi ukuran untuk respect. Meskipun itu belum cukup untuk menjadikan mereka sebagai manusia seutuhnya.

Pada hari terakhir pelatihan, terdapat peristiwa yang membuatku terkejut. Tiga orang peserta menghampiriku lalu berkata, “Maafkan sikap kami yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru paham apa itu makna demokrasi? apa itu prinsip hak asasi manusia? dan mengapa hak kesehatan reproduksi itu penting? Kami berterimakasih mendapatkan ilmu yang bermanfaat.”

Bukan hanya itu, merekapun menambahkan: “Ke depannya kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan. Memberikan pencerahan kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Karena dengan ilmu dan pendidikan, umat Islam mampu menjadi umat yang berkualitas, menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia.” 

Dalam hati aku berkata, inilah pentingnya pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat, terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti kemanusiaan dan anti hak asasi manusia, seperti Taliban.

Keesokan harinya aku meninggalkan bandara Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara aku memerhatikan sejumlah perempuan masih mengenakan burqah. Namun, begitu mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqah. Wajah para perempuan itu terlihat senang dan gembira seperti bebas dari penjara. Ya, penjara keyakinan agama yang seringkali lebih menyakitkan.

Aku sangat yakin, semua bentuk pemaksaan, khususnya dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran agama dipaksakan, maka tidak akan membuahkan kebaikan dan kemaslahatan manusia. Itulah sebabnya Allah mengingatkan: “Berdakwalah dengan penuh hikmah, santun dan bijak, serta berdebatlah dengan cara yang baik dan beradab. Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”. (Surah An-Nahl, 125)

Keesokan harinya, aku tiba di Jakarta. Aku sungguh merasa gembira dan juga lega terbebas dari kondisi yang mencekam di Kabul. Semoga umat Islam Indonesia tidak pernah menjadi Taliban. Jangan pernah!

 

Penulis: Prof. Dr. Hj. Musdah Mulia, MA (Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender)

Editor : Choir


TAG#agama  #budaya  #gagasan  #gender 
Rubrik "Surat Pembaca" terbuka untuk siapa saja. Silakan kirim karya Anda dengan melampirkannya ke email redaksi@retorika.id dengan subjek (Surat Pembaca) Nama - Judul Tulisan.