Hari Kartini tak selayaknya identik dengan pemakaian kebaya. Momentum ini seharusnya dijadikan sebagai bahan refleksi penegakan kembali konsep emansipasi.
Retorika.id- Refleksi peringatan Hari Kartini tak selayaknya hanya diisi dengan kewajiban memakai kebaya, menyelenggarakan lomba kecantikan maupun fashion show. Karena sesungguhnya kebaya ialah simbol yang dilawan dan dikritik habis oleh Kartini. Kebaya dianggap sebagai bentuk pembatasan terhadap ruang gerak wanita.
Peringatan hari Kartini harusnya menjadi momentum penegakan kembali konsep emansipasi dalam melawanan budaya patriarki. Makna emansipasi yang ditekankan di sini bukanlah gerakan dominasi wanita terhadap kaum lelaki, tetapi upaya pembebasan wanita dari segala bentuk
penindasan, perbudakan dan diskriminasi.
Kultur patriarki yang mengakar, telah melahirkan adagium seperti: dapur, sumur, dan kasur yang disematkan pada wanita. Kontruksi inilah yang menjadi senjata ampuh para lelaki untuk mendominasi wanita dengan mengatas namakan “kodrat”. Padahal, kodrat wanita yang sesungguhnya hanyalah 4 eleman, yakni: menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan, segala bentuk urusan domestik seperti: memasak, menyapu, merawat anak, dan lain adalah hasil kontruksi sosial yang dibebankan kepadanya.
Perkembangan kultur patriarki sulit dihapuskan karena menguatnya doktrin agama dan hegemoni media yang mengakar dimasyarakat. Agama sering kali dijadikan alasan logis atas dominasi lelaki terhadap wanita, bahkan agama juga memberikan iming-iming "jaminan" syurgawi bagi wanita yang taat pada perintah suami.
Selain itu, media juga berpengaruh besar dalam membentuk opini publik. Simbol-simbol maupun label yang dibentuk media sering kali memposisikan wanita sebagai kelompok subordinasi. Wanita dianggap sebagai objek yang bisa dikapitalisasi dan dinikmati keindahannya. Sayangnya, tindakan diskriminasi media terhadap wanita tersebut belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat awam.
Berpijak dari realitas tersebut, maka semangat emansipasi harus bisa terwujud seperti cahaya mercusuar meraih harapan. Wanita harus berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan dari tindak kekerasan, pelecehan seksual, bahkan perbudakan seks. Perjuangan tersebut bisa diawali dengan menjadi wanita cerdas serta memiliki kesadaran diri untuk keluar dari belenggu ketertindasan.Sebagaimana diungkap kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang : “ Ikhtisar! Berjuanglah membebaskan diri. Jika engau telah bebas dari ikhtisarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain.”
Tim Retorika
TAG: #budaya #dinamika-kampus #fisip-unair #lpm-retorika