» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Rumpi Bareng Geng Tini
26 April 2017 | Sastra & Seni | Dibaca 2678 kali
Dilema karier versus rumah tangga: - Foto: valet.ru
Sebuah cerpen tentang idealisme Kartini modern dalam melawan belenggu eksploitasi pria terhadap wanita pasca menikah. Yuk, simak bagaimana keseruan geng Tini ngerumpi tentang masalah ini.

retorika.id - Euforia Hari Kartini masih terasa hingga kini. Rasanya senang bisa melihat perempuan-perempuan di sekelilingku merasakan kebebasan pasca perjuangan Kartini dahulu. Namun aku juga tak habis pikir dengan citra Kartini yang melekat sebagai wanita berkebaya. Bukankah kebaya melambangkan batasan ruang gerak pada perempuan? Tentu mengenakan kebaya berarti tidak bisa menjadi sebebas mungkin. Tentu berjalan dengan “sewek”, mengenakan atasan dengan dalaman korset, serta sanggul yang tentunya tak ringan, membuatku habis pikir. Itu bukan kebebasan namanya.

Ah, sepertinya aku mulai paham alasan citra Kartini sebagai perempuan berkebaya. Bagaimana tidak, lebih dari 30 tahun negeri ini dipimpin oleh pihak yang java-sentris, tentu ada berbagai hal yang terlihat dipaksakan tentang budaya nasional tapi nyatanya hanya budaya Jawa. Huh, ‘kan Indonesia bukan cuma Jawa.

Drtdrtdrt.

Ponselku bergetar.

Aku segera mengambil langkah untuk meraih ponselku.

“Hei, anak-anak lagi pengen kumpul nih. Kuy jam 1 nanti kumpul di kafe Le Fleur kayak biasanya. Ehm, btw nggak usah bawa anak ya, biar kita-kita nggak riweuh sama Si Kecil”.

Sudut bibirku terangkat setelah membaca pesan itu. Sebuah pesan yang dikirim oleh perempuan tomboy yang sangat kukenal. Dia benar-benar berbeda dengan citra wanita pada umumnya. Bayangkan saja ia tampak cuek dengan potongan rambutnya yang super pendek, t-shirt, dan celana ripped jeans yang biasa menemaninya ke kampus dulu. Ah, bahkan ia juga tak jarang mewarnai rambutnya, sehingga teman-temanku menjulukinya “anak ayam”. Ya, kalian pasti tahu anak ayam berwarna-warni yang dijual murah di beberapa SD.

Mengingat tentangnya membuat pikiranku berlarian ke zaman kuliah dulu. Aku bukan orang yang extrovert, tapi aku juga tak introvert amat. Baiklah aku tak ‘kan munafik kalau aku tipikal orang yang pilih-pilih teman. Sebab aku sedikit trauma dengan teman-teman SMA-ku yang berlagak songong bak sinetron remaja di TV. Bagaimana fake smile adalah hal yang lumrah, omongan perempuan-perempuan yang terdengar cukup kasar dan sarkas, dan bagaimana geng-geng hits terlihat sebagai pencapaian bagi siswi di sekolahku.

Uh, sebal juga aku mengingatnya.

Aku berusaha mengalihkan perhatianku pada jam dinding. Oh, jam 11.30. Kurasa aku harus siap-siap untuk reuni nanti.

Aku bergegas menuju kamarku untuk berganti baju.

Sesaat aku terdiam sembari mengamati foto keluarga yang terpampang di atas meja riasku. Aku sungguh menyayangi mereka. Meskipun tak jarang aku merasa kebebasanku sedikit terenggut karena keberadaan mereka.

Tiba-tiba lamunanku tersadarkan oleh dering ponsel. Oh, kurasa anak-anak sedang terlalu rajin.

Ya, mereka semua sudah berkumpul di Le Fleur. Hanya akulah yang paling telat, walaupun jam pertemuan masih lama. Segera saja aku bergegas untuk menuju ke tempat pertemuan kami.

Ngomong-ngomong tentang budaya cipika-cipiki, sungguh itu bukan style kami. Kami bukan tipikal cewek “jeng-jeng” yang serba fake.

Setibanya di kafe, kulihat Abel, Zahra, dan Fatia melambai ke arahku. Kurasa style fashion mereka tidak berubah. Ah, kecuali Zahra yang terlihat lebih tertutup, meski dia tetap modis seperti biasanya.

Srek, kutarik kursi untuk bisa kududuki. Well, memang bukan style kami juga untuk memanjakan orang lain, seperti membantu menarik kursi dengan dalih manner.

“Cie yang sekarang aura keibuannya kerasa banget”, goda Abel.

Aku hanya mengendikkan bahu, tanda tak tahu bagaimana harus merespon hal tersebut. Sebab status keibuanku membuatku keluar dari comfort zone-ku.

“Resikomu sih nikah duluan”, sambung Fatia. Ehm, memang dia ini tipikal orang yang frontal dan sarkas, jadi aku sudah terbiasa dengan celetukannya.

Sedangkan Zahra.. ia terlihat menengok ke arah lain. Iya sih Zahra juga sudah berstatus ibu, tapi dia baru memiliki 1 anak, tidak sepertiku yang sudah memiliki 2 anak. Walaupun sudah berhijab setelah menikah, aku masih merasa dia masih “slengehan” dalam berperilaku. Ya, syukurlah karena ia tidak terlalu menjadi wanita dengan konstruksi budaya di lingkungannya.

Oh iya, ngomong-ngomong baru saja aku duduk, kemudian tak lama ada waiter yang mengantarkan secangkir caramel macchiato untukku. Well, tentu senyumku tersungging dengan sendirinya. Dan kulihat di seberangku eyesmile Abel mulai terbentuk. Ya bagaimana lagi, kami adalah pecinta kopi. Jadi kami merasa senasib untuk suguhan kopi yang menurut kami menyajikan kenikmatan tiada tara.

Kemudian aku teringat sesuatu yang membuatku penasaran.

“Eh, Ti”, panggilku pada Fatia. “Udah 5 bulan ‘kan setelah kamu menikah. Masih belum mau punya momongan nih?”

Segera saja Fatia dan Abel memutar pandangannya.

 “Aku udah mau nikah itu udah progress banget, Tin”, ujarnya ketus.

“Tiiiin, harusnya kamu bersyukur Si Fatia nggak jadi perawan tua kek Abel”, sahut Zahra.

Dan Abel mengalihkan pandangannya dengan menyeruput cappuccino frappe favoritnya.

“Eh, aku baru sadar…”, ucapan Fatia terputus.

 “Maksudnya, kita-kita ini dulu bukannya aktif banget untuk memperjuangkan masalah perempuan ya”.

Ah, ucapan Fatia membuatku mengingat sejarah perjuangan kami di kampus oranye tentang diskusi mengenai isu-isu perempuan.

Persamaan dari kami berempat – aku, Abel, Zahra, dan Fatia, adalah menolak budaya patriarki terselubung yang masih berlangsung di negeri ini. Namun cara kami mengatasi hal ini sekarang cukup berbeda.

Dulu kami berempat berpikiran bahwa bentuk eksploitasi laki-laki terhadap perempuan pada era ini adalah dengan “tersematnya cincin” di jari manis kami. Ya, menurut kami pernikahan adalah peristiwa yang dimulai dengan upacara sakral di mata agama, namun secara implisit membuat status perempuan menjadi terbelenggu. Terbelenggu karena kami tak lagi mendapat kesetaraan dengan laki-laki dalam beberapa hal.

Namun aku masih mengingat jelas perkataan Zahra dan salah satu guru mata kuliah Agama yang mengajar kami, bahwa pada hakikatnya agama menjunjung tinggi derajat perempuan dengan berbagai kemuliaan yang dikaruniakan padanya. Sayangnya banyak misinterpretasi yang membuat beberapa oknum memelintir hal tersebut, sehingga dogma agama digunakan sebagai dalih untuk “mengeksploitasi” perempuan.

Sejak saat itu aku, Abel, dan Fatia tak lagi meragukan posisi agama yang seakan melegalkan posisi perempuan sebagai “orang kedua” di bawah laki-laki. Apalagi kami tak terima dengan isu poligami yang kerap terjadi karena “usaha” pemelintiran dogma agama. Di mana praktik poligami yang dilakukan oleh Nabi bukan karena dorongan hasrat seksual, namun pada usaha bertanggung jawab menafkahi dan mengurus janda-janda tua yang ditinggal gugur oleh suaminya saat perang. Namun pada realitas kini, poligami dijadikan dalih oleh sebagian orang untuk melampiaskan hasrat seksualnya pada lebih dari satu perempuan.

Bahkan masih teringat jelas di benakku akan celetukan Fatia pada momen dijelaskannya isu itu oleh guru agama kami. “Hayo, sekarang pilih mana, mending jadi objek poligami yang “sah”, atau biarin suami nanti ‘jajan di luar’?”

Betapa pertanyaan itu sangat menohokku. Bahkan terngiang di benakku hingga saat ini. Dan “nostalgia”ku terbuyarkan ketika Fatia menyenggolku.

“Yaah, kebablasan flashback dianya..” Sontak Zahra dan Abel cekikan karenanya.

Rasa kagetku nampaknya terlihat jelas di mata mereka. Dan dilihat dari cara mereka memandangku, sepertinya mereka menantikan jawaban dari apa yang aku lamunkan barusan.

“Ehm, begini…” ujarku. “Kalian ingat tidak kalau kita berempat dulu agak anti-pernikahan karena itu melegalkan eksploitasi laki-laki atas perempuan?”

Yang jelas saat itu smirk Abel tersungging dengan sangat jelas. Sedangkan Zahra kembali memutarkan bola matanya, tanda kaget dengan pertanyaanku. Dan Fatia, ia bahkan beralih memandangku dengan tatapan serius, seakan dia menjadi ragu akan pilihannya untuk menikah.

“Kamu bikin aku ragu sama statusku sebagai istri loh”, ujar Fatia dengan air muka yang


sedih.

Abel memundurkan posisinya dengan bersandar pada kursi.

“Nggak usah ragu. Justru kalian harusnya bersyukur karena mau berkomitmen untuk menikah, terlepas dari usaha kalian untuk menyetarakan kedudukan kalian dengan suami merupakan hal yang berhasil”.

Tak lama ia mengarahkan pandangannya menatap langit-langit kafe.

Aku dan Zahra sama-sama memberikan kode bahwa trauma yang dialami Abel masih belum kunjung sembuh.

Fatia mengisyaratkan pada kami untuk tidak apa-apa meneruskan topik pembicaraan kami. Sebelum aku menolak isyarat Fatia itu, kudengar Abel mulai berbicara lagi.

“Kalian pasti ingat kalau aku adalah hasil dari produk gagal. Kedua orang tuaku adalah buah dari perjodohan kakek-nenekku yang idealis, agar menghasilkan cucu yang cerdas dan berkelas.”

Untuk sebagian wanita, tentu pada moment seperti ini mereka pasti akan mencoba memeluk Abel untuk menenangkannya. Namun hal itu sungguh tak perlu dilakukan jika kau tak ingin mendapatkan tatapan super garang darinya.

Aku agak kasihan pada Abel. Jiwa pemberontaknya ini disebabkan oleh rasa tidak nyamannya di rumah. Betapa hubungan yang dijalin kedua orang tuanya terasa fake, dan terpaksa berlanjut karena ada keberadaan Abel dan kakak laki-lakinya. Iya, orang tua menjadi urung bercerai karena mempertimbangkan “adanya” anak.

Dan betapa ia pernah melihat suatu perisitwa di mana ibunya yang sangat vokal akan kesetaraan gender itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari ayahnya yang agak konservatif. Walaupun dalam hal ini ayah Abel merupakan seseorang yang tergolong cerdas pada masanya, namun tetap tak berdaya bergolak pada konstruksi budaya yang melekat kuat. Betapa pertengkaran mereka sering disebabkan oleh “jomplangnya” kesetaraan gender dari yang seharusnya dan senyatanya.

“Bahkan aku sempat mempertanyakan kenapa aku harus lahir sebagai perempuan. Yang bahkan sampai sekarang masih dikira lemah, dikira bisa diperlakukan seenaknya”, celetuk Abel.

Aku jadi prihatin lagi pada kondisi Abel. Abel, adalah nama panggilan yang ia sukai. Nama aslinya adalah Belinda, namun ia menolak dipanggil seperti itu karena terkesan feminim. Well, Abel memang tomboy dalam sebagian besar aspek, tapi orientasi seksualnya masih menyukai lawan jenis. Meskipun ia sering menolak terlibat dalam hubungan serius dengan pria. Tapi ia masihlah perempuan yang menggilai cowok tampan, atau dalam kasusnya adalah oppa-oppa Korea.

Pemikiran itu agak menggilitikku sebab begitu Abel membahas K-Pop ia terlihat sebagai sosok fangirl yang menggemaskan. Hal tersebut masih berlangsung hingga ia melanjutkan S2 di Korea Selatan.

“Kalo dalam kasusmu sih, memang bukan salahmu kalau kamu memilih jalan yang berbeda”, ujar Fatia.

“Ya, tentu bukan salahku. Aku punya karier. Bagaimana kalau nanti suami adalah penghambat karierku? Tentu aku juga tak mau jika semua tugas domestik dilimpahkan padaku. Maksudku… perempuan itu bukan pembantu!” jawab Abel dengan geram.

Kulihat Zahra ingin sekali menanggapi pernyataan Abel barusan, hanya saja ia tahu bahwa ia pasti akan kecewa karena Abel tak akan menerima penjelasan Zahra seperti biasanya.

“Zahra, aku beda sama kamu. Riwayat hidup kita dan lingkungan kita beda jauh. Dan ingat, aku paling anti yang namanya pemaksaan kehendak. Itu namanya mencederai toleransi. Tahu sendiri aku keras banget buat menentang itu”, ujar Abel dengan tak mengindahkan tatapan Zahra.

“Iya, aku tahu”. Zahra kemudian menenggak air liurnya.

Aku benar-benar dalam situasi yang membuatku bingung harus berkata dan bertindak apa.

“Tapi, aku akan memikirkan lagi masalah itu”.

Dan syukurlah pernyataan Abel itu membuatku sedikit lega.

“Aku tahu bahwa alasan kita hidup adalah untuk membuat dunia lebih baik. Dan perjuangan itu tidak berhenti hanya digenerasi kita saja. Perlu ada regenerasi memang”, sambung Abel.

“Nah, itu. Syukur deh kamu sekarang benar-benar paham makna dibalik kita ngerayu kamu biar cepet nikah”, pungkas Fatia.

“Hmmm, mungkin tidak dalam waktu dekat. Mungkin bisa dengan adopsi anak dulu biar aku terbiasa mengurus anak dengan tanganku sendiri. Jadi kalau nanti ketika aku bersuami malah dia yang bikin anakku jadi kurang terurus.. well, I’ll fight for it”, ujar Abel.

Seketika itu hening melanda.

Well, kami tak bisa berbuat banyak memang untuk menasehati Abel. Mungkin bagi Fatia masalah Abel tidak menikah atau tidak adalah urusan dia. Tidak salah sih. Bahkan Zahra dan aku merasa bahwa dulu Fatia juga tak memiliki niatan untuk menikah.

“Nah, udahan nih tentang Abel daripada suasananya agak nggak enak kayak gini..”, ujar Zahra memecah keheningan.

“Btw ..” kulihat ia melirik padaku.

“Bukankah kau dulu sepemahaman dengan Abel masalah pernikahan? Aku masih kurang paham sih alasan kenapa kamu menikah paling dulu di antara kita? Di tengah karier yang bagus malah”, sambungnya.

Aku cukup kaget mendengar pertanyaan Zahra, karena aku merasa sudah menceritakan alasan sejujurnya kenapa aku memutuskan menikah muda.

“Aku rasa sudah cukup bukti yang diberikan Ray padaku..”

Belum selesai aku meneruskan kalimatku, aku tersadar akan pandangan yang seakan “menciekan” aku. Mungkin bagi mereka agak aneh melihatku bersikap agak cheesy.

“Oh ayolah 3 tahun yang diberikan saat itu sudah membuatku cukup mengenalnya, di luar dari dramaturgi yang ia ciptakan itu..”

“Iya iya, Non. Si spesialis dramaturgi”. Dan ucapan Abel itu mengundang tawa bagi kami.

“Nggak usah ngeledek deh”, ujarku tersipu. “Yang jelas aku tak ingin melahirkan ketika berumur 30 tahun-an. Aku merasa perlu “supply” yang sehat dari kami, jadi aku tak ingin menunda lebih lagi sebelum kualitas “supply” itu berkurang”.

Kurasa mereka sudah paham dengan makna “supply” yang aku maksud.

“Dan kalian pasti tahu ‘kan bagaimana keluarga besarku terus mempertanyakan kejelasan hubungan kami? Well, aku merasa pertunangan adalah hal yang percuma. Jadi lebih baik langsung menikah saja”.

“Wow, tidak berbasa-basi memang karaktermu banget ya”, sahut Zahra.

Sampai sekarang aku masih belum tahu apakah hal itu adalah sisi positifku atau tidak, karena aku jadi terkesan tidak berpikir panjang mungkin.

“Lagi pula kalian tahu bahwa beberapa orang di keluarga besarku seakan menutut perempuan yang telah lulus sarjana untuk segera menikah terlebih dulu. Karena dikhawatirkan terjadi hubungan yang tidak sehat dengan ‘partner’-nya. Dan buktinya beberapa sepupuku yang perempuan memutuskan menikah dulu, setelah itu urusan karier atau memutuskan melanjutkan S2 adalah hal yang bisa dibicarakan. Intinya pernikahan lebih dulu itu dianggap menghindari zina”.

Berbicara tentang zina aku jadi teringat akan sosok berhijab di sampingku. Bisa kulihat ekspresinya agak muram setelah aku membicarakan perihal itu.

“Zah, kamu nggak apa-apa?” tanya Fatia padanya khawatir.

Zahra mendongak ke atas, itu adalah kebiasaannya untuk mengontrol emosinya ketika membicarakan isu yang tidak disukai. Well, aku bisa paham. Sebab ia melalui banyak hal yang tidak mudah semenjak dini. Bahkan aku merasa kisah hidupnya hampir memprihatikannya dengan Abel.

Zahra, hidup di keluarga dan lingkungan yang religius. Ayahnya merupakan salah satu pemuka agama yang masyhur di daerahnya, sehingga masyarakat menaruh respect lebih padanya. Namun ia merasa ternodai dengan kelakuan ayahnya. Sebab ia memilih untuk berpoligami dengan murid didikannya sendiri yang usianya terlampau 15 tahun lebih muda dari ayahnya.

Zahra pernah bercerita bahwa ayahnya selalu berusaha menahan hawa nafsunya agar tetap setia pada istrinya. Bahkan ia meminta bantuan pada teman-temannya yang sama-sama pemuka agama agar terus mengingatkannya agar tetap setia pada satu pasangan.

Namun pada kenyataannya ayahnya terbuai oleh anak didiknya sendiri. Seorang permpuan yang cantik, cerdas, dan anggun. Bagi banyak orang hal itu merupakan “paket komplit” yang ideal untuk didapatkan.

Ayahnya mengalami dilema besar sejak saat itu. Dan mengetahui hal tersebut, istri pertamanya lalu menyatakan kesediaannya untuk dipoligami. Selain merasa agar menghindari zina, ia juga beralasan bahwa mungkin perempuan muda akan lebih bisa memuaskan gairah suaminya yang masih berjiwa muda.

Dan dengan dukungan beberapa orang yang membolehkan hal tersebut, serta alasan tambahan bahwa mereka akan melahirkan keturunan yang religius dan cerdas, hal itu mulai menggoyahkan ayahnya. Pada saat itu ayahnya berpikiran bahwa perlu lahirnya sosok yang religius dan cerdas untuk menambah keyakinan seseorang pada agamanya, bahkan mungkin untuk mempengaruhi orang di luar agamanya perihal agama yang dianut.

Dan.. begitulah. Tak lama kemudian Zahra lahir. Namun meski orang tuanya berekspektasi lebih padanya, justru Zahra merasa kehadirannya adalah sebuah kesalahan. Ia tak kuasa mendengar ucapan bahwa ia memiliki 2 ibu. Bahkan ada ucapan bernada sarkas bahwa ia adalah hasil dari ayah yang tak bisa mengontrol hawa nafsunya, dan melukai hati istri pertamanya, di mana konstruksi masyarakat tertentu mengharuskan suatu pernikahan diharapkan setia pada 1 pasangannya saja.

Tidak salah jika walaupun terlihat alim di mata keluarganya, namun sikap Zahra di sekolah malah terlihat nyeleneh. Baginya itu adalah simbol pemberontakannya akan kelahirannya. Sejak saat itu ia membenci anjuran poligami, apapun dalih yang digunakan untuk itu. Sebab ia merasa bahwa pihak yang tersakiti tak hanya Zahra semata, namun istri pertama ayahanya beserta keluarga besarnya, dan ibu kandungnya yang menurutnya juga menanggung beban akan ucapan-ucapan nyinyir yang diarahkan padanya.

“Tapi aku tak menyalahkan agama atas hal ini”, ucap Zahra dengan sedikit terisak.

“Kasus seperti ini mungkin disebabkan oleh orang yang jiwanya dikuasai oleh hal irasional bernama nafsu. Dan nafsu adalah topeng untuk melegalkan banyak hal keji menjadi sesuatu yang terkesan baik”.

“Aku bersyukur karena dengan masih mempercayai Tuhan, akhirnya ia mengirimkanku lelaki baik dan yang sepemikiran denganku tentang hal itu – penolakan poligami”.

Fatia yang biasanya tak banyak bicara jika menyangkut isu agama kini malah ikut terpancing dengan kasus Zahra.

“Aku merasa sudah karunia-Nya untuk menghadiahkanmu lelaki baik, Zah. What goes around comes around, they said. Meskipun awalnya ia tidak memiliki keyakinan yang sama denganmu, tapi karena perasaannya yang kuatlah yang membuatnya mau secara serius memperjuangkanmu. Aku mengapresiasi itu”.

“Aku iri dengamu, Zah”, celetuk Abel. “Ah, kurasa agama KTP-ku harus kuperdalam lagi”.

Pernyataan Abel cukup menggelitik kami bertiga – Zahra, Fatia, dan aku. Meski bukan orang yang religius, tapi menurut kami, ia cukup bijak dalam memahami baik-buruk dalam realitas sosial. Sehingga pernyataanya untuk menjadi seorang yang religius sedikit menggugah kami.

Kurasa karena tak adil jika topik pembicaraan masih berkutat pada Zahra, dan tadi sudah membicarakan Abel dan aku, sehingga Abel mulai menyenggol Fatia. “Dan bagaimana kabar teman liberalku yang jenius ini sekarang? Bagaimana rasanya menikah setelah S3-mu terpenuhi? Sepertinya asyik ketika cita-citamu terkabul baru kamu menyerahkan dirimu pada ‘ketidakbebasan’ dalam pernikahan”.

Hal itu ditanggapi Fatia dengan nada bercanda, “Ya, asyik-asyik aja sih. Secara dapatnya bule gitu”.

Iya, Fatia mendapatkan suami seseorang berkewarganegaraan Perancis. Bahkan mereka memiliki IQ yang setara, dan memiliki kesamaan pemahaman akan kebebasan. Jadi mereka berdua mengesankan sebagai pasangan super power.

Melihat Fatia mau membuka hatinya untuk menikah membuatku terharu. Setidaknya menurutku ia tak sebandel Abel.

“Mungkin karena semakin banyak ilmu yang didapat membuat pintu enlightment terbuka padaku?” Spontan saja tawa meriuhi perkataan Fatia itu.

I’m fine with it, guys –pernikahan. Dan karena aku mendapat previleges di kampus yang aku ajar, setidaknya aku merasa ada toleransi yang worth it untukku nanti ketika mengandung dan melahirkan”.

Fatia merupakan guru besar di salah satu universitas top di negeri ini. Penelitian yang dilakukannya sering diterbitkan dalam jurnal internasional. Serta ia pernah beberapa kali bekerja sama dengan organisasi di bawah naungan PBB untuk membenahi negeri ini. Dan lagi kudengar ia merupakan salah satu dosen favorit di kampusnya, sebab cara mengajarnya yang kekinian dan menyenangkan membuat mahasiswa-mahasiswanya betah mendapat kuliah darinya. Sehingga tak jarang mahasiswa yang ia ajar mendapat nilai yang bagus. Meskipun memang mahasiswa yang dia ajar itu bukan mahasiswa sembarangan sih. Ya, namanya kampus top se-negeri gitu..

Dan selagi aku memikirkan tentang Fatia, aku merasakan senggolan di lenganku.

“Apa menjadi ibu rumah tangga membuatmu melamun terus?” tanya Fatia.

“Eh?”

Kemudian aku merasa tatapan Zahra berubah ke arahku.

“Jangan bilang kalau rumah tanggamu tidak baik-baik saja”.

Aku segera nyengir karenanya.

“Tidak buruk kok. Justru aku merasa agak senang karena memiliki banyak waktu untuk menyendiri. Kalian pasti paham kalau aku kurang suka keramaian, dan aku juga tak masalah menghabiskan waktu untuk melayani diriku sendiri”.

“Lalu kenapa kau mudah sekali bengong dari tadi?”, tanya Zahra

Kuhela napas dalam-dalam.

“Kurasa menjadi seorang yang mempertahankan idealisme adalah hal yang mustahil. Karena masyarakat akan meremehkanmu karena jalan pikiranmu yang berbeda. Dan waktu akan menertawakanmu karena kenaifanmu”.

“Aku berkaca pada diriku sendiri bahwa susah mempertahankan idealisme untuk waktu yang lama”, lanjutku.

Melihat anak-anak yang hening menunggu kelanjutan ucapanku, maka segera kuucapkan kegelisahanku.

“Kalian tahu bahwa aku memang tidak mengharapkan pekerjaan yang menuntut rutinitas, dan aku enggan bekerja di bawah komando orang lain bukan?”

Kulihat mereka mengangguk tanda masih mengerti karakterku yang satu itu.

“Aku bersyukur setelah menikah aku makin menekuni passion-ku dalam menulis. Walaupun tidak menjadi novelis seperti yang kuidamkan, namun menjadi blogger yang menginspirasi banyak orang cukup membuatku puas. Dan lagi aku mendapatkan penghasilan dari tulisanku. Ya meskipun aku tak suka dipaksa untuk me-review hal yang tak aku sukai”.

“Ah iya, kau masih rajin nge-blog? Maaf aku lupa. Tumpukan skripsi menghantuiku”, ujar Fatia sembari bergaya mimik sedih.

“Aku masih meluangkan waktu untuk membaca blogmu, kok”, sahut Abel.

“Isu yang kau angkat lumayan menyenangkan untukku, bahkan beberapa rekan kerjaku menjadi fansmu. Ya karena kau tahu beberapa isu itu ada yang diangkat ke film yang diproduksi oleh kami kan”.

Oh iya aku lupa menjelaskan bahwa Abel merupakan salah satu tim produser disalah satu rumah produksi perfilman. Setahuku jika Abel terlibat dalam film, maka film itu terlihat flawless karena tangan besi dari Abel Sang Perfeksionis.

“Tapi aku menyayangkan karier pasca pernikahanmu”, gerutu Abel.

Aku sedikit terenyuh mendengar perhatian temanku ini.

“Loh bukannya kamu masih jadi scriptwriter?” tanya Fatia sambal melongo padaku.

“Eh itu.. asal aku suka jalan ceritanya dan tim produksi Abel setuju ya aku ambil project itu”, jelasku.

“Tapi sekarang dia pilih-pilih banget dalam memilih project”, sahut Abel sembari menudingku dengan tatapan matanya.

“Yah, mau gimana lagi”, jawab Fatia sambil meneguk green teanya.

“Dia benar-benar fokus untuk mendidik anak dengan ‘baik’”, sambung Fatia dengan memberi isyarat tangan kala ia mengucapkan kata ‘dengan baik’.

“Ya benar toh. Aku merasa banyak waktu dengan anak membuatku senang karena anak juga nyaman lama-lama di rumah”, jawab Zahra yang memang sama-sama menjadi ibu rumah tangga denganku.

“Hmm, jadi ibu rumah tangga kelihatannya melelahkan ya”, goda Abel.

“Kurasa kalian harus bercerita banyak padaku, karena aku tidak mau menyesal dalam proses regenerasi baruku nantinya”.

Dan tak butuh waktu lama untuk membuat mata Zahra, Abel, dan aku terbelalak mendengar perkataan Fatia barusan.

“Seriusan abis ini mau ‘program’? tanya Abel tak percaya.

Fatia mengendikkan bahunya, “Tergantung dari bagaimana respon logisku nanti setelah mendengar cerita kalian”.

Aku dan Zahra yang mendapat kedipan dari Fatia menjadi agak bergidik karenanya. Sehingga Zahra dan aku sama-sama bermain mata sebagai isyarat ‘ayo kita yakinkan dia dengan penjelasan elegan agar dia puas’.

Well, setelah menikah aku tidak benar-benar menyetop karierku, kok. Kalau masalah jadi scriptwriter memang aku sangat pilih-pilih, mentok pun cuma 2 project dalam 1 tahun. Nah kalau masalah nge-blog sih aku masih rutin pasca menikah. Lagipula jauh sebelum aku menikah aku sudah mendapatkan banyak readers setia, dan beberapa sponsor juga. Jadi itu salah satu sumber pendapatan utamaku saat ini”, jawabku.

“Dan kalau benar-benar lagi bosan di rumah biasanya aku mendapat tawaran dari kamu ‘kan Fat tentang penelitian sosial yang topiknya ‘aku banget’?  tanyaku pada Fatia.

Dan Fatia menjawabnya dengan anggukan kecil.

“Lalu bagaimana dengan keseharianmu yang lain?” tanya Abel.

“Ah, masalah itu …” sudut bibirku mulai terangkat lagi. “Aku bersyukur karena setelah menikah aku mendapatkan Q-Time yang menyenangkanku. Kalian tahu ‘kan kalau aku penggila novel fiksi bergenre fantasi? Dan juga anime-anime yang ceritanya petjah ngetz?”

Refleks cekikan terdengar dari mulut Fatia, Abel, dan Zahra.

“Jadi rutinitasku selain mengasuh anak, ya cuma nge-blog, baca novel, dan nonton anime”.

“Tapi kamu tetap ngelakuin tugas domestik ‘kan?” tanya Abel.

Dan kali ini aku memberanikan diri untuk menjawabnya dengan pandangan yang terfokus pada Abel.

“Bel, aku dan suamiku sudah ada kesepakatan untuk tidak memiliki ART (Asisten Rumah Tangga) dan baby sitter. Dan aku bersyukur suamiku lumayan sadar diri, jadi waktu pulang kerja gantian dia yang ngurusin anak-anak”.

“Aku berharap suamiku kek gitu”, sahut Fatia sambil memanyunkan bibir.

“Eh iya sih”, jawab Abel.

“Lagipula pekerjaan suamimu ‘kan nggak menuntut rutinitas kan ya? Jadi enak bisa lebih sering di rumah”.

Dan Fatia sepertinya agak lupa-lupa ingat akan pekerjaan suamiku.

“Eh iya animator ‘kan suamimu?” tanyanya.

Aku segera menggelengkan kepalaku.

“Suamiku itu kerja di desain grafis. Kadang dia bikin ads, kadang ikut project animasi juga”.

“Ah iya itu! Pikiranku malah dia itu ilustrator”, ujar Zahra.

Lah emang dia ilustator juga, Zah. ‘Kan desain blog-ku dari dia juga, sama ilustrasi tiap postinganku kan watermark-nya ada nama dia juga”, jawabku.

“Enak ya jadi nggak kena copyright, kkkk”, kekeh Abel.

“Serasi deh kalau suami-istri job-nya bisa saling terkait gitu”, dan ucapan Fatia itu membuat pandangan menciekan terarah padaku lagi.

“Lah Si Zahra ‘kan suaminya juga gitu”.

Zahra segera memajukan posisi duduknya.

“Suamiku ‘kan atlet, guys. Kalo maksudmu terkait karena dia kadang invest usaha-usaha tertentu, terus hubungannya sama aku yang punya butik muslimah ya agak nyambung sih".

“Eh iya, suaminya Zahra ‘kan pemain bola level nasional ‘kan ya. Jadi iri nih Si Zahra ketularan jadi selebritisnya”, celoteh Abel.

“Ah, apaan sih, Bel”, ujar Zahra dengan pipi merona.

“Tapi kamu nggak bingung Zah buat ngurusin butik sama kafe ini?” tanya Fatia.

“Kalau kafe ini sih aku patungan sama salah satu tetanggaku yang dulunya itu teman SMA-ku. Soalnya ‘kan lebih trusted, kalau ada apa-apa tinggal cross check sama dia dan rumahnya sebelahan ngetz sama rumahku. Jadi pembagiannya sih dia yang lebih ngurusin manajemen sini. Kalau aku lebih ke bagian invest-nya sih”.

Penjelasan Zahra itu membuat kami bertiga – Abel, Fatia, dan aku, mengangguk.

“Btw, suami kamu masih bisnis kursus bahasa ‘kah?” tanyaku pada Fatia. Ih, memang nggak nyambung ya aku tiba-tiba langsung tanya hal yang kontras banget sama yang barusan dibicarakan. Tak apalah, mumpung aku ingat untuk bertanya.

“Iya. Tapi walaupun niatnya cuma jadi investor, tapi dia malah ngurusin manajemennya juga. Jadi dia sekarang ibarat kerja kantor gitu. Apalagi sekarang ada cabang baru di daerah lain, jadi dia agak ekstra buat ngabisin waktunya di kantor”, ucap Fatia dengan nada sebal.

“Lah ‘kan kalian sama-sama sibuk nih, gitu itu sering konflik nggak”, tanyaku kepo.

Dan Fatia membalasnya dengan tersenyum lebih dulu.

“Intinya kalau udah menikah itu saling percaya. Dan dia lumayan demokratis kok kalau masalah pembagian kerja di rumah, jadi nggak ada tuh istilahnya aku sebagai istri yang mayoritas ngurusin rumah. Dan dia nggak ngasih aku batasan-batasan sebagai istri sih, yaah kecuali biar nggak main mata sama cowok lain”.

“Mungkin karena dia dari Eropa ya jadi liberte-nya dijunjung tinggi”, timpal Abel.

“Kalau masalah kebebasan sih sebenarnya bukan karena dia dari Eropa juga sih. Soalnya pra-nikah kita juga udah nyiapin perjanjian tertulis gitu tentang hak & kewajiban masing-masing. Ya jaga-jaga kalau ada batasan ruang gerak yang nggak logis gitu.”, jawab Fatia.

“Wih, kamu sampai se-ekstrim itu ya, Fat. Aku dulu sempat disuruh gitu sih sama kakakku, tapi akhirnya nggak aku lakuin karena kesannya hubungan pernikahan dengan perjanjian pra-nikah itu agak nyeleneh dari budaya kita. Soalnya aku takut dibilang perhitungan banget kalau ada perjanjian macem gitu”, timpalku.

Dan kemudian Fatia menjawabnya dengan tenang.

“Ini bukan masalah nyeleneh nggak-nya sih. Masalahnya adalah berkaca dengan kehidupan rumah tangga yang mainstream itu biasanya posisi perempuan itu nanti yang paling dirugikan kalau ada permasalahan dalam rumah tangga. Nggak salah ‘kan kalau aku menghindari resiko itu. Lagipula wajar kok kalau kita juga menuntut suami akan kewajibannya di perjanjian pra-nikah dan aku menuntut hakku juga, karena aku nggak mau nanti peranku sebagai istri itu jadi obyek pelampiasan suami”.

Kemudian Abel refleks menatap Zahra. “Kalau kamu, Zah?”

Kurasa Zahra agak gugup untuk menjawabnya.

“Begini, memang aku dan suamiku tidak punya perjanjian pra-nikah, dan aku sama suamiku waktu itu belum yakin 100% kalau hubungan kami berlanjut terus. Tapi aku dan dia sudah sepakat untuk memaksa diri masing-masing berkomitmen akan keputusan yang kita ambil adalah pernikahan. Dan kalau ada suatu hal yang mencederai rumah tangga kami, sebelumnya kami sudah berjanji untuk saling mengingatkan bahwa perceraian itu hal yang egois karena tidak mempertimbangkan posisi anak”.

“Oh iya sih, Zah. Berkaca dari pengalamanmu juga ya”. aku memundurkan posisi dudukku.

“Suamiku punya sahabat pria yang dibesarkan dalam keluarga broken home, jadi suamiku agak paham masalah begituan. Dan dia bahkan amit-amit jika sampai hal itu terjadi pada keluarga kami”, balas Zahra.

Kami semua tersenyum karenanya, sebab kami turut bahagia karena Zahra menemukan obat bagi rasa traumanya pada pria. Benar kata Fatia, what goes around, comes around. Energi positif yang Zahra keluarkan terlepas dari kekecewaannya dengan sosok ayahnya, membuat ia mendapatkan energi positif lainnya yaitu suaminya yang cukup baik menurut kami.

“Rasanya kita jadi perempuan keren ya karena tetap berjuang akan kesetaraan gender dengan laki-laki pasca menikah”, celetukku.

Spontan kemudian aku merasakan aura kebahagian terpancar dari wanita-wanita yang tengah berbicang denganku.

Dan begitulah obrolan kami kemudian merambah ke hal-hal lain. Rasanya senang bertemu perempuan-perempuan hebat ini.

Oh iya kami masih memperjuangkan emansipasi perempuan kok, hanya saja cara kami lumayan berbeda. Kalau Abel merefleksikannya dengan film yang ia buat, lalu Fatia lewat kuliah-kuliah yang ia ajarkan, dan aku melalui tulisan-tulisan di blogku. Yaah kalau Zahra memang dia tidak mengekspresikannya dengan sangat vokal sih. Tapi terkadang dia mengisi pembicaraan di ibu-ibu arisan dan pengajian tentang isu emansipasi wanita. Jadi kurasa walaupun tidak dalam skala besar, tapi aku mengapresiasi caranya.

 

Penulis : Anita Fitriyani

Editor : Choir


TAG#budaya  #cerpen  #gender  #humaniora