» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Karpet Emas Suci
27 Maret 2017 | Sastra & Seni | Dibaca 1853 kali
Petualangan Karpet Emas Suci: Cerpen Fantasi Foto: store steampowered
Semua terjadi begitu cepat. Dan semua itu demi Sang Karpet Emas Suci.

retorika.id - Gendang perang bergemuruh keras membangunkanku dalam tidur malam yang indah. Suasana begitu ramai sehingga aku mulai berlari menuju teras kamarku dan melihat kekacauan apa yang sedang terjadi di luar. Prajurit dengan baju besi dan kuda berbaju besi tunggangannya sedang berlari menuju pintu utama. Disusul prajurit-prajurit tak berkuda berlari keluar kerajaan dengan membawa tameng, pedang, dan anak panah. Suasana terasa begitu kacau, berkebalikan dengan bintang-bintang di langit yang masih tenang dan bercahaya indah untuk dipandang.

Ibu tiba-tiba membuka pintu kamarku dengan membanting pintu dan berlari masuk untuk mencariku. Seribu kali aku bertanya apa yang terjadi, tapi ibu terus saja menangis dan menyuruhku untuk segera pergi dan bersembunyi. Ibuku segera menarikku menuju kandang kuda dan membantuku menaiki kuda kesayanganku. Dengan tangisan yang membuatku juga menangis, ibu menyuruhku pergi ke puncak tertinggi gunung di Benua Emas untuk mencari karpet emas suci. Kata terakhir yang ibu ucapkan padaku, “Ayah dan Ibu selalu memberkatimu putriku, jagalah pikiranmu tentang kami dan berbahagialah selalu”.

Dalam perjalanan aku menangis sambil memeluk kudaku. “Besok adalah hari spesialku, apakah ini sebuah kejutan atau mimpi atau bagaimana”, hal itu terus terpikirkan olehku selama perjalanan. Perjalanan melewati hutan rimba pada malam hari membuatku takut sehingga aku harus menutup mataku selama perjalan, sampai-sampai aku tak sadar jika ada angin topan di depanku dan menghantamku. Rasanya seperti setengah mati dan setengah hidup. Aku merasa suara nyaring angin yang kudengar semakin lama semakin hilang dan


tenang. Suasana menjadi gelap dan tenang.

Aku buka mata dan sinar matahari menyilaukan mataku. Kulihat sekeliling hutan rimba penuh dengan suara hewan, membuatku takut dan bertanya aku ada di mana sekarang. Aku bangun dan coba memanggil apakah ada orang. Suara singa mengaung keras mengagetkanku dari belakang. Perlahan maju, singa itu membuat langkahku juga perlahan mundur. Saat mulai menyerang, aku tersandung dan jatuh sambil menyilangkan tanganku di depan mukaku. Aku sadari ternyata tidak ada yang terjadi. Aku coba lihat apa yang sudah terjadi, ternyata singa itu tersungkur dengan panah menancap di leher singa. Seorang pemburu dan anjingnya langsung berlari dan memeriksa singa yang telah dipanahnya. Pemburu itu pun membawa pulang mangsanya tanpa memperhatikanku. Aku berusaha mengejar dan meminta bantuan.

Pemburu dengan berparaskan wanita cantik yang umurnya seperti lebih tua dariku itu tak mengindahkanku. Aku hadang dia dengan wajah memelas dan mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Sang pemburu itupun berniat membantu asalkan dia diberi emas. Aku pun menyetujui karena ketika aku mendapatkan karpet emas dan mengantarkan ke kerajaan, maka dia akan diberi emas sebanyak yang ia mau. Kami pun pergi ke puncak tertinggi gunung di benua emas.

Badai salju disertai dengan banyak sekali es di sekitarku adalah puncak tertinggi di gunung emas. Kami pun berusaha sekuat tenaga mencari penyihir yang menurut informasi masyarakat, ia sangatlah jahat dan dia tinggal di tempat paling hangat di puncak yang paling dingin dan dia memiliki peliharaan beruang kutub bersayapkan naga.

Badai salju semakin kuat, suhu semakin dingin dan kami merasa ada yang mengikuti kami dari belakang. Aku pun menoleh kebelakang dan sang pemburu menoleh dengan membidik kebelakang. Dua mata menyala dari kegelapan dan suara mengaung terdengar keras. Beruang itu pun lari mengejar kami setelah panah yang dilepaskan oleh pemburu ternyata tak berhasil mengenai beruang. Kami pun lari sejauh mungkin untuk bersembunyi. Beruang pun sudah mulai tidak terlihat, aku pun mulai menangis karena kami semakin jauh dan sulit menemukan karpet emas suci.  Badanku lemas tak kuat menahan tangis sang pemburu berusaha keras menyemangatiku. Entah karena tulus atau karena emas dia berhasil membuatku lebih tenang.

Kami pun melanjutkan perjalanan dengan suhu semakin dingin dan suasana begitu gelap karena malam. Aku terbangun dengan kepala pusing entah apa yang terjadi sepertinya kami habis terjatuh. Aku melihat sang pemburu menyusul bangun dan melihat sekitar. Kami melihat sebuah pondok yang hangat berlampu kuning yang terang seperti emas. Kami mengira itu adalah rumah sang penyihir maka kami mencoba menyelundup dari belakang. Kami melihat beruang yang tadi mengancam kami sedang tertidur pulas di samping pondok tersebut. Suasana begitu tenang kecuali suara badai salju yang masih terus ada. Kami pun mencoba melangkah demi langkah, agar dapat membidikan panah untuk melumpuhkan beruang tersebut.

Sang pemburu pun melepaskan panahnya. Tak diduga panah itu menancap di perut penyihir dan juga beruang. Sepertinya penyihir berusaha melindungi beruangnya. Sontak penyihir tergeletak dan meringis kesakitan, beruang terbangun dan menyemburkan es ke hadapan kami. Aku menghindar ke kanan dan sang pemburu menghindar ke kiri sambil memanah ke arah leher beruang. “Hentikan” aku melihat sang pemburu lalu menghampiri penyihir. Dengan sisa tenaga penyihir mengatakan kepadaku, “Apakah harus seperti ini kita bertemu? Aku adalah nenekmu dari Ayahmu. Aku tau kau akan kesini mengambil karpet emas suci untuk kembali ke kerajaan. Tadinya aku ingin menyambutmu dengan hangat.” Penyihir yang ternyata nenekku sendiri akhirnya memberikan Gulungan karpet emas suci. Sebelum matanya menutup, ia layangkan kekuatannya ke sang pemburu yang membuatnya mati hangus.

Entah apa yang terjadi aku memegang karpet emas suci yang kucari tapi semua mati di sekelilingku. Aku juga telah salah menilai orang karena mendapatkan informasi dari kabar burung. Seharusnya aku harus benar-benar mencari tahu informasi itu langsung ke sumbernya. Sekarang semua orang terbunuh karena kesalahpahaman, dengan sangat takut aku menggenggam karpet emas suci dan meletakkannya ke tanah. Aku duduk dan keajaiban mulai terjadi, cahaya berputar di sekelilingku membawaku terbang ke atas secara vertikal. Secepat kilat aku dan karpet yang kutunggangi hilang melesat.

Aku dapati diriku terbangun dalam tidur. Pelayan membuka jendela bertanya, “Kenapa Tuan Putri baru bangun?” Aku bingung dan bertanya, “apa yang terjadi di kerajaan ini?” Sambil menghampiriku ia berkata, ”Tidak ada yang terjadi Tuan Putri. Semua baik baik saja, hanya saja ibu jauh dari ayah Tuan Putri dikabarkan meninggal. Nanti akan ada upacara penghormatan”. Aku terdiam tak bisa berkata. Entah apa yang sebenarnya terjadi namun hal yang bisa dipetik adalah jangan pernah percaya informasi dari kabar burung atau pendapat-pendapat masyarakat, semua harus dibuktikan dan jangan mudah percaya.

(Oktavimega Yoga Guntaradewa, 2016)


TAG#cerpen  #karya-sastra  #seni  #