» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Jangan Takut Berubah
21 Maret 2017 | Sastra & Seni | Dibaca 1825 kali
Namanya Aminudin, hidupnya berubah pasca kematian ayahnya. Hingga suatu hari ia sadar dan akhirnya menemukan kebebasan finansial yang luar biasa.

retorika.id - Aminudin nama yang mungkin tidak banyak dikenal orang, namun kisah hidupnya banyak menginspirasi orang di desanya. Ia bekerja sebagai buruh tani di lahan tetangganya, dan hanya menerima upah sebesar 500 ribu rupiah saja per bulannya. Tentu saja uang sebesar itu jauh dari kata layak. Namun, ia tetap bersyukur masih ada yang mau mempekerjakannya. Hidupnya sangat kekurangan, belum lagi ia hanya tinggal dengan ibunya yang sering sakit-sakitan. Kehidupan keluarganya tidak pernah membaik sejak ayahnya meninggal dunia.

Aminudin bisa dibilang masih muda, usianya kira-kira 26 tahun, perawakannya kurus pendek seperti orang tak terurus. Orang-orang seringkali memanggilnya dengan julukan "Wong Ndendeng" (orang gila). Julukan itu diberikan karena semenjak ayahnya meninggal Aminudin dianggap sudah menjadi gila karena jarang sekali berbicara pada siapapun kecuali dengan ibunya.

 Dahulu sebelum ayahnya meninggal, keluarga mereka masih bisa hidup dengan layak. Ayahnya bekerja sebagai pengumpul hasil tani warga desa yang kemudian didistribusikan ke kota dan luar kota, memiliki penghasilan yang lumayan besar. Ayahnya selalu adil dan tidak pernah curang dengan pekerjaannya, ia juga dipandang bersahaja di mata warga desa. Namun, selama enam tahun sebelum ayahnya meninggal, satu-satunya saudara kandung ayahnya telah memfitnah ayahnya. Ayah Aminudin dianggap memakan hak warisan orang tuanya.

Perseteruan kedua pihak berakhir di pengadilan dan entah mengapa kala itu yang memenangkan hak warisan orang tuanya adalah saudara kandungnya. Padahal, saudara kandungnya itu sudah mendapatkan lahan pertanian orang tuanya, dan orang tua mereka sudah membaginya secara adil, akan tetapi karena keserakahan saudaranya itu, ayah Aminudin harus angkat kaki dari rumah orang tuanya beserta Aminudin dan ibunya.

Sejak saat itu tiga mobil pengangkut hasil pertanian yang selama ini menjadi tumpuan penghasilan keluarga terpaksa harus dijual untuk membeli sebuah rumah baru yang kecil dan sampai saat ini menjadi tempat tinggal Aminudin dan ibunya. Rumah itu kini sudah semakin reot dan sering kali bocor bila hujan mengguyurnya. Akibat dari menjual mobil-mobil pengangkut itu usaha ayahnya bangkrut. Ia beralih menjadi buruh tani di lahan tetangganya yang sekarang ini digantikan oleh Aminudin. Namun, saat ayahnya yang bekerja di lahan tetangganya itu,


ayahnya digaji 850 ribu, berbeda dengan gaji yang diterima oleh Aminudin saat ini. Aneh memang, apa yang membuat perbedaan gaji  itu menjadikan hal yang ganjal dalam benak Aminudin. Namun apa daya Aminudin harus tetap bekerja demi mencukupi kehidupan. Tujuh bulan setelah bangkrut ayah Aminudin meninggal dunia, rupanya ayah Aminudin tertekan dengan keadan yang  demikian cepat berubah.

Aminudin sebenarnya orang terpelajar. Sebelum ayahnya meninggal, ayahnya sempat menyekolahkannya ke perguruan tinggi di luar kota. Akan tetapi enam bulan sebelum Aminudin diwisuda, ayahnya meninggal dunia. Hal itu lah yang membuat Aminudin sangat tertekan dan membuat pendidikannya terhenti begitu saja karena tidak adanya biaya. Kehidupan Aminudin pun berubah menjadi seperti sekarang ini, selalu terpukul dan bingung akan arah hidupnya. Hingga suatu hari ia sadar dan akhirnya menemukan kebebasan finansial yang luar biasa.

“Din! Aminudin! sebelah sini kok banyak rumput liarnya.. Cepat cabutin, kamu dari tadi ngelamun saja.. Pancene Wong ndendeng!” teriak juragannya.

Tanpa menyahuti, Aminudin langsung mencabuti rumput di bagian lahan itu. Saat mencabuti rumput tiba-tiba seseorang menghampirinya dan berteriak “Aminudin!!”

Aminudin melihat sekilas dan tak menghiraukan serta kembalii mencabuti rumput lagi. Orang itu pun mendekat dan berkata “Aminudin, kamu kemana saja? Akhirnya aku bisa menemukanmu di desa ini, aku punya penawaran buat kamu, kamu mau ke kota buat bantu proyek animasiku? Kamu ‘kan mahir menggambar? Dan aku membutuhkan skill itu untuk proyek besar ini…”

Aminudin tak segera menanggapi, orang itu kembali berbicara, “Bagaimana? Kamu nanti dapat imbalan yang sangat pantas jika mau ikut denganku, lagi pula kamu ngapain sih susah-susah begini? ‘Kan lebih enak menggambar daripada mencabuti rumput seperti ini?”

Beberapa menit kemudian Aminudin baru mau berkata-kata, “Kalau aku ikut kamu, ibuku mau di bawa kemana! Aku memutuskan untuk tinggal di desa dan bekerja seperti ini itu karena ibuku sering sakit-sakitan dan kalau aku bekerja di kota bagaimana nantinya ibuku? Apa ibuku harus menderita sendiri di desa kecil ini? Lagi pula di desa ini saja aku kelaparan tidak punya biaya hidup, apalagi di kota Ton!” Rupanya seseorang itu bernama Anton. Dahulu ia teman kuliah Aminudin yang sering mengajaknya bolos kelas.

Anton menyahuti “Aku akan menyiapkan rumah sementara buat kamu tinggal di kota, nanti bawa ibu kamu ke kota  sekalian berobat disana, dan kamu akan bekerja di perusahaanku untuk biaya hidupmu disana?”

Aminudin hanya diam tidak menanggapi, entah apa yang dipikirkan Aminudin yang tidak segera menerima penawaran yang brilian itu. Di lain sisi, karena terlalu lama menunggu jawaban Aminudin, Anton jenuh dan berlalu sambil berkata “Ya sudah Din, kamu pikirkan lagi penawaranku ini. Aku akan berangkat kembali ke kota sore ini, kalau kamu berubah pikiran temui aku di kedai itu”, sambil menunjuk sebuah warung kecil di ujung jalan setapak.

Sambil mencabuti rumput Aminudin linglung seakan bimbang akan keputusannya, akhirnya Aminudin memutuskan untuk mengambil penawaran itu. Ia berlari menuju warung itu seraya mencari Anton temannya. Aminudin menemui Anton yang sedang menyeruput kopinya dan kaget saat ada Aminudin yang tiba-tiba berteriak “Aku ambil penawaranmu!” Sontak seisi warung itu kaget saat melihat Aminudin yang jarang sekali berkata-kata itu.

 Dengan wajah berseri-seri Anton temannya itu akhirnya memeluk Aminudin. Aminudin mengajak Anton ke rumahnya untuk bertemu dengan ibunya dan berkemas untuk berangkat ke kota.

Setibanya di rumah, Aminudin menyampaikan hal itu pada ibunya, ibunya pun setuju, mereka bertiga akhirnya berangkat ke kota pada hari itu.

Kehidupan di kota pun dimulai, dengan hati gembira Aminudin berterima kasih pada Anton, “Terima kasih sudah diberi tempat tinggal gratis di sini” Anton menyahuti “Sama-sama lagi pula kamu kan sekarang  bekerja di sini, kamu pasti bisa beli rumah di kota juga” mendengar perkataan Anton, Aminudin heran, apa iya hanya dengan menggambar ia bisa beli rumah?

Pekerjaan Aminudin pun dimulai. Ia mendapat tugas dari Anton untuk menggambar sebuah karakter kartun. Setelah memperkenalkan diri di hadapan pegawai lain, dengan peralatan menggambar yang sangat komplet. Aminudin mulai menggambar dengan serius. Karakter pertama pun jadi, namun saat ditunjukkan Anton tidak menyetujuinya. Aminudin pun kembali menggambar. Baru hingga pada gambaran keempat Anton menyetujuinya. Anton pun kembali menyuruh Aminudin untuk menggambar dari semua sisi karakter buatanya. Dan lagi, Aminudin kembali menggambar dengan serius.

Usai melakukan pekerjaan menggambar seorang pegawai memberi tahu Aminudin untuk menemui Anton di ruanganya, Aminudin pun menuju ke ruangan Anton.

“Ini sebagai gaji pembuka buat kamu” sambil menyodorkan amplop.

“Tapi Ton, saya kan baru hari ini bekerja?” Aminudin heran.

 “Tidak apa-apa, anggap saja ini gaji pertamamu bekerja di sini, selanjutnya gajimu akan akuberikan setiap awal bulan”

 “Baiklah kalau begitu, saya sangat berterima kasih padamu. Baru kali ini saya bekerja dengan susana hati yang sangat senang, karena pekerjaan yang kau berikan padaku memang sesuai dengan yang aku sukai, dan baru kamu pula orang yang langsung menerimaku, bahkan mencariku untuk bekerja. Sekali lagi terima kasih banyak”, ujar Aminudin keluar ruangan dengan senyum yang lebar.

Sepulangnya bekerja, Aminudin membuka amplop itu, di dalam amplop itu berisi uang sebanyak 3 juta rupiah, Aminudin langsung melakukan sujud syukur, Aminudin memberi tahu ibunya perihal uang itu, dan ibunya pun ikut sujud syukur juga.

Lima bulan pun berlalu, kehidupan di kota membuat hidup Aminudin dan ibunya berubah. Gaji Aminudin di desa yang hanya 500 ribu kini berubah menjadi 3 juta di kota. Proyek animasi milik Anton pun semakin maju. Tak hanya itu, kini Aminudin diangkat Anton menjadi manajer di perusahaannya, gaji Aminudin pun bertambah menjadi 4 juta perbulannya. Dengan gaji itu, Aminudin mengembangkan usaha lain, selama satu setengah tahun saja Aminudin sudah bisa membeli rumah di kota.

Dengan kehidupan yang sangat membaik, tiba-tiba Aminudin ingat dengan desanya. Aminudin mengajak ibunya untuk berkunjung ke desa dan melihat rumah kecilnya yang reot. Di desa Aminudin membawa sejumlah uang dan makanan untuk dibagikan pada anak-anak di sana, karena Aminudin tahu betul anak-anak para petani di desanya banyak yang kekurangan. Orang-orang di desanya pun terheran-heran dengan keadaan Aminudin sekarang ini, Aminudin pun akhirnya dipandang bersahaja di mata warga desa sama seperti ayahnya dahulu. (Red)

                              

 -Endah Fitri Amalia-


TAG#cerpen  #karya-sastra  #seni  #