» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Surabaya dan Hujan
21 Maret 2017 | Sastra & Seni | Dibaca 2281 kali
Hujan di Kota Metropolitan: - Foto: Pixabay
Pagi ini hujan lagi, sangat deras. Padahal baru kemarin malam hujan mengguyur kota kami hingga hampir menimbulkan banjir, biasanya tak sampai seperti itu.

         retorika.id - Kadang kala kami menganggap hujan merupakan sebuah anugerah. Bagaimana tidak, kota yang sesak dengan nafas penduduk, sesak dengan gedung-gedung pencakar langit, pabrik yang tak pernah berhenti beroperasi membuat kami rindu dan mendambakan hujan.

        Dulu saat hujan tiba, kami benar-benar bahagia. Kota yang panas ini akhirnya didatangi anugerah yang jarang sekali kami dapatkan. Hujan menjadi berlian yang sangat ditunggu di kota kami. Bahkan, tidak jarang orang rela menampung air hujan karena kejernihannya, maklum di kota kami air bersih sudah jarang ditemui. Tumbuhan menjadi makhluk paling bahagia saat musim hujan tiba. Bukan hanya karena air yang tidak cukup bersih, tetapi manusia enggan menyiramkan air padanya.

        Setiap tahun penghuni kota kami bertambah, hingga kini aku tak tahu berapa


ratus rumah yang menjadi kos, berapa puluh fasilitas yang menjadi rumah bagi penghuni baru yang tak tahu harus bernaung dimana karena keterbatasan ladang. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi, apa daya mereka yang sekadar mencari gawean yang katanya lebih layak demi bertahan hidup.

        Kota yang katanya menjadi sumber kehidupan ini semakin panas dan sesak. Letaknya yang berada di dataran rendah plus penghuni yang membludak seakan membuat kota ini menjadi neraka. Tak jarang penghuni asli maupun pendatang yang mengeluh dengan keadaan kota kami. Tapi tak tahu mengapa, tetap saja kota kami diminati dan terus didatangi.

***

         Hujan pagi ini cukup mengangguku, air yang menggenang akibat hujan kemarin malam belum sepenuhnya surut dan sekarang tertumpuk hujan pagi ini. Aktivitas yang tak boleh ditinggalkan sebagai mahasiswa juga sebagai seorang manusia yang tak hanya berdiam diri di rumah. Genangan air ini menjadi sedikit penderitaan untukku sebagai pejalan kaki. Ahh sepatuku.

        Hal yang tak pernah bisa kupahami dari kotaku adalah sebelum hujan suhu tubuh menjadi sangat panas, ketika hujan juga panas, dan setelah hujan reda tetap panas. Harusnya hujan menjadi penyejuk baik fisik maupun hati. Tapi tetap saja, hujan di kotaku membuat hati tak tenang dan selalu gelisah. Bukan apa-apa, kami takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

            Bukan aku tak suka hujan, bukan aku tak merindukan hujan. Tapi tolonglah, kenapa hujan di kota kami tidak seperti di daerah lain. Aku ingin merasakan dimana orang-orang menggigil karena hujan, dimana mereka memakai jaket tebal sebagai penghangat tubuh. Tapi bagaimana dengan kami yang menggunakan kipas angin sebagai sumber kehidupan utama yang bahkan tak sempat merasakan dingin tanpa adanya teknologi yang bernama AC dan kipas angin.

         Mungkin banyak sekali faktor yang menyebabkan kota kami seperti ini. Entahlah aku tidak mengerti. Tapi aku bahagia hidup disini, dengan keluarga dan sahabat yang merasakan hal sama denganku tapi mereka tetap mencintai kota kami sepenuh hati. Penghuni kota kami harus tahu, kota yang tak pernah mati ini, kota yang tak pernah ditinggalkan, kota yang selalu didatangi, kota yang kalian pasrahkan menanggung jiwa kalian perlu perubahan yang pasti. Bukan perubahan besar agar kehidupan makmur kalian, tapi perubahan kecil yang membuat kalian nyaman sebagai penghuni kota ini. Cobalah memahami kota ini, apa yang diperlukan kota ini untuk berubah, bukan apa yang kalian perlukan dari kota ini untuk mengubah diri kalian. (Red)

 

 -Amaliah Nurlaili-


TAG#cerpen  #karya-sastra  #lpm-retorika  #portal-web-pers-mahasiswa