
Harkitnas terus saja diperingati. Tapi mereka tak menangkap esensi peringatannya. "Peringatan" nyata itu terus direproduksi dan masih saja menjadi isu yang tak kunjung basi. Pantas saja kita tidak bangkit, wong pendidikannya tak kunjung maju.
retorika.id - Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), tak terasa sudah 108 tahun bangsa ini memulai pergerakan yang berani dan nyata. Jelas bahwa waktu yang dihabiskan untuk menjadi “jongos” di negeri sendiri harus segera diakhiri. Tapi apa yang bangsa ini butuhkan untuk melawan para penjarah dari negeri oranye? Apakah perang saja cukup untuk mengusir mereka dari Nusantara ini? Sedangkan para penjarah itu selalu bisa memutar otaknya untuk membalikkan keadaan perang?
Rasanya sudah tidak asing untuk mengetahui jawara dari “otot lawan otak” seperti ini. Walaupun dengan amarah yang meluap-luap dan rasa benci yang sudah mengakar, tentu “si otot” masih kurang berdaya jika berhadapan dengan “si otak”. Lalu jelas lah bahwa untuk menghadapi otak kita juga harus menggunakan otak. Namun kita harus menilik kondisi saat itu ketika “The Dutch” membuat pendidikan terasa mahal karena tak semua orang bisa mengenyamnya. Hanya para priayilah yang dapat mengenyamnya. Sedangkan kita tahu bahwa sebagian besar dari priayi tersebut lebih suka dengan "jalan aman” dengan menjadi pekerja dibawah perintah Belanda.
20 Mei 1908, hari dimana Boedi Utomo dilahirkan. Sebuah organisasi yang didirikan oleh Dr. Soetomo dkk inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan nasional lainnya, karena itulah hari bersejarah tersebut ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hal itu dapat terwujud karena nasionalisme yang dimiliki para cendekiawan pribumi lebih besar daripada “iming-iming” untuk tetap berada di bawah asuhan Belanda dengan semua hingar-bingar yang ditawarkannya. Hal ini juga menjadi bukti akan munculnya keberanian dan patriotisme di kalangan pemuda pada saat itu. Inilah bukti bahwa harga diri bangsa tak bisa dibeli.
Itulah yang dapat kita pelajari dari sejarah Hari Kebangkitan Nasional. Nah, sekarang apa yang terjadi pada nusantara tercinta ini setelah lebih dari 1 abad munculnya hari bersejarah itu? Demonstrasi dianggap paling bisa mewakili perayaan ini, sebab beberapa oknum sengaja menganggap Harkitnas sebagai backing yang tepat untuk demonstrasi. Namun rupanya isu-isu yang diangkat dalam demonstrasi tersebut sepertinya kurang memperhatikan poin-poin minus negeri ini yang membutuhkan urgensi tinggi dan beguna untuk jangka panjang.
Berkaca dari “Harkitnas” itu sendiri, nyatanya bangsa ini malah menjadi terpuruk setelah era kemerdekaan. Rasa nasionalisme mulai luntur, digantikan pengaruh westernisasi dan liberalisme yang diagungkan sebagian besar orang. Rasanya mereka menganggap kedua hal tersebut sebagai hal yang harus dilakukan agar tidak terlihat kuno. Namun bangsa ini masih sangat kurang selektif dalam unsur-unsur yang dibawa oleh kedua perubahan itu. Bangsa yang sebelumnya tertatih-tatih dalam berkorban demi kehormatan bangsa, kini pasca kemerdekaan malah
sibuk bermalas-malasan dan lebih suka menerapkan “potong kompas”, serta membesarkan ego.
Apanya yang bangkit jika kondisi seperti ini?
Mental bangsa ini sedang diuji. Kini para cendekiawan menjadi kurang dihargai oleh petinggi negara. Ide-ide cemerlang mereka masih diragukan karena masih diperlukan uji coba yang membutuhkan dana yang besar. Ironis sekali. Bangsa ini terus menggembor-gemborkan agar maju di bidang apapun, tapi kurang berani mengambil risiko dalam hal pendanaan bagi para jenius di negeri sendiri. Alhasil para jenius yang merasa terluka karena kurangnya penghargaan pemerintah kemudian memutuskan untuk mengabdi di negeri lain. Dan mereka umumnya sangat didanai oleh pemerintah di negara tujuannya, serta sukses dalam pengaplikasian ide-idenya. Lucunya kemudian kita mengaku-ngaku bahwa orang Indonesia memang cerdas dalam berkarya di negeri orang. Bahkan pada kenyataannya ada yang menyebut mereka penghianat karena lebih memilih negeri lain daripada negeri sendiri.
Menurut logika saja, jika seseorang tidak dihargai apakah salah jika ia memilh untuk pergi? Daripada kembali hanya untuk merasa tersakiti? Iming-iming gaji besar juga membuat mereka dihujat sebagai materalistis. Tak usah berpikiran munafik, semua orang pasti ingin hidup sejahtera karena tidak perlu khawatir akan kondisi keuangan. Semua orang pasti ingin membangun keluarga, di mana anak-anaknya bisa hidup dengan layak. Jadi tidak salah jika mereka-mereka ini memutuskan untuk mengabdi di negeri lain.
Hal lain yang membuat miris pasca kemerdekaan adalah kondisi internal negeri ini. Dulu kita bisa bangkit dan bersatu untuk mengusir penjajah, namun sekarang kita malah terpecah dan terpuruk menghadapi musuh dalam negeri. Siapakah musuh dalam negeri? Ya orang-orang kita sendiri. Hal-hal kecil dipermasalahkan sehingga berujung konflik berkepanjangan, dan bahkan timbul tindakan anarkis. Golongan-golongan ekstrimis di negeri ini juga sering membuat kita gigit jari. Perilaku mereka tak ubahnya seperti berusaha mengukuhkan eksistensi mereka sebagai pihak yang paling benar, dan yang berbeda dengan mereka adalah salah serta harus “diluruskan”.
Memang tidak semua pihak seperti itu, meskipun hanya terdapat beberapa orang yang berpemikiran ekstrim nyatanya kemudian konflik mulai tersulut. Ya, layaknya kebakaran yang mulanya dipicu oleh api yang kecil dan kemudian merambat. Egoisme, pemikiran sempit, dan penyuka serba instan alias malas adalah penyakit utama dari negeri ini. Biasanya mereka-mereka ini cenderung suka menyalahkan pemerintah dalam segala hal, namun ia sendiri tidak berbuat banyak untuk membuat perubahan yang baik, malah kebanyakan mereka berbuat lebih “salah” dari pemerintah meskipun dalam lingkup yang kecil.
Indonesia tidak kekurangan orang pintar, hanya saja kekurangan banyak orang yang jujur. Namun nyatanya orang jujur juga seringkali tidak mendapat tempat di negeri ini.
Agar Harkitnas tak hanya sekadar menjadi hari pengingat bagi kita, baiknya kita juga perlu untuk membuat berbagai “kebangkitan baru” agar Indonesia tak lagi lunglai.
Pertama, bangkitkan pendidikan karakter dan moral bagi generasi muda. Rasanya memang hal tersebut sudah diupayakan pemerintah, namun kenyataannya juga masih kurang efektif. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan evaluasi dan training bagi tenaga pendidik agar bisa memberikan pendidikan karakter dan moral yang efektif dan disesuaikan dengan konteks kekinian agar dapat menggerakan hati para kawula muda, sebab generasi muda pasti ogah mendengar ocehan panjang lebar tentang pendidikan karakter yang disampaikan dengan cara yang menurut mereka kuno.
Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk memberikan pendidikan karakter dan moral membutuhkan waktu yang tak sebentar. Hal ini dikarenakan diperlukan intensitas yang tinggi agar hal-hal tersebut bisa benar-benar tertanam di jiwa generasi muda. Jika hal tersebut terjadi tentu nantinya generasi muda akan lebih memiliki kesadaran diri yang tinggi, sehingga mereka akan menerapkannya secara ikhlas dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang kita ketahui bahwa kebaikan itu menyebar dari satu orang ke orang lain, sehingga efek dari pendidikan karakter ini juga akan terasa pada generasi-generasi di atas mereka. Dengan kontinyuitas yang tinggi serta hubungan timbal-balik yang baik pula maka diharapkan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan dapat menjadi negara yang “bersih”.
Lalu hal kedua untuk kebangkitan baru adalah pemerintah harusnya mengucurkan dana lebih untuk bidang pendidikan, dan distribusinya harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi penyelewangan dana. Negeri ini adalah negeri yang memiliki banyak penduduk usia produktif, namun hal itu tidak didukung dengan kemampuan akademis yang baik dan mapan. Sehingga tidak mengherankan jika negeri ini tak kunjung menjadi negara yang maju. Banyak pengangguran juga karena banyak angkatan kerja yang tidak terdidik, sehingga tidak mengherankan jika pengangguran ini menyebabkan naiknya tingkat kriminalitas akibat tak mendapat pekerjaan.
Pemerintah juga perlu menyokong dana untuk kuliah, karena nantinya generasi mudalah yang membuat negeri ini menjadi negeri yang produktif, bukan negeri konsumtif. Memang butuh pengorbanan dana yang besar di awal, namun kita pasti dapat memetik banyak keuntungan di masa depan yang bahkan bisa menghemat pengeluaran negara.
Masalah pendidikan tak hanya itu. Kurikulum sekolah nyatanya masih bermasalah. Berlomba-lomba mendidik masyarakat agar menjadi serba bisa malah jadinya awut-awutan. Mudahnya begini, apakah dengan mempelajari belasan mata pelajaran membuat kemampuan akademik siswa membaik? Bukannya mereka tertekan? Bagaimana bisa maju jika peran spesialis tak terajarkan sejak dini, terus saja dididik menjadi orang yang general.
Selanjutnya sistem nilai. Uh, lagi-lagi inilah yang paling dibanggakan negeri ini. Berlomba-lomba mendapat nilai terbaik, sehingga berjuanglah para siswa mencari contekan. Sistem rangking dan penilaian secara general bisa mematikan motivasi siswa untuk berkembang. Tak jarang kurang sekali rasanya apresiasi pada siswa yang menonjol pada bidang tertentu saja.
Berhubungan dengan nilai, rasanya masih nyambung dengan sistem akreditasi. Ini juga bermasalah. Akhirnya sistem sekolah dibuat dengan memuat banyak konten, jadi yang dikejar adalah kuantitas, bukan kualitas. Ironinya ini juga terjadi di dunia kampus, di mana akreditasi A tak menjamin kualitas pendidikannya.
Kemudian apresiasi terhadap sosial dan seni. Sedari kecil, sedari dulu, masyarakat terus didoktrin bahwa individu hanya akan disebut pintar ketika jago pelajaran sains. Jadilah masyarakat ini brutal dan buta akan kesadaran sosial. Selain itu seni, juga bagian dari kemampuan yang tak dihargai. Katanya tidak menghasilkan pekerjaan layak nantinya. Padahal dengan belajar seni, manusia belajar nilai-nilai humanis.
Ketidakadilan ini terlihat pada condongnya siswa untuk memilih kelas IPA dibanding kelas IPS, duh apalagi kelas Bahasa. Juga jangan lupakan betapa durasi pelajaran IPA, IPS, dan Seni terasa tak berimbang pada tiap minggunya. Selalu saja IPA yang mendominasi.
Jadi bisa dilihat bahwa PR pendidikan bagi pemerintah masih memuat daftar yagn panjang. Namun itu juga sebagai evaluasi agar bisa memberikan kebijakan pendidikan yang lebih baik agar masyarakat makin terdidik dan maju.
Dengan tingkat pendidikan yang tinggi tentu rasa kepedulian akan isu-isu soial, lingkungan, dan kesehatan juga akan meningkat. Jadi masyarakat tak akan lagi membuang sampah sembarangan. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula masyarakat akan menjadi SDM yang berkualitas dan kompetitif, sehingga nantinya mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula masyarakat diharapkan nantinya bisa menjadi mandiri, sehingga orientasi mereka tidak hanya untuk mencari kerja, melainkan dapat membuat lapangan kerja sendiri.
Jadi, Kebangkitan Nasional di era pasca kemerdekaan dapat diraih dengan meningkatkan pendidikan karakter & moral, memperbanyak subsidi pendidikan dan melakukan pengawasan yang ketat dalam pendistribusiannya, mempertimbangkan kembali perlunya sistem rangking dan akreditasi, dan terakhir harus berusaha mendidik masyarakat agar tak menyepelekan pelajaran sosial dan seni. Dengan hal-hal tersebut isu kemiskinan, pengangguran, serta lingkungan yang kurang bersih juga akan dapat teratasi dengan sendirinya, dan niscaya kesan sebagai negeri yang korup nan malas juga dapat terbantahkan.
Penulis : Anita Fitriyani
TAG: #aspirasi #demokrasi #gagasan #humaniora