Pementasan teater Sanggar Lidi Surabaya merupakan adaptasi naskah Grafito karya maestro Akhudiat yang digelar di Balai Pemuda Surabaya pada Selasa (12/11/2024) lalu dan mmbawakan kisah cinta dua insan beda agama yang terbentur oleh ketiadaan payung hukum di Indonesia. Dalam wawancara Tim Retorika dengan sutradara Totenk Mt. Rusmawan, ia menegaskan bahwa Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengalami perubahan berarti untuk memberikan solusi bagi pasangan berbeda agama dan kepercayaan dengan niat baik.
Retorika.id - Pementasan Grafito oleh Sanggar Lidi Surabaya yang dipentaskan pada (12/11/2024) menampilkan dua pementasan yaitu pantomim dan teatrikal. Dibuka dengan doa oleh dua agama yang diikuti penyampaian kata sambutan oleh Totenk Mt. Rusmawan (Totenk) selaku sutradara. Pementasan ini menjadi sebuah upaya agar karya Akhudiat tetap dikenang oleh publik melalui adaptasi naskah Grafito.
Pementasan ini menyelami perjuangan Limbo dan Ayesha yang bersikukuh mempertahankan keyakinan masing-masing namun terjebak dalam tembok tinggi bernama ketetapan hukum. Dalam dialognya, lakon Ayesha mengutip filosofi cinta dari Sujiwo Tejo, “Kamu bisa mencintai siapa saja, tapi tidak bisa menikahi siapa saja,”menggambarkan paradoks tak berujung yang harus mereka hadapi. Bahkan di akhir cerita, mereka
hanya dapat bersatu dalam dimensi imajinasi yang digambarkan melalui simbol Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya.
Sejak diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, regulasi mengenai pernikahan terfokus pada pengaturan usia minimal untuk menikah demi melindungi hak-hak anak dan mengatasi permasalahan perkawinan dini. Namun, aturan ini tetap mengabaikan isu pernikahan beda agama. Akibatnya, banyak pasangan berbeda agama di Indonesia yang masih menghadapi hambatan administratif dan sosial, sehingga beberapa terpaksa menikah di luar negeri atau berpindah agama demi memenuhi syarat hukum yang sifatnya abu-abu.
Totenk menyoroti lemahnya respons negara terhadap keberagaman, identitas yang menjadi ciri khas Indonesia akibat ketiadaan regulasi terkait pernikahan beda agama. “Tidak ada UU yang mengatur pernikahan beda agama, meskipun pasangan (tersebut) memiliki niat baik untuk hidup bersama," tegasnya. Ketidakpastian hukum ini memaksa pasangan berbeda agama menghadapi dilema yang kompleks. Selain aspek hukum, isu ini turut memicu tantangan sosial berupa stigma dan pelabelan yang sering kali menjadi hambatan besar dalam memperoleh restu pernikahan.
Pementasan ini tidak hanya mencermikan realitas, tetapi juga merupakan bentuk tuntutan untuk mendesak pembaruan hukum yang lebih inklusif dan menjunjung keberagaman. Akhir cerita, di mana Limbo dan Ayesha hanya dapat bersatu dalam dimensi imajinasi, menyoroti keterbatasan aturan manusia terhadap cinta yang sejatinya bersifat universal. Lebih dari sekadar fiksi, kisah mereka merepresentasikan realitas pahit pasangan berbeda agama di Indonesia yang terus mempertanyakan, “Sampai kapan cinta harus tunduk pada ketidaksempurnaan hukum manusia?”
Referensi:
Pemerintah Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974
Pemerintah Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/122740/uu-no-16-tahun-2019
Penulis: Allyssa Nur Shanty dan Sakha Ruhan H
Editor: Aveny Raisa
TAG: #demokrasi #event #gagasan #hukum