» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Review Film "Menolak Diam"
23 Mei 2020 | Pop Culture | Dibaca 5059 kali
Sumber: Review "Film Menolak Diam" Foto: Youtube/Transparency International Indonesia
Film pendek yang berdurasi 41 menit ini adalah karya kolaborasi dari TII (Transparency International Indonesia) dan Night Bus Pictures pada tahun 2017. Kisah ini terinsipirasi dari kisah nyata perjuangan Dermawan Bakrie yang dulunya merupakan pelajar SMA Negeri di Solo. Ia berani membasmi tindak kejahatan korupsi di sekolahnya meski banyak risiko yang dihadapi. Film ini disutradarai oleh Emil Heradi. Dadang Trisasongko sebagai eksekutif produser dan Darius Sinathrya sebagai prosuder. Film ini sering juga dijadikan sebagai bahan diskusi terbuka di berbagai acara.

retorika.id- Dibintangi oleh remaja-remaja yang cukup berperan baik dalam film ini, membuat film terlihat sangat nyata. Apalagi ditunjang dengan sinematografi yang kuat. Diceritakan tentang seorang anak bernama Alif yang merupakan siswa SMA kelas XII di sekolah terbaik yang ada di Jogjakarta. Dulunya, ia adalah mantan ketua OSIS di sekolahnya, namun, setelah jabatannya berakhir ia menemukan sejumlah kejanggalan dalam pengelolaan keuangan di sekolah. Kisah ini bermula dari Alif yang melihat selebaran pengumuman di majalah dinding sekolah, dimana dalam selebaran itu tertulis bahwa tidak akan ada wisuda dalam kelulusan kelas III nanti. Padahal ia dan satu angkatannya sudah melakukan iuran tiap bulan.

Pada mulanya, Alif mengajak teman akrabnya Satria untuk menguak kebenaran hal tersebut. Alif, Satria, dan Bondan (ketua OSIS tahun berikutnya) hendak menemui kepala sekolah di ruang guru. Hal itu tidak berjalan mulus karena menurut Pak Ridwan (guru BP), kepala sekolah sedang tidak ada di tempat. Saat pertemuan itulah Alif beserta teman-temannya juga melihat Nisa yang sedang protes kepada Pak Ridwan mengenai laporan dihilangkannya dana perlombaan robotic tingkat nasional yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh pihak wakil Kepala sekolah. Namun, mereka semua tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.

Setelah kejadian tersebut,


Alif tidak menyerah. Menurutnya, hal itu tidak bisa dibiarkan.  Namun, sahabatnya Satria justru sebaliknya, ia tidak begitu peduli mengenai ketiadaan wisuda tersebut. Sebab menurut Satria, saat ini yang harus mereka fokusi adalah ujian-ujian kelulusan yang tinggal 2 minggu lagi.

Meskipun tidak mendapat dukungan dari sahabatnya, Alif tetap melanjutkan perjuangannya, ia pun bekerjasama dengan Nisa untuk mencari bukti-bukti penggelapan uang tersebut. Semakin mencari bukti, ia makin menyadari bahwa masalah ini sangat serius bahkan dirinya menyesal karena tidak menyadari hal tersebut semenjak dirinya masih menjabat sebagai Ketua OSIS.

Kawannya pun bertambah dengan hadirnya Dito yang merupakan anak dari salah satu donator terbesar di sekolahnya. Ayahnya juga termasuk penyumbang dana komputer untuk pengadaan Ujian Nasional. Padahal, dalam data laporan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dana itu sama sekali tidak direalisasikan.

Dari situlah mereka membuat aksi perlawanan dengan menempel selebaran di beberapa tempat dengan tujuan menyadarkan teman-temannya. Mereka juga turut mencari alumni-alumni sukses yang mau membantu mereka. Bahkan mereka menggunakan cara nekat untuk mencari bukti-bukti yang lebih kuat agar kasus tersebut diliput oleh media. Namun, hal itu justru menjadi boomerang bagi mereka.

Dengan alur yang bergitu runtut dan jelas, membuat film ini mudah dipahami meskipun permasalahan yang dihadirkan sangat kompleks. Sang sutradara juga sangat baik dalam memadukan segi cerita maupun sound tambahan yang dapat membangun suasana. Di akhir film, juga diberikan soundtrack berjudul Lets Go yang membuat perasaan kita menggebu-gebu setelah melihat perjuangan Alif. Setiap dialog antar pemerannya juga selalu memberikan makna, baik tersirat maupun tersurat.

Dialog menarik bagi saya adalah saat Alif dan Bondan bertemu dengan alumni sukses mereka.

“Dek Alif dan dek Bondan ini kan masih muda, masih bisa idealis, tapi nanti kalau besar sudah dapet uang, ada hal-hal yang nggak bisa kita hindari. Mau nggak mau kita harus kompromi,” ucap alumni tersebut.

“Bahkan kompromi sama setan Pak?” tanya Alif dengan sangat serius

“Sekalipun kompromi dengan setan.”

“Kalau memang begitu konsekuensinya, Bapak doakan saja, biar saya nggak pernah tua Pak.”

Meskipun begitu, bahasa yang digunakan dalam film ini bisa terbilang campur, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Namun, translate yang diberikan adalah bahasa internasional yakni, bahasa Inggris. Orang yang tidak mengerti bahasa Jawa ataupun risih dengan penggunaan logat Jawa akan merasa kurang nyaman.

Walaupun film ini berdurasi tidak panjang, film ini banyak memberikan pelajaran bagi penontonnya. Mulai dari seorang pelajar yang harus berpikir kritis, bertanggungjawab, berani menguak kebenaran sekalipun itu adalah kesalahan orang dewasa, berpikir jangka panjang, tentang persahabatan, dll.

Pelajaran tersebut juga ada untuk orang tua yang seharusnya mendukung anaknya, tidak menyelewengkan kekuasaan yang mereka miliki, mengerti sebab-akibat dari tindakan sang anak, juga turut mendewasakan mereka. Target dari pesan moral ini, sepertinya memang lebih tertuju kepada pejabat-pejabat negeri ini atau orang-orang egois yang mengambil keuntungan dari rakyat. 

Meskipun banyak kritik negatif tentang sikap peran dari tokoh-tokoh remaja yang ada di dalam cerita kepada gurunya. Hal itu justru adalah bentuk ekspresi emosi yang mengunggah penonton. Saya pribadi masih mewajari sikap Alif. Ia tegas dan berani, bahkan terbilang sopan dalam melayangkan sindiran. Ia sangat pintar bersilat lidah bahkan mengontrol emosinya.

Lalu, dengan hukuman berat yang mereka terima. Apakah mereka berhasil menguak kebenaran tersebut? Meski semua orang tidak mendukungnya? Atau justru mereka memilih berhenti? Segera tonton film ini, untuk membuka kembali hati nuranimu. Bahwa yang salah tidak boleh didiamkan.

 

Penulis: Aisyah Amira Wakang


TAG#aspirasi  #demokrasi  #film  #pemerintahan