
Beberapa waktu lalu sebuah survei menunjukkan Indonesia sebagai masyarakat yang paling percaya tuhan. Hal tersebut memang sejalan dengan identitas bangsa yang tertuang dalam sila pertama Pancasila. Akan tetapi, dinamika pluralitas masyarakatnya juga menunjukkan intensitas konflik dan sensitivitas isu agama. Problem diskriminasi dan persekusi jadi persoalan. Masyarakatnya memang penganut agama, tapi apakah benar-benar bertuhan?
Retorika.id - Indonesia mendapat ‘penghargaan’ sebagai masyarakat dengan kepercayaan pada tuhan paling tinggi sedunia. Survei tersebut menjadikan Indonesia di urutan pertama dari 23 negara dengan perolehan 93%. Data diambil dari responden usia 16-64 tahun oleh lembaga survei internasional, Statistic Research Departmenttahun 2011 dan diunggah kembali pada 25 Juli lalu melalui akun Twitter World of Statistics. ‘Penghargaan’ ini memang cocok disematkan pada Indonesia mengingat sila pertama Pancasila yang menghendaki warga negaranya untuk mempercayai keberadaan Tuhan. Secara historis dan kultural, konsep ketuhanan sudah dipakai dan diyakini oleh masing-masing kelompok agama.
Tuhan dan Agama
Indonesia merupakan masyarakat pluralis. Tidak hanya suku bangsa, diversifikasi masyarakatnya juga terbagi dalam kelompok agama. Ikatan inilah yang menjadi salah satu basis masyarakatnya untuk bertuhan. Kepercayaan pada tuhan diilhami oleh masing-masing agama melalui pengalaman secara fisik maupun batin yang bersumber pada wahyu.
Sementara itu, pemikiran Barat tentang konsep ketuhanan berangkat melalui teori Evolusionisme yang dikemukakan oleh Max Muller dengan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, politeisme, henoteisme, dan monoteisme. Konsep ketuhanan berdasarkan agama pun berbeda. Sebagai contoh, Islam meyakini Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Surah Al Ikhlas: 1-4), agama Kristen mewujudkannya melalui konsep Trinitas, dan agama Buddha mengkonsepsikannya dalam Sang Buddha Gauthama.
Konsep ketuhanan tersebut dapat dipahami secara linear dengan mengartikan bahwa Tuhan sejatinya adalah zat yang menjadi patokan dan tujuan akhir serta berperan penting dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, tuhan itu satu. Hanya ada satu tuhan yang kemudian menjadi penuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Agama menjadi suatu pandangan dan media agar manusia mendekatkan diri dan mengaktualisasi yang diyakini. Secara sosiologis, agama diartikan dari fungsi sosialnya sebagai sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan kelompok sosial (Saragih 2017). Masyarakat pluralis juga membagi kelompoknya berbasis agama berdasarkan apa yang diyakini dan caranya meyakini.
Masyarakat Beragama yang Tak Bertuhan
dir="ltr">Konsep tuhan dan agama sejatinya tak bisa dipisahkan. Artinya, agama menjadi perantara manusia menuju tuhan. Selain ‘menuhankan tuhan’, agama juga mengajarkan untuk ‘memanusiakan manusia’. Semua agama menghargai manusia. Semua agama juga mengajarkan pentingnya toleransi untuk mengurangi perbedaan atau konflik.
Akan tetapi, konflik merupakan hal yang setua usia manusia dan menjadi bagian dari sejarah peradabannya. Konflik berbasis kelompok bukan hal baru. Konflik beragama dalam masyarakat majemuk di Indonesia juga demikian. Namun, sebagai masyarakat yang paling ‘percaya’ tuhan, mengapa kekerasan dan diskriminasi umat beragama masih banyak terjadi di Indonesia? Bagaimana manusia memanifestasikan ajaran tuhannya?
Indonesia mewajibkan penduduknya untuk memeluk agama, sebagai wujud implementasi sila pertama Pancasila. Negara ini juga menyematkan identitas agama pada kartu tanda penduduknya. Benar, identitas. Problem menariknya adalah di masyarakat yang meyakini tuhan, agama adalah identitas. Sebagian mengaku beragama dan percaya tuhan tapi tidak serta merta memahami konsep ketuhanan. Sebagian lagi juga mengaku yang ‘paling agamis’ dengan membawa identitasnya untuk justifikasi segala tindakan fanatisme/chauvinisme hingga yang terburuk, terorisme. Akan tetapi, bukan tidak mungkin dijumpai figur agamis yang mampu mempersatukan umat, sebagaimana Gus Dur yang menengahi polarisasi politik pasca Reformasi.
Konflik, Diskriminasi, dan Eksklusivisme Agama
Berbicara tentang konflik horizontal di Indonesia, penelitian Rumagit (2013) menyebutkan beberapa faktor penyebab munculnya kekerasan dan diskriminasi berdasarkan kelompok agama seperti perbedaan pemahaman dalam nilai-nilai, perbedaan kewajiban beragama, idealisme hak umat beragama, ajaran, pandangan, hingga perbedaan suku dan ras pemeluk agama yang mempengaruhi kebudayaannya.
Berdasarkan riset yang dipublikasikan oleh Bulletin of Indonesian Economic Studies oleh Sumaktoyo (2020), diskriminasi dalam beragama di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia Islam dan memburuk pasca kejatuhan rezim Soeharto. Hal tersebut salah satunya dipicu oleh kemunculan ormas-ormas radikal yang melakukan diskriminasi sosial lewat aksi persekusi dan kemungkinan menyebarkan ancaman elektoral pada politisi untuk mengaktualisasi kepentingan mereka.
Persekusi merupakan buah dari eksklusivisme suatu agama di Indonesia yang membenarkan tindakan diskriminatif pada pihak tertentu. Di Indonesia, hal ini merupakan problem laten mengingat sifat kemajemukan masyarakatnya. Akan tetapi, penelitian Khoiri dan Windariana (2019) menyebutkan bahwa persekusi berdalih agama merupakan hasil rekayasa hasutan-keterhasutan serta upaya pemurnian dari sesuatu yang dianggap menyimpang daripada sebagai aksi bela agama.
Pelaku persekusi meliputi perseorangan dan kelompok ormas, tidak hanya kalangan ekstremis tapi juga modernis-moderat serta yang mengklaim sebagai golongan anti garis keras. Contoh kasus persekusi di Indonesia meliputi teror dan intimidasi yang menimpa seorang dokter di Sumatera Barat, Fiera Lovita tahun 2017 oleh seseorang yang mengaku anggota ormas; persekusi Ustadz Abdul Somad oleh beberapa ormas saat hendak berdakwah; hingga pembubaran kajian Khalid Basalamah di Sidoarjo oleh Gerakan Pemuda Ansor.
Kembali pada persoalan diskriminasi, terdapat beberapa kategorisasi seperti diskriminasi negara (state discrimination), legislasi agama (religious legislation), dan diskriminasi sosial (societal discrimination). Diskriminasi negara mencakup peraturan formal yang mendiskriminasi agama minoritas seperti pada kasus tidak adanya gereja di Kecamatan Maja sehingga umat Kristen dilarang ibadah Natal di Ruko tahun lalu. Kasus lainnya seperti perbedaan harga sewa makam di Bogor yang viral beberapa waktu lalu karena untuk non-muslim harganya jauh di atas penyewa muslim dan naik tiga kali lipat.
Kedua, legislasi agama yang mengacu pada produk hukum yang tidak spesifik menyasar agama minoritas tapi tetap bertujuan mengatur moral dan kehidupan beragama. Meski Indonesia tidak mengatur tentang pakaian umat beragama, penyelewengan tetap terjadi di beberapa kasus seperti pada tahun 2021 seorang siswi SMK Negeri 2 padang dipanggil ke sekolah sebab tidak mengenakan hijab padahal dirinya seorang non-muslim. Problem ‘menghijabi’ ruang publik jadi polemik yang jelas-jelas berbeda dengan konotasi berhijab di ruang publik.
Terakhir, diskriminasi sosial berupa pembatasan tertentu oleh masyarakat pada kelompok tertentu seperti stigma negatif dan pengasingan pada kelompok penghayat kepercayaan yang merugikan kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
Apapun Agamanya, Tuhan Mengajarkan Kebaikan
Bertuhan dan beragama merupakan dua hal yang berbeda tetapi saling berhubungan dan merujuk pada akhir yang sama, kebaikan dan kedamaian. Konflik, kekerasan, dan diskriminasi berbasis agama merupakan problem laten yang sifatnya struktural di Indonesia. Perlu adanya pendekatan holistik dan sistemik untuk mengatasi permasalahan yang menjadi isu sensitif di negara ini
Setiap agama menghargai kehidupan dan manusia, begitu juga dengan eksistensi perbedaan dan bagaimana menanggapinya. Meski tiap-tiap agama memiliki konsep ketuhanan berbeda, namun secara umum masyarakat memahami tuhan sebagai kekuatan yang lebih tinggi yang mengatur segala sesuatunya.
Oleh karena itu, manusia semestinya menaati peraturan tersebut dengan maksud menjaga keteraturan. Setidaknya itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Survei di atas hendaknya juga menjadi refleksi bagi Indonesia untuk lebih ‘menganggap’ keberadaan dan peran ketuhanan dalam hidup bermasyarakat. Indonesia dikenal dunia sebagai masyarakat yang bertuhan, untuk itu perlu adanya realisasi, bukan sekedar identitas diri.
Referensi:
Khoiri, Ahmad, dan Rofiatul Windariana, 2019. “Islam dan Kekerasan: Perspektif Alquran tentang Persekusi di Indonesia”, Islamuna: Jurnal Studi Islam, 6(1): 19-43.
Rumagit, Stev Koresy, 2013. “Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia”, Lex Administratum, 1(2): 56-64.
Saragih, Erman S., 2017. “Analisis dan Makna Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Konteks Pluralisme Agama di Indonesia”, Jurnal Teologi “Cultivation”, 2(1): 290-303.
Sumaktoyo, Nathanael Gratias, 2020. “Riset: Diskriminasi dalam Beragama di Indonesia Salah Satu yang Tertinggi di Dunia Islam” [daring], dalam https://theconversation.com/riset-diskriminasi-dalam-beragama-di-indonesia-salah-satu-yang-tertinggi-di-dunia-islam-139218 [diakses pada 2 Agustus 2023].
Penulis: Dewi Rachmawati
Editor: Jingga Ramadhintya
TAG: #agama #aspirasi #humaniora #