» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Ketika Mahasiswa Mengkritik Pemerintah, Bagaimana Baiknya?
28 Juli 2023 | Opini | Dibaca 605 kali
Ketika Mahasiswa Mengkritik Pemerintah, Bagaimana Baiknya? : - Foto: Pexels.com/Markus Spiske
Mahasiswa lekat dengan ilustrasi sekumpulan orang yang rajin melakukan kritik kepada pemerintah. Namun, bagaimana kritik dari mahasiswa dapat tersampaikan dengan baik kepada pemerintah?

Retorika.id- Setiap warga negara memiliki hak dalam menyuarakan pendapatnya. Kemajuan teknologi membawa hak demokrasi semakin merata untuk tiap individu. Bermodal gawai di genggaman tangan dan akses internet, kini mayoritas orang dapat mengekspresikan pikirannya tentang banyak hal. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2022, mahasiswa menjadi salah satu kontributor terbesar dalam berselancar di dunia maya. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai penggerak suara publik yang utamanya dilakukan lewat media sosial. 

Baru-baru ini muncul berbagai cara untuk menggunakan hak demokrasi mahasiswa di media sosial. Sebut saja cara yang dipilih BEM UI dengan idenya yang nakal dan berani, mengedit wajah sejumlah tokoh pemerintah dengan tubuh hewan. Memang bukan pertama kali hal serupa dilakukan BEM UI maupun organisasi mahasiswa sejenis. Namun, jalan kritik yang ditempuh BEM UI nyatanya cukup efektif untuk turut memantik kritik dari berbagai kalangan, bahkan sempat menduduki trending Twitter saat pertama kali publikasi. 

Sebagian orang berfokus pada pesan yang ingin disampaikan BEM UI lewat postingan tersebut, sisanya mengomentari bagaimana editan tokoh pemerintah itu tidak selayaknya dibuat sedemikian rupa. Contoh lain dilakukan oleh BEM UNAIR, isi kontennya serupa, sama-sama menampilkan karikatur seorang tokoh. Namun kali ini, rektor UNAIR yang jadi sasarannya. Menganut tren ‘pelan-pelan pak sopir’, postingan BEM UNAIR justru dinilai tidak memuat substansi yang jelas karena tidak diikuti data serta fakta untuk menguatkan argumen yang disampaikan.

Lantas, bagaimana hendaknya cara mahasiswa dalam menyampaikan kritik? Sejatinya, banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengeluarkan unek-unek mahasiswa. Salah satunya dapat melalui aksi demonstrasi yang selama ini biasa dilakukan mahasiswa untuk berdialog dengan wakil pemerintah, atau lewat karya seni seperti yang dilakukan warga Tambak Bayan untuk mempertahankan tempat tinggalnya.

Cara-cara tersebut adalah sedikit contoh dari bentuk komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Namun, suatu komunikasi tentu mengharapkan timbal balik. Jika ada ketimpangan pengungkapan informasi di antara salah satu pihak, hal ini akan menyebabkan penurunan rasa percaya satu sama lain. Pemerintah sebagai wakil rakyat yang mendapat kritik atas kinerjanya, harus mampu mengadvokasi unek-unek rakyatnya dengan baik. Jika pada proses ini tidak dilakukan pemerintah dengan baik, maka yang terjadi adalah munculnya beragam cara mengkritik yang dinilai agresif. 

Contohnya seperti yang dilakukan BEM UI atau yang baru-baru ini sempat viral oleh Bima, yang mana ia tidak segan menggunakan pilihan kata yang dinilai frontal kepada pemerintah Provinsi Lampung. Bentuk kritik semacam ini muncul sejalan dengan tidak dipertimbangkannya suara publik di parlemen. 

Jika melihat aksi kritik pemerintah di negara lain, Prancis adalah


salah satu negara yang dapat menjadi contoh. Dimulai dari sejarah lepasnya Prancis dari penindasan Raja Louis XVI dan istrinya, Marie Antoinette, menjadikan titik awal Prancis sebagai negara dengan ‘warga negara yang hobi demonstrasi’. Perjuangan panjang warga Prancis dapat dilihat dari keberhasilannya membatalkan sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah. Mulai dari kenaikan gaji pekerja secara menyeluruh dan pemberian hak untuk berserikat pada 1936, serta pengurangan jam kerja dari 48 jam menjadi 40 jam (dikenal dengan congés payés) (Reed, 2016). 

Baru-baru ini, warga Prancis bersama mahasiswa bahkan siswa menengah atas, melakukan penolakan mengenai wacana usia pensiun yang diperpanjang oleh Presiden Macron. Lebih dari satu juta orang di seluruh Prancis melakukan aksi demo dan mogok kerja karena hal ini. Golongan terbesar pendemo adalah serikat pekerja, guru, dan berbagai elemen masyarakat lain termasuk mahasiswa. Bahkan dalam hal ini, lebih dari 90.000 pelajar ikut berdemonstrasi, kampus dan sekolah menengah atas diliburkan paksa (Ataman, 2023).

Dalam beberapa keberhasilan, Prancis mengubah kebijakan pemerintah berskala besar, ada kesamaan motif dalam mereka menyuarakan aksi protes. Di Prancis, serikat pekerja tumbuh menjadi kelompok besar yang mengakibatkan kuantitas massa saat demonstrasi bukan menjadi masalah besar. Warga Prancis juga tidak ragu untuk melakukan aksi pemogokan dalam waktu lama dalam mendukung aksi protes terhadap pemerintah. 

Prancis menjadi salah satu negara yang sering melakukan aksi demonstrasi. Bagi Prancis, turun ke jalan dan melakukan unjuk rasa adalah cara untuk berdialog dengan pemerintah. Sepanjang 2018-2022 terjadi sepuluh demo skala besar, yang salah satunya pernah diikuti 160 ribu orang dari seluruh penjuru Prancis karena menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan kartu vaksin untuk mengakses pelayanan publik (Wirachmi, 2022). Bukan tanpa alasan, demonstrasi menjadi cara yang kemungkinan besar selalu dipilih warga Prancis, sebab hampir dari berbagai elemen masyarakat kompak untuk turut serta melakukan hal yang sama.

Cara berdialog dengan pemerintah oleh warga Prancis dengan yang dilakukan warga Indonesia cukup memiliki perbedaan. Walaupun aksi demonstrasi juga masih terjadi di Indonesia, tapi jumlahnya tidak sebanyak di Prancis. Indonesia kini sedang gencar melakukan kritik melalui digitalisasi.

Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) dan Amnesty International, jumlah kasus terkait UU ITE sebanyak 233 kasus selama periode pertama Presiden Joko Widodo (2014-2019). Lalu meningkat menjadi 241 orang pada periode kedua di tahun 2020, yang mana 82 diantaranya dituduh melakukan penghinaan kepada presiden (Hermawan, 2020). Melalui data tersebut, dapat dilihat bahwa aktivitas kritik secara daring gencar dilakukan dan tidak sedikit yang dijerat UU ITE. 

Fakta akhir-akhir ini, juga turut menunjukkan bahwa banyak segelintir problematika yang apabila tanpa bantuan dunia maya tidak akan digubris pemerintah, dikenal dengan istilah "no viral no justice". Sebut saja kebobrokan kerja Provinsi Lampung yang setelah viral baru pejabat pemerintahnya kalang kabut, lalu kasus aniaya yang dilakukan anak petinggi pajak yang malah merentet ke dugaan korupsi akibat viral pamer harta di medsos. Maka, bukan tanpa sebab jika kritik secara daring lebih menjadi pilihan bagi warga Indonesia. Hanya lewat cuitan massal di medsos, pejabat dengan pangkat apapun bisa dibuat kebakaran jenggot.

Namun, apakah aksi demonstrasi dan pemogokan akan terus menjadi solusi ketika masyarakat menemui benturan dengan pemerintah? Lalu, apakah kritik secara daring juga dapat menjadi solusi pamungkas untuk sedikit demi sedikit menggantikan aksi demonstrasi dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah? Banyak hal dikorbankan jika aksi demonstrasi dan pemogokan terlalu lama dilakukan, kestabilan ekonomi adalah salah satunya. 

Sama halnya dengan kritik secara daring yang kini arah geraknya dibatasi UU ITE. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di sini peran mahasiswa sebagai ‘perpanjangan lidah rakyat’ dipertaruhkan. Bagaimana aksi kritik yang efektif tanpa harus menimbulkan kerugian materi dan non-materi yang berlebihan?

Pertama, kritik harus dilakukan dengan tepat sasaran. Perlunya pemahaman mendalam terhadap masalah yang dihadapi dan siapa-siapa saja yang seharusnya bertanggung jawab menjadi hal esensial bagi pengkritik. Jangan sampai menyampaikan kritik kepada pihak yang keliru dan berujung blunder. Susun kritik yang ingin disampaikan dengan komunikasi yang terarah, terstruktur, dan substansial. Sebagai mahasiswa, mengkaji isu sebelum turun ke medan komunikasi adalah suatu kewajiban. Namun, sebagai pengkritik, keselamatan diri bisa jadi dipertaruhkan. Maka dari itu, pertimbangkan untuk menyampaikan kritik melalui pihak yang turut dapat melindungi identitas pengkritik, salah satunya adalah ombudsman.

Melalui ombudsman, warga Indonesia memiliki hak untuk bisa mengkritik atau melaporkan kinerja pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui langkah administrasi yang berlaku. Apabila dirasa kritik tetap tidak diadvokasi dengan baik, berkomunikasi secara langsung dengan wakil pemerintah yang bertanggung jawab adalah jalan terakhir yang dapat ditempuh. Biasanya cara ini dilakukan melalui aksi demonstrasi ke gedung-gedung pemerintahan.

Sebagai mahasiswa, baik cara mengkritik dan substansi kritik adalah kedua hal yang tidak dapat dipilih, melainkan harus dipertahankan kedua-duanya. Bentuk kritik yang agresif bukan tidak boleh dilakukan, tetapi sebaiknya dihindari. Tidak harus agresif untuk menjadi didengar, tetapi cara mengkritik yang kreatif dan efektif lah yang sebenarnya dibutuhkan. Menurut Karman (2022), pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, kritik harus membangun, bukannya secara subyektif menyerang personal seorang pejabat semata. 

Sasarannya adalah kebijakan publik yang direncanakan secara kurang matang, maladministrasi, dan korupsi terselubung. Selain berfokus pada penyampaian kritik, satu hal yang sering dilupakan seiring waktu adalah pengawalan isu. Meninjau secara konsisten, apakah masukan-masukan dari publik benar-benar didengarkan dengan baik dan dipertimbangkan. Sisanya tinggal berharap kepada sikap pemerintah, untuk tetap berlapang dada menerima kritik apapun yang disampaikan masyarakat dan tidak hanya pura-pura pasang telinga tanpa tindak lanjut yang nyata.

 

 

Referensi:

APJII. (2022). APJII di Indonesia Digital Outloook 2022. Apjii.Com. https://apjii.or.id/berita/d/apjii-di-indonesia-digital-outloook-2022_857 

Ataman, J. (2023). Striking French workers lead 1 million people in protest over plans to raise retirement age. CNN.Com. https://edition.cnn.com/2023/01/19/business/france-strikes-retirement-age-protest/index.html

Hermawan, A. (2020). Indonesia’s Shrinking Civic Space for Protests and Digital Activism. Carnegieendowment.Org. https://carnegieendowment.org/2020/11/17/indonesia-s-shrinking-civic-space-for-protests-and-digital-activism-pub-83250 

Karman, Y. (2022). Kritik dan Demokrasi. Kompas.Id. https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/09/kritik-dan-demokrasi 

Reed, J. (2016). Why do the French protest so much? You asked Google – here’s the answer. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/feb/10/why-do-the-french-protest-so-much-google 

Wirachmi, A. (2022). 4 Negara yang Paling Sering Demonstrasi, Amerika Serikat Juaranya. Okezone.Com. https://news.okezone.com/read/2022/04/12/18/2577741/4-negara-yang-paling-sering-demonstrasi-amerika-serikat-juaranya?page=2 

 

Penulis: Tim Litbang Retorika

Editor: Marsanda Lintang

 


TAG#aspirasi  #demokrasi  #demonstrasi  #humaniora