» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Geliat Kembalinya Gang Dolly dan Kemelut Pasca Pembubaran
01 Juli 2022 | Opini | Dibaca 1551 kali
Geliat Kembalinya Gang Dolly dan Kemelut Pasca Pembubaran : - Foto: bombastis.com
Delapan tahun sudah identitas Gang Dolly sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara hilang seiring dengan pembubaran yang dilakukan pemerintah kota Surabaya 2014 lalu. Namun,tersirat kabar bahwa gema prostitusi kembali bergaung di dalamnya. Masalah sosial yang tersisa selepas Gang Dolly berhenti beroperasi masih menghantui warganya.

Retorika-id. Sewindu tidak beroperasi pasca pembubaran yang dilakukan pada tahun 2014 lalu, gema prostitusi mulai terdengar kembali di jalan-jalan yang diapit barisan bangunan bekas lokalisasi Gang Dolly. Tempat yang dulu pernah mendapat predikat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, kini kepayahan dalam menopang ekonomi warganya. Mungkin hal ini pula lah yang menjadi salah satu penyebab menyeruaknya kabar bahwa kegiatan prostitusi mulai kembali berjalan.

Pembubaran Lokalisasi Dolly dan Jarak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, Jawa Timur, resmi dilakukan pada 18 Juni 2014 lalu. Pembubaran ini menyisakan beragam pelik yang masih semrawut. Pemberhentian operasi Gang Dolly terjadi setelah melewati pro dan kontra yang cukup panjang. Banyak warga yang menolak dengan dalih sumber mata pencaharian mereka bergantung pada ‘pengunjung’ Gang Dolly. Hal ini tak mengherankan, sebab Gang Dolly bukan hanya berisikan ratusan melainkan 1.449 PSK dan 313 mucikari. Jumlah yang tidak sedikit ini tentu saja membuat proses pembubaran menjadi lebih rumit. Akan dibawa ke mana mereka semua?

Saat Ibu Risma, walikota Surabaya yang menjabat kala itu, bersikeras untuk membubarkan Lokalisasi Dolly. Ia dan perangkat pemerintahan telah menciptakan sejumlah strategi guna mengantisipasi masalah yang pasti akan timbul dengan hilangnya identitas ‘Gang Dolly’ sebagai tempat hiburan malam yang sudah banyak dikenal orang. Pemerintah menyiapkan beberapa


langkah, di antaranya memberi sosialisasi dan melakukan pendekatan berkala kepada warga di lokalisasi dan pemerintah juga membeli wisma bekas lokalisasi milik warga untuk kemudian dialihfungsikan menjadi learning center dan pusat pemberdayaan bagi anak-anak dan warga Lokalisasi Dolly.

Selain dua hal di atas, pemerintah memberi pelatihan sebagai bekal warga untuk memulai usaha serta membentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) di berbagai bidang yang sekiranya dapat dilakoni warga pasca Lokalisasi Dolly dibubarkan. Beberapa usaha yang digalakkan antara lain pembuatan sepatu, tempe “Bang Jarwo”, batik “Putat Jaya”, konveksi, sablon, bandeng, manik-manik, keripik singkong Samijaya, minyak rambut, atau minuman. Namun, upaya tersebut rupanya sulit untuk diimplementasikan dalam jangka panjang untuk mencegah kembalinya prostitusi di Gang Dolly.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan hantaman pandemi yang membuat warga sulit untuk mendistribusikan dan memasarkan produk usaha mereka. Selain itu, terbatasnya keterampilan warga juga menjadi salah satu alasan untuk kembali menggantungkan sumber mata pencaharian pada gemerlap prostitusi di Gang Dolly. Pasalnya, masyarakat yang selama ini mencari nafkah bukan hanya para penjaja seks komersial dan mucikari, tetapi juga profesi lain seperti salon, karaoke, binatu cuci baju, warung makan dan warung kopi, tukang parkir, tukang becak dan masih banyak lagi. Warga sempat bernegosiasi dengan pemerintah kala itu agar pemerintah tidak membubarkan tempat seperti karaoke dan hanya membubarkan lokalisasi atau praktik prostitusi saja. Namun, pemerintah menolak ide tersebut dan benar-benar menutup semua aktivitas ekonomi yang berada dalam Gang Dolly.

 

Konsekuensi dari pembubaran ini adalah tersisanya permasalahan sosial yang melingkupi warga di dalamnya. Perubahan yang signifikan dalam bidang ekonomi membuat warga merasa kebingungan dan kalang kabut. Meski pemerintah sudah mengadakan berbagai macam bantuan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tak serta merta pelik yang ada terselesaikan dengan mudah. Masih banyak pengangguran yang tidak terserap lapangan pekerjaan. Tak semua warga mampu beradaptasi dalam dunia industri yang seringkali tak hanya membutuhkan keahlian namun juga kualitas dan kuantitas.

 

Setelah 8 tahun berhenti beroperasi, bibit prostitusi kembali bersemi. Meski tentu saja tidak dilakukan secara eksplisit dan terang-terangan, namun hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Gang Dolly belum sepenuhnya bebas dari stigma yang dahulu membelenggu. Di malam hari, diam-diam masih terlihat wanita dengan pulasan rias wajah dan pakaian mini, lamat-lamat membuat kita nostalgia pada hingar bingar Gang Dolly yang masyhur beberapa waktu lampau.

 

Abstainnya Pemerintah dalam Pemberdayaan Lokalisasi Pasca Pembubaran

Prostitusi adalah situasi yang kompleks dan sistemik. Masyarakat yang memilih untuk berkecimpung dalam bidang ini tidak dapat secara normatif dikategorikan benar dan salah. Kompleksitas yang terkandung di dalamnya tak bisa dimaknai hanya dengan kebijakan yang tidak dievaluasi dan dimonitoring secara berkala dan seksama.

Ketika pemerintah memutuskan untuk benar-benar memberhentikan hingar bingar Gang Dolly sebagai lokalisasi, perlu dicermati bahwa setelahnya, pemerintah mesti terus memberdayakan dan mempertimbangkan kondisi masyarakat yang merasakan langsung dampak dari bubarnya Gang Dolly. Kembalinya bibit-bibit prostitusi dipicu oleh berkurangnya perhatian Pemkot Surabaya dalam melakukan pendampingan UMKM menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Risma.

Mulai abstainnya pemerintah dalam memantau dan mengimplementasikan kebijakan yang sebelumnya diekspektasikan membuat warga yang masih membutuhkan pembinaan dan pengarahan menjadi makin kelimpungan.

Akhir kata, masalah rumit yang melingkupi Gang Dolly tidak usai serentak dengan hilangnya identitas tempat itu sebagai lokalisasi. Justru jika tidak diatasi dan pemerintah menutup mata dengan realitas sosial yang ada, problematika baru akan muncul dalam aspek-aspek sosial dan ekonomi. Butuh sinergi dan kerja sama dari pemangku kebijakan serta masyarakat dalam menopang eksistensi bekas lokalisasi tersebut. Penulis berharap, pemerintah tidak bosan dan melupakan bekas lokalisasi ini, dukungan dan sokongan semestinya terus digalakkan agar kebijakan yang dibuat tidak sia-sia dan manis di awal belaka.

 

Penulis: Jingga Ramadhintya

Editor: Hanifa Keisha F


TAG#gagasan  #lingkungan  #pemerintahan  #sosial