» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Masih Pantaskah Mahasiswa Disebut Agent of Change?
25 Mei 2022 | Opini | Dibaca 1793 kali
Mahasiswa adalah pihak yang familiar dengan gerakan sosial dan aksi demonstrasi, untuk menuntut adanya perubahan. Penyematan gelar mahasiswa sebagai “agent of change” pun diberikan, bahkan terkesan diagung-agungkan. Tetapi apakah gelar tersebut masih pantas diberikan kepada mahasiswa?

retorika.id - Agent of change adalah sebuah gelar yang selalu melekat pada mahasiswa. Istilah ini seringkali terdengar di telinga mereka, bahkan sejak menjadi mahasiswa baru. Penyematan agent of change kepada mahasiswa sudah dilakukan, hingga terasa diglorifikasikan.

Hal ini, karena mahasiswa diharapkan mampu membantu masyarakat ke arah peradaban yang lebih baik. Mahasiswa sebagai agent of change juga seringkali meromantisasi gerakan-gerakan aktivisnya pada tahun 1998. Seakan ada rasa bangga dan tanggung jawab besar yang merasuki perjuangan mereka. Padahal gerakan mahasiswa sekarang dengan gerakan mahasiswa saat ini memiliki perbedaan yang siginifikan.

Namun, pertanyaan dasarnya adalah, apakah gelaragent of change masih pantas disematkan kepada mahasiswa? Oleh karena itu, Tim Litbang LPM Retorika mencoba menelusuri arah gerakan mahasiswa saat ini. Kami mencoba melihat berjalannya gerakan mahasiswa saat ini, dan bertanya kepada orang-orang yang berkaitan dengan hal ini.

Perbedaan Gerakan Mahasiswa Dahulu dan Sekarang

Gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa, baik di zaman dulu dan sekarang tentu memiliki latar belakang yang berbeda. Lalu, apa perbedaan yang melatar belakangi gerakan mahasiswa zaman dulu dengan mahasiswa zaman sekarang? 

Mahasiswa Menteri Politik dan kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Rifat Daulah menjelaskan, adanya perbedaan dalam isu atau kajian yang di bawa dalam aksi maupun perbedaan dalam hal kesatuan atau keterpaduan dalam menjalankan aksi.

“Gerakan mahasiswa juga kalau ditinjau dari lampau adalah berorientasi turun ke jalan orasi mengumpulkan massa” tuturnya saat dihubungi melalui Whatsapp.

Rifat juga membandingkan hal tersebut dengan apa yang terjadi saat ini, dimana gerakan mahasiswa saat ini lebih banyak berorientasi dalam banyak hal.

“Namun beriringan dengan itu gerakan mahasiswa pada akhirnya juga berorientasi dari segi intelektual misal dari pembuatan artikel, tulisan, pers mahasiswa juga termasuk” ungkapnya.

Menurut Rifat gerakan mahasiswa zaman dahulu, seperti pada tahun 1998 memiliki satu tujuan dan fokus utama yang melatarbelakanginya. Dimana semua elemen mahasiswa dan masyarakat saling mendukung dalam mewujudkan tujuan aksi pada saat itu, bahkan sampai elemen akar rumputnya. 

Menurutnya, gerakan yang ideal telah nampak


digambarkan pada zaman itu. Sementara gerakan mahasiswa pada zaman sekarang memiliki kekurangan dalam hal persatuan, baik antar mahasiswa itu sendiri dan kurangnya dukungan masyarakat.

“Kalau tinjauan dari jaman orba itu kan elemen semua-nya kan padu bahkan sampai akademisi. Mungkin sekarang gerakan mahasiswa cenderung kadang-kadang gitu kan, karena bagiku gerakan mahasiswa itu bersifat eksklusif dalam artian itu hanya untuk mahasiswa,” Jelasnya.

Alasan kurang solidnya gerakan mahasiswa di zaman sekarang, dijelaskan oleh Rifat karena banyaknya gerakan yang terpisah-pisah dari organisasi yang ada. Sebagai contoh BEM SI yang menandingi BEM Nusantara. Perpecahan yang demikian, pada akhirnya diinterpretasikan oleh masyarakat luas menjadi gerakan yang tidak solid dan tidak jelas, sehingga muncullah sentimental terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri.

Sementara, Akademisi Ilmu Politik Unair, Aribowo menyampaikan bahwa gerakan mahasiswa dulu dan sekarang hampir sama. Selain kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Mahasiswa menjadi kekuatan oposisi yang terkuat dalam negara.

“Namun, dalam kurun waktu tertentu, LSM tidak lagi aktif untuk mengontrol negara dan sekarang mereka lebih fokus pada kegiatan pemberdayaan masyarakat. Kemudian kekuatan oposisi negara juga ada pada media massa (dulunya). Namun, sekarang media mainstream lebih tunduk pada negara, contohnya adalah Kompas, CNN.” Jelasnya.

Gerakan Mahasiswa Dari Tahun 50an-90 an

Aribowo menjelaskan, tahun 50-70-an gerakan mahasiswa banyak dipengaruhi oleh organisasi eksternal seperti HMI, GMNI. Diantara periode tersebut, yakni 60-an, gerakan mahasiswa banyak dipengaruhi oleh konsep perdebatan antara marxisme dengan non-marxisme. Sedangkan di tahun 80-an, LSM mulai menguat sehingga kebanyakan mahasiswa ikut menjadi bagian dari LSM.

Gerakan mahasiswa mencapai puncaknya pada tahun 90-an, diiringi dengan menguatnya teori post modernisme yang memengaruhi pemikiran mahasiswa mejadi lebih kritis kepada negara. Kemunculan tokoh dari mahasiswa juga kurang menonjol karena lebih bersifat egaliter (hal ini berkaitan dengan teori postmodernisme).

“Pada tahun 90an, radikalisme gerakan mahasiswa juga banyak berasal dari kampus swasta (karena adanya kesenjangan antara kampus swasta dengan negeri), kemudian yang demo kebanyakan juga dari mahasiswa filsafat, sastra, seni, dll, Kalo dulu tahun 50-70 organisasi ekstra sangat berpengaruh, kalo tahun 90 intra yang berpengaruh,” ungkapnya.

Gerakan Mahasiswa Pasca Pandemi Covid-19

Aribowo berpendapat bahwa tidak dapat dipungkiri jika pandemi Covid -19 memengaruhi gerakan mahasiswa saat ini. Kekuatan negara yang tersentral kini menjadi kian melemah akibat pandemi. Sedangkan di masa pandemi kekuatan masyarakat makin melemah. 

Oleh karena itu, mahasiswa jadi kesulitan untuk mengontrol negara. Tekanan negara menjadi kuat dengan bantuan polisi dan tentara. Ia menambahkan bahwa oposisi di masa sekarang ini semakin melemah.

Sedangkan menurut Menteri Polstrat BEM FISIP, Rifat berpandangan bahwa setelah covid, arah gerakan mahasiswa bukan hanya turun ke jalan tetapi juga dibantu oleh teknologi seperti sosial media. Dengan adanya sosial media, gerakan dituntut untuk lebih kreatif.

“Pada akhirnya gerakan mahasiswa itu harus bisa kreatif harus bisa bervariabel, variabel nya itu apa, selain kita turun ke jalan ya kita harus juga mengencangkan gerakan itu di social media. Melalui apa? Yang pertama, bisa melalui instagram BEM. Biasanya kan kayak gitu, atau opsi yang di dalamnya itu kita bisa padu di situ dalam artian gak terbatas hanya melihat IG BEM kampus A kampus B hingga kampus Z ya melalui tagar di Twitter,” tandasnya

Rifat juga menambahkan bahwa di media sosial berbagai elemen masyarakat bercampur, sehingga semua elemen masyarakat juga dapat mengetahui atau mengikuti isu apa yang sedang ramai dibicarakan. Waktu mereka pun menjadi lebih fleksibel. Misalnya, saat hari H aksi mereka tidak bisa ikut karena ada aktivitas lain yang menghalangi mereka turun ke jalan. Maka dukungan bisa dilakukan melalui aktivisme digital, seperti memanfaatkan tagar-tagar di media sosial.

“Aktivisme digital pikirku itu adalah efektif ketika memang masif itu bagus, gerakan kita memang harus kreatif memanfaatkan ruang yang ada.” Jelasnya.

Semangat dan Tantangan Gerakan Mahasiswa Saat Ini

Menurut Rifat semangat mahasiswa dalam melakukan gerakan terutama setelah pandemi ini masih tinggi.

“Kalau ditanya semangat atau tidaknya, apalagi pasca Pandemi Covid gini, aku ga bisa menggeneralkan itu. Namun tak rasa semangat gerakan mahasiswa untuk turun ke jalan itu masih tinggi, ditambah isu-isu yang sangat kontroversial per kuartal ini,” Pungkasnya.

Sedangkan menurut Rifat tantangan dari gerakan mahasiswa saat ini yakni datang dari elemen masyarakat itu sendiri.

“Berbicara masalah tantangan tentu ya dari mahasiswa dan elemen masyarakat itu sendiri. Di zaman keterbukaan informasi seperti ini, hal yang benar bisa dibelokkan menjadi salah, begitu sebaliknya. Jadi edukasi dan pemahaman mengenai nilai gerakan dan atas isu apa ini juga harus militan gitu agar gerakan mahasiswa ini tidak terpecah belah dan bisa menggaet dukungan dari elemen masyarakat” Ungkap Rifat

Selain itu, penggunaan media sosial juga harus dimanfaatkan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa penggunaan media sosial dapat digunakan sebagai alternatif aktivisme digital. Namun, Rifat menambahkan agar mahasiswa juga menggali ilmu lebih dalam tentang isu yang akan diangkat.

“Tak lupa, sekali lagi, perkuat edukasi mengenai isu-isu sosial politik dan nilai dari esensi mahasiswa itu sendiri sebagai garda depan masyarakat.”

Beberapa Kritik Terhadap Gerakan Mahasiswa Saat Ini

Aribowo, seorang akdemisi Ilmu Politik Unair turut memberikan kritik dan sarannya untuk gerakan mahasiswa saat ini. Setidaknya ada tiga kritik dan saran aribowo untuk gerakan mahasiswa. 

  • Mahasiswa intra dan ekstra harus independen, kalau berkaitan dengan kelompok hegemoni tertentu jangan sampai menjadi bagian dari kelompok tersebut.
  • Mahasiswa merupakan kekuatan kritis, perbanyak belajar, asah kemampuan analisis, dan kritis.
  • Jangan terpengaruh oleh organisasi apapun atau kerjasama apapun.

Ia mencontohkan, “Misal ada orang yang bilang ‘mahasiswa bisanya cuman kritik, gabisa cari solusi’. Jawab saja, tugas mahasiswa itu bukan untuk cari solusi, tapi itu merupakan tugas pemerintah dan parpol. Parpol saja kadang tidak bisa cari solusi, apalagi mahasiswa yang memang masih belajar,” pungkasnya.

Sementara itu, Rifat mengungkapkan bahwa gerakan mahasiswa itu harus selalu ada dan harus dikawal. Meskipun terdapat banyak kekurangan yang ada di dalam tubuh mahasiswa itu sendiri. Gerakan mahasiswa akan menjadi optimal ketika mereka solid dan membangun substansi.

“Gerakan mahasiswa masih sangat sangat perlu untuk tahun ini, tahun depan, dan tahun-tahun seterusnya. Apalagi dalam dunia kampus, yang tentunya sebagai mahasiswa itu kita sebagai moral force. Yang kedua adalah, kita ini jadi gardanya masyarakat yang menyuarakan di jalan yang ekstra parlementer,” jelasnya. 

Hal seperti itulah yang menurutnya harus dipertahankan dan menjadi ekstensi kuat, bahwa gerakan mahasiswa harus dilakukan dengan serius, “kita membawa kebaikan kita membawa suara suara masyarakat yang tertimbun bagaimana bisa didengar oleh penguasa.” imbuhnya.

 

Penulis: Tim Litbang

Editor: Aisyah Amira Wakang


TAG#aspirasi  #bem  #blm  #demokrasi