Pada Minggu (28/06/2020) lalu, akun Youtube Sekretariat Presiden mengunggah video sidang kabinet paripurna tertutup yang menunjukkan kemarahan Presiden Joko Widodo kepada jajaran staf dan menterinya. Hal ini pun menyorot perhatian publik, apa sebenarnya tujuan dari unggahan video tersebut. Di balik banyaknya spekulasi yang beredar, bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi hal tersebut? Menurut Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Dr. Suko Widodo Drs., MSi, “Dengan diunggahnya video marah itu, menurut saya ada tujuan menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo telah bekerja keras. Presiden juga telah mewarning para menteri sehingga jika ada resuffle kabinet ke depan agar ada permakluman dari rakyat. Intinya mencari dukungan positif dari publik.â€
retorika.id- Beberapa hari yang lalu, unggahan video yang berisi sidang kabinet paripurna presiden bersama menteri kabinetnya mengejutkan warganet. Pidato pembukaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut terjadi di Istana Negara pada Kamis (18/06/2020). Namun, video yang menunjukkan kemarahan Jokowi tersebut baru diunggah oleh akun Youtube Sekretariat Presiden pada hari Minggu (28/6/2020).
Beberapa respon warganet tentu berbeda-beda. Ada yang memuji, tetapi ada pula yang curiga. Seperti tweet yang dilakukan oleh akun Twitter @K1ngPurw4 yang diretweet sebanyak 1.341 dan 4.201 like sampai dengan hari ini. “Marah gak marah hasilnya sama, tetap zonk, soalnya marahnya cuma drama serial…” tulisnya, menanggapi berita yang dirilis oleh cnnindonesia.com dengan judul “Istana Sengaja Rilis Video Teguran Jokowi Agar Publik Tahu.”
Faktor yang menimbulkan kecurigaan tersebut, bisa jadi karena pembukaan presiden yang menggunakan atau melihat teks, beberapa kalimat presiden yang dianggap terlalu drama, jarak waktu pengambilan dan perilisan video, serta isu-isu penting yang dianggap lebih prioritas untuk dipersoalkan oleh media. Namun, beberapa pengamat politik maupun pakar komunikasi setuju bahwa presiden memang sedang benar-benar marah terhadap stafnya. Terlepas dari spekulasi adanya drama dan pengalihan isu.
Melihat fenomena kemarahan tersebut, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Dr. Suko Widodo Drs., MSi., berpendapat, jika marah yang ditunjukkan presiden tersebut bukanlah drama dan tanpa alasan. “Dilihat dari gestur komunikasi yang ada dalam video itu, Pak Jokowi benar-benar marah atau emosi. Kemarahan ini dipicu oleh rendahnya serapan anggaran kinerja. Serapan masih rendah, menunjukkan kinerja juga rendah. Sebagai pimpinan selayaknya Pak Jokowi marah.”
Mendukung data tersebut, dalam acara Indonesia
Lawyers Club yang berjudul “Presiden Marah: Menteri Mana Direshuffle” pada Selasa (30/6/2020), Akbar Faizal politisi Nasdem menyatakan, “Presiden berhak merasa bahwa, oh ternyata saya tidak punya ‘pembantu’. Oh ternyata orang yang saya anggap membantu saya ternyata, tidak. Hal-hal sederhana tidak selesai, contoh pendataan. Data tabrakan kiri, kanan.”
Akbar juga mengatakan bahwa, banyaknya disharmoni koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, juga data kementerian yang tidak selaras juga menjadi faktor Presiden Jokowi marah. “Maka menurut saya, kemarahan presiden itu tidak main-main.”
Dalam acara tersebut, hadir juga seorang Budayawan Agus Hadi Sudjiwo atau yang lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo. Ia menjelaskan, “Ini kan intinya presiden marahnya itu dibikin akting atau apa gitu. Saya gak bisa jawab meskipun saya mengajar akting di banyak daerah, kalau saya jawab juga gak enak. Karena ada bagian tertentu yang kurang pas sedikit, misal ‘kita ini nggak satu perasaan’ tapi, ketika itu menyinggung ‘jangan sampai rakyat mati’ itu kayaknya serius gitu lo.”
Hingga muncul lagi suatu pertanyaan baru, etiskah seorang Presiden marah kepada anak buah dan hal tersebut dipublish ke kalayak? Hal ini masih menjadi perdebatan, masyarakat dapat menilai dari tujuan tindakan tersebut. Menurut Sujiwo Tejo, standar nilai-nilai kita telah banyak berubah dengan era zaman dulu. Sehingga pertanyaan tersebut memang harus dijawab dengan nilai-nilai baru yang ada di dalam masyarakat.
“Saya ragu-ragu pertanyaan ini ukurannya sudah berbeda. Pada zaman saat saya masih kecil, ini tidak etis. Memarahi anak buah di depan publik itu sangat tidak etis. Tapi kita fair nggak ke Pak Jokowi pakai tolak ukur gini, sementara nilai-nilai sudah berubah. Dan kita masih pakai nilai-nilai lama dalam melihat pemimpin boleh memarahi anak buah,” terang Sujiwo.
Oleh karena itu, terkait pencitraan atau tidak. Itu adalah masalah lain yang seharusnya ditanggapi secara bijak oleh publik. Pada posisi seperti ini, yang seharusnya perlu dipertanyakan adalah, untuk apa komunikasi kelompok (terbatas dengan anak buah) itu disebarluaskan ke masyarakat? Terlebih, yang menerbitkan adalah pihak istana. Sehingga tujuan presiden dapat bergeser, bukan hanya menyampaikan presiden tetapi juga ada pesan politik yang disampaikan oleh publik secara tidak langsung. Biro Pers Istana juga menyampaikan bahwa ada hal-hal yang baik dan bagus untuk diketahui publik.
Menurut Suko yang juga Ketua Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga, “Dengan diunggahnya video marah itu. Menurut saya ada tujuan menunjukkan, bahwa Presiden telah bekerja keras. Presiden juga telah mewarning para menteri. Sehingga jika ada resuffle kabinet ke depan agar ada permakluman dari rakyat. Intinya mencari dukungan positif dari publik.”
Dalam situasi pandemi seperti ini, banyak orang memang mengalami kebingungan, merasa bahwa kinerja pemerintah belum maksimal sehingga membuat kepercayaan publik makin menurun. Dan menganggap, apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah hanya tipuan, baik pemerintah dan masyarakat akhirnya lelah. Tetapi di sinilah seorang pemimpin harus terlihat tegar. Mengutip kalimat dari Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, “Presiden itu harus tajam, presisi, dan kuat.” Idealnya, ia harus dapat menutupi kesedihan dan kemarahannya untuk mengayomi warganya.
Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang efektif atau dengan kata lain pesan yang diterima oleh publik dapat mudah dipahami. Kadangkala, komunikasi yang terlalu emosional juga dapat membuat kebuntuan komunikasi (communication breakdown) yang membuat pesan justru tidak tersampaikan dengan baik. Hingga akhirnya menimbulkan banyak spekulasi.
Oleh karena itu, seharusnya masyarakat dapat lebih bijak menanggapi unggahan video kemarahan presiden tersebut. Misal, dengan memahami betul pesan Presiden Jokowi dalam videonya, bahwa bencana Covid-19 bukan hal yang harus ditanggapi secara biasa-biasa saja.
Kemarahan Presiden Joko Widodo kemarin hari, pasti berpengaruh terhadap sistem penanganan Covid-19 di Indonesia. Bagaimana kinerja para menteri setelahnya? Namun jauh sebelum itu, sudahkah kita berpikir, minimal untuk menerapkan protokol kesehatan dengan konsisten, tidak menjadi pribadi yang egois, apalagi mengumbar komentar yang bernada pesimis. Harusnya kita merasa, bahwa kita memang menjadi bagian, dari orang yang dimarahi Presiden Joko Widodo. Sehingga ada upaya kerjasama antara kita dengan pemerintah.
Memang, harus ada pengorbanan dalam berjuang. Termasuk berkorban mementingkan ego pribadi saat hati kita mungkin juga merasa kecewa dengan kinerja pemerintah saat ini. Sehingga, apa salahnya jika kita ikut berkorban untuk kebaikan bangsa ini. Berprasangka negatif justru dapat memperburuk keadaan. Ini adalah pilihan kita bersama, ingin memperkeruh suasana atau bijak dalam bersikap. Bertindak secara rasional membuat diri kita lebih dewasa.
Jika masih ada yang berpikir bahwa ini adalah bentuk pengalihan isu, bukankah respon masyarakat yang terlalu antusias membahas hal ini, justru yang menyebabkan isu-isu lainnya tidak terbahas? Ada baiknya kita juga mengintrospeksi diri untuk bijak di dunia maya.
Saya pribadi berpendapat bahwa fenomena ini penting untuk dibahas sebagai evaluasi sistem pemerintahan kita yang juga berdampak bagi masyarakat, baik saat kondisi sekarang maupun kondisi kedepannya. Karena kita hidup bernegara dan kita adalah bagian dari negara. Maka, mari bersama-sama saling mengevaluasi diri dan rela berkorban untuk negeri.
Penulis: Aisyah A Wakang
TAG: #aspirasi #pemerintahan #tokoh-nasional #