
Memang tidak baik dan kurang etis sepertinya membicarakan siapa yang salah di kondisi sekarang. Apalagi kasus penyebaran Covid-19 masih merebak, serta tim medis sedang berjibaku kelelahan di hampir setiap ICU Rumah Sakit di Indonesia. Tapi, bagaimana lagi kiranya mungkin sekarang inilah yang memang terjadi. Tentu, tidak hanya tim medis saja, tetapi berbagai pihak yang membantu dalam penanganan Covid-19 juga merasa kelelahan.
retorika.id- Angka kasus positif Covid-19 per 4 April 2020 dikonfirmasi oleh pemerintah ada sebanyak 2.092 kasus di Indonesia. Angka ini diprediksi akan meningkat. Tentu hal ini terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan yang dikatakan oleh Pemerintah adalah masih adanya transmission atau penularan di luar sana. Himbauan tentang cuci tangan menggunakan air yang mengalir tidak berhenti dan terus menerus keluar dari Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto.
Pemerintah sudah berupaya penuh dengan memberikan fasilitas kesehatan kepada masyarakatnya. Utamanya kepada masyarakat yang terinfeksi, terindikasi, bahkan bagi mereka yang melakukan kontak dengan penderita positif Covid-19. Pemerintah juga memberikan himbauan langsung yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dengan istilah Social Distancing dan tetap berada di rumah.
Pertambahan angka kasus positif yang meningkat membuat masyarakat was-was dengan kondisi sekitar. Mereka mulai berdiam diri terus dirumah, menyiapkan diri membeli banyak sekali barang dan berhibernasi di rumah layaknya beruang. Pemerintah juga mulai khawatir dengan pertambahan angka yang masif. Sehingga, penjarakan sosial terus menerus digalakkan juga untuk tetap berada di rumah.
Tapi tetap saja, banyak dari masyarakat yang masih keluar rumah, berinteraksi, dan tak jarang masih bersentuhan fisik. Orang-orang keluar rumah akhir-akhir ini mungkin dianggap sebagai tabu dan aib bagi sebagian orang, utamanya bagi pemerintah. Mereka dianggap sebagai orang yang tidak tahu bahayanya, tidak mengerti, bahkan dianggap bebal, karena tidak mengindahkan himbauan pemerintah. Baik itu tentang penjarakan sosial, pembatasan fisik, sampai tetap berada di rumah.
Melihat masih banyaknya orang-orang di luar sana, pemerintah mulai melakukan penindakan tegas terhadap masyarakatnya. Pemerintah mulai membuat beberapa peraturan-peraturan hingga skenario darurat sipil. Bagi mereka yang tidak patuh terhadap aturan main ini, maka akan dikenakan sanksi pidana. Tentu
ini sedikit membuat gusar bagi kita semua.
Pemerintah kita sudah mengerahkan segala upayanya sebelum betul-betul sampai pada kondisi yang mendesak pada darurat sipil. Pemerintah akan berusaha menjamin kesejahteraan darurat masyarakatnya dengan anggaran-anggaran yang sudah disampaikan mencapai 435 Triliun.
Penyakit Covid-19 tidak bisa dianggap sebagai penyakit sepele. Penyakit yang diakibatkan karena adanya virus SARS-Cov-2 ini mampu membuat orang yang terinfeksi menderita pneunomia (radang paru-paru) dengan durasi yang cepat. Sebuah infeksi penyakit yang cukup kronis bagi sebagian kita. Mungkin sebagian dari kita menganggap hal ini sebagai hal yang sepele, termasuk pemegang kekuasaan dan pembantu presiden bidang kesehatan.
Pihak WHO dan Harvard sebenarnya sudah mewanti-wanti Indonesia jauh-jauh hari. Mereka ragu bagaimana bisa Indonesia tidak mempunyai kasus positif terhadap penyakit influensa ini. Apalagi pada waktu itu rute penerbangan Indonesia-Tiongkok masih terbuka lebar. Bukannya terimakasih dan bersiap diri ketika diingatkan, pemerintah kita malah nantangin balik berbagai himbauan tersebut.
Pemerintah kita saat itu masih mementingkan kepentingan ekonomi, kepentingan yang menyangkut perut, kepentingan skala masif dan hajat hidup banyak orang. Pemerintah kita menganggap pertumbuhan ekonomi lebih penting daripada kondisi darurat yang sebenarnya. Ancaman resesi memang menjadi ancaman serius bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah kita sedang all-out berfokus kesana yang dianggap lebih penting daripada sekedar masalah kesehatan. Masalah yang menurut pembantu presiden yang terlalu dibesar-besarkan oleh media, masalah yang sebenarnya tidak lebih parah angka kematiannya dari influensa, serta hal-hal lain yang terkesan meremehkan.
Pertimbangan utama investasi ekonomi, penanaman modal asing, juga beberapa hal lain yang memang menyangkut hajat hidup banyak orang terus menjadi perhatian utama. Pemerintah bahkan keluyuran mencari investor ditengah huru-hara kondisi kesehatan dunia yang sedang memburuk. WHO terus menerus mengingatkan Indonesia agar lebih bersiap diri menghadapi penyakit Covid-19 ini. Tapi, entah dapat kabar darimana, Covid-19 dianggap tidak lebih ‘membahayakan’ daripada flu biasa.
Konteks utama perhatian pemerintah masih terfokus pada investasi pertumbuhan ekonomi adalah getolnya pemerintah kita terhadap ‘Omnibus Law’. Pemerintah terkesan bebal dan jalan terus demi urusan perut banyak orang, bukan orang banyak. Masyarakat sudah turun aksi, tidak hanya menghimbau, bahkan mereka rela turun berpanas-panas demi mandeknya proses ‘Omnibus Law’ini. Namun, pemerintah kita tetap saja jalan terus dan terkesan tidak mengindahkan sama sekali himbauan bahkan ultimatum dari masyarakatnya sendiri tersebut.
Ketika huru-hara Covid-19 melanda berbagai negara, Indonesia baru saja mengonfirmasi dua orang kasus positif dengan kondisi pasien tidak mendapat pelayanan yang optimal. Per tanggal 3 Maret 2020, pemerintah Indonesia bukan dengan nada prihatin, namun dengan nada bangga dan terkesan guyonan, melaporkan kasus ini pada WHO. Namun, daripada hal itulah, kasus-kasus di Indonesia tiba-tiba merebak dengan cepat, hingga hari ini di angka 2.092 kasus yang telah dikonfirmasi positif.
Himbauan untuk tidak keluar rumah terus digalakkan. Kantor, sekolah, dan kampus dihimbau untuk melakukan aktivitas dari rumah. Selain itu, masyarakat dihimbau agar menjaga jarak satu sama lain dan sebisa mungkin jangan keluar rumah. Namun, himbauan tetaplah himbauan, orang tetap keluar dan keluyuran kemana-mana.
Mungkin hal ini mirip seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, ketika himbauan dari WHO, himbauan dari Harvard, serta himbauan lain dianggap sepele dan kita masih berkutat pada urusan perut. Sama halnya kali ini, himbauan pemerintah juga dianggap tidak lebih membahayakan daripada sekedar urusan perut. Masyarakat kita, tukang-tukang becak, ojek-ojek kita, keluar rumah mencari uang demi urusan perut. Orang sudah kelewat sabar demi hal ini, pertambahan kasus penularan Covid-19 akan sangat mungkin terjadi. Akan tetapi, demi urusan perut, orang tak peduli dianggap bebal sebagaimana yang terjadi berbulan-bulan lalu.
Sudah menanggap masyarakat kita ‘bebal’ karena banyak yang tidak mematuhi himbauan, tiba-tiba pemerintah malah menunjukkan esensi bebal yang sebenarnya. Pembantu Presiden Koordinator Kemaritiman dan Investasi tiba-tiba membuat pernyataan yang cukup mengejutkan, yakni pembangunan istana negara di Ibu Kota Negara baru tetap dilanjutkan. Entah atas dasar apa pembangunan ini dilanjutkan, tetapi ini lebih serius dari bebalnya masyarakat kita karena urusan perut dan makan sehari-hari.
Sebelum jauh memandang masyarakat kita memang bebal dan tak bisa diatur, hingga jauh perumpamaan hingga menerapkan aturan darurat sipil, harusnya pemerintah sudah tahu, siapa sebenarnya yang bebal dalam hal ini. Siapa yang memang benar-benar berkepentingan dalam kebebalan dua pihak ini dan siapa yang diuntungkan. Bersyukurlah ‘Omnibus Law’ belum diterapkan di saat kedaruratan seperti ini, kalau sudah diterapkan, entah bagaimana dapat dibayangkan rusuhnya kondisi ketenagakerjaan kita.
Kita semua tahu, pasti hal ini membuat banyak sektor dirugikan, termasuk masyarakat kita yang dagangannya menjadi sepi dan mereka yang jasa ojek ataupun becaknya menjadi sepi. Pemerintah rugi, mereka masih bisa makan. Pengusaha rugi, mereka masih banyak uang yang dimiliki. Namun ketika orang-orang yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah ini rugi, makan apa besok mereka.
Orang berani bebal atau tidak mengindahkan himbauan apapun biasanya karena urusan paling mendasar, baik itu urusan hidup, urusan perut, maupun urusan keluarga. Sama halnya, hal ini terjadi di kedua sisi. Lantas, siapa yang bebal sebenarnya.
Penulis: Muhammad Alfi Rahman
TAG: #aspirasi #gagasan #pemerintahan #sosial