» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Madiun 1948: Meniti Jalan Radikal yang Tak Kekal
18 September 2019 | Mild Report | Dibaca 9086 kali
Monumen PKI Kresek Madiun: Madiun Affairs Foto: Alvidha Febrianti
Peristiwa Madiun yang terjadi pada 18 September 1948, membuat Madiun sempat dilabeli sebagai “kawasan merah” atau basis pergerakan PKI. Hal ini kerap kali menimbulkan problema pelik yang mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, baik urusan publik maupun urusan pribadi. Bahkan, karena hal semacam ini pulalah, muda-mudi yang berasal dari Kota Madiun bisa-bisa ditolak lamarannya oleh calon mertua, hanya karena berasal dari kota yang memiliki keterkaitan dengan PKI ini.

retorika.id - Peristiwa Madiun, sering dikenal juga sebagai Madiun Affairs, terjadi pada  tahun 1948, merupakan salah satu jalan kelam perjalanan bangsa Indonesia sebagai gerakan kontra-revolusi. Tragedi ini telah merenggut banyak korban jiwa, khususnya bagi para ulama dan tokoh pemerintahan 74 tahun silam itu, tidak akan lekang dari ingatan masyarakat Indonesia.

Peristiwa Madiun 1948 menurut sejarah, dimotori oleh PKI dan kelompok-kelompok kiri yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR). Selain itu, hal lain yang melatarbelakangi terjadinya tragedi ini, bagaimana Perdana Menteri Amir Syariffudin mundur dari jabatannya atas kegagalannya pada Perjanjian Renville. Sebuah perjanjian yang memberikan dampak buruk bagi Indonesia waktu itu.

Madiun waktu lampau, sekira pasca tragedi Madiun itu sendiri, sempat dilabeli sebagai kota “kawasan merah” atau basis pergerakan PKI. Hal ini kerap kali menimbulkan problema pelik yang mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, baik urusan publik maupun urusan pribadi. Bahkan, karena hal semacam ini pulalah, muda-mudi yang berasal dari Kota Madiun bisa-bisa ditolak lamarannya oleh calon mertua, hanya karena berasal dari kota yang memiliki keterkaitan dengan PKI ini. Kejadian seperti ini acapkali dialami oleh pemuda-pemudi Madiun dan sekitarnya.

Stigma yang liar berkembang di masyarakat waktu itu terhadap Kota Madiun, merupakan sikap masyarakat dalam melakukan generalisasi tanpa menguji realitas berdasarkan kronologi sejarah pemberontakan PKI di Madiun.

Aksi sepihak yang dilakukan oleh Muso dan afiliasinya untuk meruntuhkan ideologi bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila menjadi republik Soviet Indonesia berujung pada perang saudara sesame masyarakat Indonesia pada saat itu.

 

Revolusi di Hindia ala Partai Komunis Indonesia (PKI)

Paham komunisme pertama kali berkembang di Indonesia pada tahun 1913 yang dibawa oleh H.J.F.M Sneevliet, seorang Belanda yang menjabat sebagai sekretaris di sebuah perkumpulan dagang di Semarang. Semenjak kedatangannya, ia aktif melakukan propaganda terkait paham sosialis di Hindia, khususnya di kalangan serikat pekerja pada tahun 1908. Pada tahun 1914, Sneevliet dan teman-temannya dari Belanda sepakat untuk mendirikan ISDV (De Indische Sociaal Demokratische Vereniging) yang memiliki misi untuk menyebarkan paham Marxisme.

Salah satu organisasi yang dijadikan sebagai lahan penyebaran paham tersebut adalah Sarekat Islam (SI). Alasan ISDV memilih Sarekat Islam (SI) sebagai objek utama mereka karena terdapat tokoh-tokoh muda yang memiliki semangat militan dan revolusioner, seperti Semaoen dan Darsono. Kedua pemuda itu memegang peran penting dalam melancarkan aksi penyebaran paham komunis-marxist di tubuh SI.

Beberapa jalan setelah itu, di kalangan ISDV sendiri terjadi pertentangan di antara pemimpinnya yang mempersoalkan strategi perjuangan. Pihak pertama menginginkan agar ISDV berfungsi sebagai pemberi petunjuk bagi organisasi pergerakan nasional secara evolusioner. Sedangkan pihak kedua menginginkan supaya pergerakan Nasional dilakukan secara revolusioner.

Tidak kunjung menemukan titik terang dalam menentukan strategi perjuangan, pertentangan dalam tubuh ISDV semakin meruncing atas kabar kemenangan partai komunis di Rusia dalam Revolusi Oktober 1917. Sehingga, eksistensi paham komunis semakin menguat. Hal itu ditandai dengan berdirinya partai komunis hampir di setiap negara, juga gerakan-gerakan humanis dan sosialis yang menguat di negara-negara tersebut. Dalam hal ini juga, di Hindia pengaruh itu terlihat dari perubahan nama ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 Mei 1920.

Beberapa catatan menunjukkan, penolakan Pemerintah Kolonial Hindia


Belanda terhadap gerakan komunis Russia seperti ini. Kerajaan Belanda, seperti kerajaan-kerajaan lain di Eropa, takut jika gelombang perjuangan komunis merebak di negaranya masing-masing. Sikap traumatik bangsawan negara-negara eropa ini terjadi setelah revolusi bohlsevik yang membunuh trah Tsar Alexander II secara tragis.

Hindia sendiri, dengan beberapa Gubernur Jenderal dengan sigap memenjarakan dan membuangi orang – orang revolusioner nasionalis ke beberapa tempat, termasuk juga orang-orang komunis. Di era Gubernur Jenderal Cornelis de Jonge, orang-orang seperti ini dibuang ke Kamp-kamp konsentrasi, seperti di Digoel juga ke beberapa tempat lain untuk meminimalisir penyebaran pengaruh mereka. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, hingga Sutan Sjahrir, adalah orang-orang yang pernah dibuang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena pergerakan nasionalis yang radikal.

Setelah Pemerintah Militer Jepang berkuasa di Hindia, orang-orang itu dilepas dan menjadi kolabolator aktif Pemerintahan Militer Jepang. Meskipun mereka menjadi kolabolator aktif Pemerintahan Militer Jepang, namun mereka tetap memiliki misi untuk memerdekaan Indonesia sebagaimana cita-cita sumpah pemuda. 

Pemerintah Jepang terkenal sangat tegas, tidak sembarangan mengizinkan organisasi-organisasi kemasyarakatan berdiri tanpa seizin Pemerintah Militer. Termasuk juga perjuangan Komunis, perjuangan Komunis di Hindia sempat terungsikan ke Russia, Musso dan Ngalimin hingga DN Aidit, memulai perjuangannya dari Russia yang saat itu juga berperang dengan Jerman. Hingga kabar tentang Kemerdekaan Indonesia tersebar, orang-orang “merah” itu kembali pulang untuk membudidayakan kembali gerakan Komunis-Marxist.

 

Amir Syariffudin, Pemantik Obor Prahara

Amir Syariffudin pernah memperoleh jabatan tertinggi dalam pemerintahan Republik Indonesia sebagai Perdana Menteri antara 3 Juli 1947 hingga 23 Januari 1948. Perdana Menteri yang juga anggota Partai Sosialis Indonesia ini lahir di Medan, 27 Mei 1907. Sepanjang tahun 1931-1948, Amir Syariffudin dikenal sebagai seorang komunis sekaligus kristen yang taat. Ia cukup terkenal di berbagai gereja, terutama gereja Batak di Batavia, saking seringnya ia melakukan dakwah pada masa pergerakan saat itu. Religiusitas Amir dalam gerakan perjuangannya terlihat pada proses perekrutan Gerindo, Gerindo tidak hanya menjadikan orang kaya sebagai saudara sejati, tetapi juga orang miskin dari bangsa lain.

Awal mula Amir mengenal paham Marxisme-Leninisme ketika ia sedang menempuh pendidikan di Belanda pada tahun 1921-1927. Pada saat itu, Amir menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi itulah, yang membuat Amir bertemu dan mendapatkan ilmu dari Semaoen, salah seorang pimpinan PKI yang dibuang ke Belanda pada tahun 1923.

Sementara itu, kedatangan Muso ke Indonesia pada tahun 1935 juga menjadi langkah awal pengenalan paham komunisme kepada Amir. Hal itulah yang menjadi alasan Muso memilih Amir sebagai ketua PKI, karena pada 1927-1935 Amir cukup terkenal dengan karakter radikal di setiap pergerakannya.

Soe Hok Gie, dalam bukunya yang berjudul “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” menyatakan bahwa Amir telah lama berkecimpung dalam organisasi komunis. Bahkan, dalam pidatonya pada 1946, Amir mengakui secara terbuka bahwa ia adalah seorang Marxis.

Pada masa pemerintahan Amir Syariffudin, Indonesia telah mengalami kondisi sosial, ekonomi, politik, militer, dan diplomasi yang sangat lemah, tekanan dari pihak Belanda membuat Negara kocar-kacir. Hal ini sudah berlaku jauh sebelum turunnya mandat dari Perdana Menteri Amir Syariffudin. Dalam suasana politik dan situasi yang tidak terkondisikan, 21 Juli 1947 Belanda secara tiba-tiba melancarkan Agresi Militer I.

Agresi militer dengan sandi politionale actiie dan Operation Kraii ini memorak-porandakan kestabilan perjuangan, membuat Pemerintah harus duduk dan berunding bersama Belanda untuk kembali menentukan arah perjuangan. Agresi Belanda diupayakan untuk diakhiri dengan sebuah Perundingan, yang dilaksanakan diatas Geladak USS Renville yang sedang buang sauh di Teluk Jakarta. Acara ini berlangsung 6 Desember 1947, yang diinisiasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), yakni Australia, Belgia, dan Amerika Serikat.

Perundingan Renville itu akhirnya menghasilkan Perjanjian Renville. Sebuah Perjanjian yang membuat Pemerintah Indonesia memiliki sebagian wilayah di Jawa bagian timur, Mulai dari Malang hingga Jogjakarta, yang mana Kota Madiun masuk di dalamnya, dan juga Karisidenan Banten. Zona territorial Republik Indonesia yang sangat sedikit inilah yang membuat Amir Syariffudin mengundurkan diri dari jabatannya, karena perjanjian itu dirasa merugikan pihak Indonesia. Posisinya sebagai Perdana Menteri digantikan oleh Mohammad Hatta.

Golongan oposisi yang menentang kabinet Hatta akhirnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Di sisi lain muncul Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) sebagai organisasi politik yang pro terhadap pemerintahan Kabinet Hatta. Untuk melancarkan tuntutannya terhadap pemerintah, FDR menyebarkan isu-isu yang dapat memicu timbulnya pertentangan. Situasi di bawah malah semakin panas.

 

Menjadikan Madiun Pusat Gerakan Revolusi

Terdapat berbagai alasan mengapa Madiun dijadikan sebagai pusat pergerakan PKI. Pertama, Madiun merupakan wilayah yang strategis berupa tipologi daerah yang diapit oleh Gunung Wilis dan Gunung Pandan. Kondisi alam tersebut menjadi tempat bertahan dari serangan dan melarikan diri.

Kekuatan militer yang sudah maju. Karena pada saat itu Madiun menjadi satu-satunya daerah yang sudah memiliki lapangan udara sendiri, yakni Lapangan Udara Maospati. Lapangan udara yang dibangun oleh Belanda bersama-sama dengan Lapangan Udara Pakis di Malang, Colomadu di Surakarta, dan Maguwo di Yogyakarta ini sebenarnya digunakan sebagai sistem defensif Hindia Belanda, yang ketakutan melawan Jepang yang sudah menguasai IndoChina waktu itu.

Juga terdapatnya banyak Pabrik dengan basis buruh yang kuat, seperti PG Rejoagung, PG Kanigoro, PG Pagotan, PG Gorang-Gareng, dan PG sedono yang dinilai mampu memenuhi standar ekonomi. Adanya perlintasan kereta api di dekat PG Rejoagung yang menghubungkan Surabaya-Jakarta untuk mendukung mobilitas FDR/PKI ke setiap daerah. Ditemukannya bukti dokumen di kamar Amir Syariffudin yang menyebutkan bahwa, Madiun dijadikan sebagai daerah gerilya sektor yang kuat untuk melanjutkan perjuangan “op lang termijn.”

Selain itu juga, Gie menambahkan bahwa, Madiun dipilih sebagai tempat berlangsugnya pemberontakan adalah, bagaimana secara teritori Republik Indonesia pasca perjanjian Renville, menempatkan Madiun sebagai titik sentral daerah di teritori tersebut. Terhintung mulai demarkasi dari paling barat, yakni Yogyakarta, Surakarta,  Madiun, hingga Kediri, dan Malang, Madiun berada tepat di tengah-tengah teritori ini. Sebuah rencana strategis yang telah dipersiapkan oleh Musso untuk mengejawantahkan scenario-skenario lanjutan revolusionernya.

 

Kedatangan Misterius Musso

Kedatangan Muso di Indonesia membawa amanat dari Moskow, Rusia untuk menghidupkan kembali PKI di Indonesia. Muso bersama rekannya, Alimin merupakan pengikut setia Moskow. Musso-lah yang berperan mendirikan kembali PKI pada awal kemerdekaan setelah kegagalan pemberontakan PKI terhadap pemerintah Hindia Belada tahun 1927.

Pada 18 September 1948 tersebar berita bahwa akan terjadi penyerangan dan perebutan kekuasaan di Madiun. Berita tersebut awalnya disiarkan oleh Harian Murba di Surakarta tentang terjadinya coup d’etat, diduga bahwa PKI akan segera mengadakan pemberontakan. Tetapi karena pemerintah tidak menunjukkan atas berita tersebut, masyarakat mengabaikan kebenaran berita tersebut. Kemudian, keraguan masyarakat hilang ketika muncul pengumuman resmi dari pemerintah, yang mengumumkan bahwa di kota Madiun telah terjadi penyerangan atas alat-alat kekuasaan negara dan perebutan pemerintahan daerah secara paksa.

Sebelum melakukan pemberontakan, PKI telah mempersiapkan strategi berupa formasi-formasi Biro Perjuangan dan organisasi teritorial yang tersebar di pelosok desa. Penyusunan dan penempatan ini dengan menggunakan wewenang Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang biayanya diambil dari anggaran belanja Kementerian Pertahanan.

 

Huru-Hara Pagi-Pagi Buta

Pemberontakan tersebut dimulai pada jam tiga subuh, setelah terdengar tembakan pistol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non parlementer oleh kesatuan komunis, lantas disusul dengan gerakan perlucutan senjata oleh kader – kader FDR. Selama penyerang terjadi, PKI menduduki tempat-tempat penting dikota Madiun, seperti Kantor Pos, Gedung Bank, Kantor Telepon, dan Kantor Polisi, serta mengibarkan bendera merah berlambang palu arit di depan Balai Kota Madiun.

Di waktu yang sama, di Kota Magetan, 20 kilometer sebelah barat Madiun, sekitar 1.000 pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor pengadilan dan tempat-tempat penting lainnya.

Seorang Antropolog Amerika, Robert Jay, mencatat bahwa PKI telah membunuh mereka yang tidak bersalah, seperti pejabat pemerintah, anggota TNI, para ulama, dan santri dengan sangat keji. Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dibakar, hingga dikubur hidup-hidup. Pembantaian massal yang dilakukan oleh PKI menjadi saksi atas kebiadaban para pemberontak, kisah – kisah loji yang banjir darah hingga sampai mata kaki, tembakan pelor berkarat di kresek, hingga pembunuhan dengan gagang pacul, mewarnai tragedi revolusioner ini. Kekejaman kelompok FDR sangat banyak dicatat dalam berbagai literatur, dengan metode-metode pembunuhan yang bisa dianggap sadis dan biadab.

PKI berhasil merebut kekuasaan sepenuhnya di Madiun pada jam tujuh pagi, Madiun menjadi merah dan menyatakan diri berdiri sebagai negara Komunis Indonesia. Berbagai cara dilakukan oleh PKI demi mewujudkan misi mereka. Muso telah menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan menyebarkan berita bohong bahwa para pemimpin Indonesia telah menjual bangsa Indonesia ke kolonialisme Belanda, serta menyengsarakan hidup kaum buruh dan tani. Sehingga, masyarakat yang tidak tahu-menahu pokok permasalahannya telah terjebak untuk ikut mendukung kaum pemberontak bangsa Indonesia. 

Pemberontakan itu terus terjadi dan menyebar ke berbagai daerah yang telah mendapat pengaruh dari FDR, seperti Magetan, Ngawi, Ponorogo, Cepu, Blora Purwodadi, dan Solo. Hingga pada akhirnya pihak pemerintah menindak tegas pemberontakan itu dengan melakukan penangkapan serentak di berbagai daerah terhadap para pemimin FDR atau PKI, yang salah satunya adalah Muso. Gubernur Jawa Timur waktu itu, R.M Soerjo, yang saat itu berada dalam perjalanan dari Ibukota Yogyakarta hendak kembali ke Surabaya, dihadang oleh sekelompok massa FDR/PKI di Hutan Kedunggalar daerah Ngawi. Ia dibunuh dengan tembakan bersama ajudan dan sopirnya, jasad mereka dibuang kedalam aliran Sungai Bengawan Solo.

 

Referensi:

A.Poeze, Harry, Madiun 1948: PKI Bergerak, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Hok Gie, Soe, Orang – orang di Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2004.

 

Penulis : Alvidha Febrianti


TAG#politik  #sosial  #  #