» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Puisi Sebagai Media Aspirasi
02 November 2018 | Opini | Dibaca 2814 kali
Puisi Sebagai Media Aspirasi: - Foto: NYC Poetry Festival (Facebook)
Berkata seringkas mungkin, namun mengandung arti seluas mungkin. Banyak makna tersirat yang terkandung dalam puisi. Sehingga tak mengherankan jika puisi dijadikan sebagai wadah dalam mentransformasikan ide mahasiswa ke dalam wujudnya yang estetik. Jadi lebih baik bersuara bermediakan puisi bukan, daripada diam dan gagasan kita tak tersalurkan?

retorika.id - Kita sekarang hidup di era serba otomatis yang menyediakan banyak fasilitas untuk menunjang berbagai aspek kehidupan. Media sosial sebagai produk dari globalisasi di antaranya mempunyai manfaat untuk penyampaian informasi, ide, dan konsep yang menjelaskan fenomena-fenomena di sekitar . Kita, para mahasiswa sebagai agent of change wajarnya tak serta merta menelan begitu saja apa yang telah diterima. Tetapi, kita dituntut untuk memiliki orientasi jauh ke depan, menganalisis serta mampu memberi solusi yang mutakhir terhadap berbagai persoalan. Dengan beragamnya fasilitas media yang disediakan internet seharusnya membuat kita mampu menuangkan aspirasi kita agar tersampaikan, salah satunya dengan berpuisi.

Mengapa puisi kerap kali dipilih sebagai media berekspresi ketika batin seseorang sedang bergejolak? Mengapa orang yang sedang kasmaran cenderung lebih emosional dan lebih memilih untuk menggambarkan perasaannya lewat puisi? Ralph Waldo Emerson mendefinisikan puisi


sebagai sebuah pengajaran sebanyak mungkin dengan kata-kata yang lebih sedikit. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa puisi adalah seni kepadatan. Berkata seringkas mungkin, namun mengandung arti seluas mungkin. Banyak makna tersirat yang terkandung dalam puisi. Hal itu karena puisi merupakan perwujudan dari apa yang kita lihat dan kita pelajari.

Tidaklah mengherankan jika penyair angkatan ‘45 seperti Chairil Anwar telah menorehkan karya-karya yang begitu menakjubkan. Salah satu karyanya yang berjudul "Karawang-Bekasi" menunjukkan bahwa sang penyair pada saat itu sedang menyampaikan kegelisahan sekaligus simpatinya terhadap pejuang tanah air yang tengah memperjuangkan nasib kemerdekaan dalam melawan kaum kolonial. Kita bisa belajar dari situ bahwa seseorang mampu berpuisi ketika ada sesuatu hal yang mengusik batin.

Kita bisa kaitkan penulisan puisi dengan teori coping adaptif. Lazarus & Folkman (1986) mendefinisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres. Coping merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Ketika individu menemui permasalahan dalam hidupnya, maka timbul usaha untuk mengurangi atau meredakan berbagai tekanan yang dialaminya. Salah satunya dengan menulis puisi. Sebagai contoh, saat individu melihat berita korupsi yang kian merambah di Indonesia tanpa diiringi penegakan hukum yang tegas, maka muncul perasaan kecewa dan benci. Untuk mengurangi beban yang dirasakan, individu tersebut menulis puisi sebagai usaha penyampaian kritik dan saran terhadap lemahnya penegakan hukum tentang korupsi yang dikemas secara estetik.

Ide dalam pembuatan puisi bisa datang dari mana saja tergantung tingkat kepekaan kita. Dalam hal ini, kita bisa menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembuatan puisi sebagai media penyampaian aspirasi. Para demonstran kerap kali melakukan orasi sambil berpuisi. Jadi, aksi demonstrasi tidak melulu tentang aksi bakar ban, teriak-teriak ditengah jalan, atau aksi kekerasan. Namun, kita juga bisa mengutarakan pendapat lewat puisi sebagai implementasi etika demokrasi yang baik dan benar.

Selain itu, berpuisi juga dapat melatih kreativitas dalam hal kepenulisan. Karena kita akan berusaha untuk mencari kata-kata baru dalam pemilihan diksi, menyatukan antara irama dan suara bunyi, serta pemilihan kata-kata kias (imajinatif) agar puisi yang disajikan bisa menarik minat para pembaca. Bahkan beberapa puisi karya Wiji Thukul masih relevan terhadap kehidupan masa kini, diantaranya yang berjudul "Puisi Untuk Adik", "Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu", "Peringatan", "(Tanpa Judul)", dan "Hari Itu Aku Akan Bersiul-siul". Hal itu menunjukkan bahwa kita bisa mengaitkan ide puisi dengan berbagai permasalahan sebagai bentuk kritik dan saran terhadap suatu kemajuan atau kemunduran suatu bangsa.

Jadi pilih mana, bersuara lewat puisi atau bungkam sehingga ilmu yang kita dapat sia-sia karena tak tersalurkan?

 

Penulis : Alvidha Febrianti


TAG#aspirasi  #gagasan  #humaniora  #karya-sastra