» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Senja di Awal Oktober
20 Oktober 2018 | Sastra & Seni | Dibaca 2403 kali
Senja di Awal Oktober: - Foto: Pixabay
Di pelosok cakrawala, lembayung senja menyinarkan cahaya terakhirnya. Berdiri aku di beranda indekos, menyaksikan semuanya. Di momen puncak senja di awal Oktober, aku dihadapkan kepada dua pilihan, berjuang dalam ketidakpastian akan penolakkan yang menanti, atau lenyap nyawa dalam bungkam rasa yang dicengkram dan “dirobek-robek oleh sepi”.

Di pelosok cakrawala, lembayung senja menyinarkan cahaya terakhirnya. Masa-masa syahdu semesta yang selalu akan muncul kembali seolah tak peduli dengan kebisingan kota yang selalu butuh akan cahaya mentari, untuk senantiasa mengiringi. Lampu-lampu kuning jalan di sebuah gang sempit rumah penduduk di pusat kota, secara perlahan dan malu-malu mulai menyinari temaram gelap malam yang mulai tiba.

Kembali kupandangi detik-detik terakhir pergantian hari dalam redup jingga yang mulai pudar, pertanda matahari telah terbenam seutuhnya. Terang rembulan mulai menyinari gemerlap emasnya, menurunkan gemulai lembut cahayanya ke atap rumah penduduk yang saling berdekatan padat di tengah kota.

Pesona purnama menghentikan para pejalan kaki yang mencari makan malam di emperan pinggir jalan persimpangan lampu merah, menengadahkan kepala dan mengabadikan raut indah malam dalam relung memori yang paling dalam. Kemudian berjalan sambil lalu demi mengisi ruang kosong di dalam perut yang membutuhkan asupan.

Berdiri aku di beranda indekos, menyaksikan semuanya. Di sini tempat perjalanan hidup perantauan di kota terik dan panas di


ujung timur pulau Jawa. Pengalaman dan kisah hidup berlalu secepat kedipan mata. Tak terasa dua tahun masa telah sirna. Di sini aku kembali terdiam dan merenung dalam keheningan yang bermula. Diiringi puncak senja, dan kelam malam yang tiba, menjadi sebuah waktu paling ideal ketika perasaan sentimentil dan melankoli melanda. Keterasingan diri menyesakkan dada dalam setiap tarikan nafas.

Rasa sesal, momen sedih dan memalukan kembali teringat dalam benak. Kegagalan dan setiap pilihan buruk membentuk diriku. Rasa bahagia dalam pertemuan dan persahabatan kembali kukenang. Namun puncak dari semuanya perasaan yang sama terus bergejolak, terlepas dari beratus-ratus cara untuk meredam, namun gejolak rasa terus melanda. Bahkan setiap detail sederhana yang seolah biasa menjadi begitu berbekas, dan memberi makna

Aku mengingat setiap adegan ketika kau masuk ke ruangan. Postur tubuh dan langkah pasti, raut wajah acuh tak acuh, dalam pualam putih pucat sukma yang membuai pandanganku. Ruangan seolah terang benderang laksana cahaya langit dan mega di dentang jam angka dua belas.

Kekaguman dalam diriku menyaksikan kau dalam elegi waktu yang seolah terhenti. Alunan sajak diam senantiasa akan kukarang, dalam kesendirian di ruang kamar, namun ketika aku harus berhadapan dengan kau, lidahku kelu hanya untuk mengucapkan silabel kata dan aksara yang merangkai namamu. Paranoia dan rasa takut menguasai dalam kecanggungan dan rasa malu yang merubungi diriku.

Satu hal yang begitu aku takuti adalah sebuah penolakkan. Kecanggungan dan sikap diam menjadi sebuah perisai paling ampuh untuk menghadapi semuanya. “Dirimu tidak akan menerima penolakkan jika tidak ada suatu usaha yang engkau lakukan”. Dunia rekaan dalam fiksi dan fantasi menjadi pengalih paling indah.

Kepengecutan dan pelarian dari kenyataan, serta ketakutan akan pengungkapan rasa begitu menelusuk dan mengendap dalam diri. Kegagalan dan trauma pengulangan rasa sakit yang sama terus menghantui.

Namun berbulan-bulan telah berlalu sejak akhir fajar di bulan Desember kala itu, ketika rasa mulai mengendap, rasa sakit mulai berubah sedemikian rupa, kepedihan memendam dalam serangkaian sikap pasif dan diam jauh lebih menggores dan menusuk bagai belati dibandingkan rasa takut  akan sebuah penolakkan. Sebuah konklusi harus kuambil untuk mengolah rasa dalam hati. Menerjemahkan bisikan-bisikan kalbu dalam kesunyian dan kehampaan di puncak sepi

Menekan dalam sajak Sia – Sia, “Sang Binatang Jalang” seolah menjadi anomali dalam hidupku. Aku menyukai senyap dan kesendirian dan menikmati setiap aliran waktu momen ini, dan tenggelam di simfoni penghayatan sastra dalam prosa dan puisi. Namun ketika rasa itu telah memagut, kehampaan dan kenyataan tentang penggalan sajak ikonik itu tanpa aku sadari telah merongrong diriku.

Berbagai pertanyaan akan selalu muncul dalam benakku. Pilihan mana yang harus kuambil dalam dua dekade awal usiaku.. Hidup merupakan serangkaian pilihan terbentang  harus diambil dengan setiap konsekuensi yang menggeser jalan hidup dalam sebuah alur yang tak dapat terhenti. Di momen puncak senja di awal Oktober, aku dihadapkan kepada dua pilihan, berjuang dalam ketidakpastian akan penolakkan yang menanti, atau lenyap nyawa dalam bungkam rasa yang dicengkram dan “dirobek-robek oleh sepi”.

 

Penulis : Septyawan Akbar


TAG#cerpen  #karya-sastra  #  #