» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Yang Terlupakan
01 November 2018 | Sastra & Seni | Dibaca 1852 kali
Yang Terlupakan: - Foto: MCKING - 23:59
Sampai pukul 23.59 tidak ada pesan masuk atau telepon darinya. Apakah dia sudah lupa? Tak masalah jika teman-temanku lupa pada hari spesialku ini, tapi arti luar biasa jika mendengarnya dari kamu langsung. Ah, mungkin ada Homo Sapiens lain yang ia suka.

Pikiranku buyar, diiringi irama jantung tak beraturan diselingi nafas yang terengah membuatku tak fokus dengan apa yang kuhadapi saat ini. Pukul 12.00, selembar folio dengan tulisan tangan penuh berisi ringkasan analisis materi harus segera sampai di atas meja Tuanku –seorang bapak yang dipanggil dosen oleh mahasiswanya. Ingatanku akan hal itu baru saja kembali karena dibangkitkan oleh temanku. Mungkin saja ini efek tertinggalnya fokusku di Kota Solo kemarin. Belajar sesuatu yang tidak kudapat di kursi yang juga disangkutkan dengan sebuah meja kecil di sebelah kanannya. Utang tugas yang mendadak bergentayangan dan harus segera dilunasi, kukerjakan secepatnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tangan yang mencorat-coret tulisan di selembar kertas ini bergerak cepat dibarengi dengan daya analisisku yang seadanya saja, berhubung satu jam lagi harus diserahkan – yang penting selesai.

Apa yang dikerjakan dari sebuah amanat serius dari Tuanku ini tidak jauh dari analisis cerita heroik orang Indonesia 71 tahun silam. Serta hubungan dan keterkaitannya lima sila yang digantung oleh seekor burung Elang Jawa dengan contoh masalah yang diberikan. Sembari uji coba memecahkan masalah kebangsaan yang harusnya diselesaikan oleh anggota Dewan yang terhormat di parlemen sana, konsentrasiku hampir semakin buyar. Bagaimana tidak? Masalah negeri ini harus kuuji coba dengan pemecahan masalah yang kutawarkan. Itu saja sudah sulit, apalagi masalah hidupku sendiri yang bisa dikatakan lebih sulit dimengerti. Gerakan di luar sana yang menuntut pemimpinnya menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara, setidaknya tetap mendukung apa yang sedang dilakukan


pemimpin sekarang. Entah lah, omongan atau candaan untuk menghiasi media dan televisi cukup membuatku terkekeh. Yang lebih menghibur adalah perasaanku ini sendiri daripada itu semua.

Bukannya menyelesaikan tugas dari Tuanku, malah makin ngawur jalan pikiranku.

“Nila! Nila! Nila!” kusebut tiga kali namanya sembari mengerjakan tugas formalitas ini. Seandainya bila kusebutkan tiga kali namanya kemudian ia muncul, aku tidak akan melanjutkan amanat dari Tuanku. Kulanjutkan saja fokus dan konsentrasiku untuk Nila seorang. Dia lebih berarti daripada kertas yang sedang kucoret ini dengan daya imajinasi yang semakin liar untuk memuji dan menyanjung Tuanku.

Sudah dua halaman hampir aku habisi di setiap barisnya. Menyisakan empat baris kosong yang membuatku berpikir harus kuisi dengan apa lagi ini? Ini masih tanggung.

“Diusahakan harus terisi semua ya, full dalam satu lembar itu, tuntaskan sampai baris terakhir,” kutipan terakhir sebelum Tuanku keluar dari sangkar untuk mendidik manusia yang disebut kelas.

Ah, apa lagi yang masih kurang? Ketepatan teori yang kugunakan ini atau kurang panjangnya kalimat penggandeng tulisan ini? Aku membatin dalam 10 menit terakhir. Nila kembali menyusup dalam pikiranku, seolah-olah dia telepati dari hasil kekuatannya yang dia peroleh di gua. Dia memanggil namaku, terdengar bisikan, katanya dia rindu, ingin bertemu, berbincang sambil duduk manis lesehan menikmati kopi sasetan atau kopi espresso yang pahitnya menggugah.

“Gue sebenernya mau ketemu lu..” kata-kata itu, logat Betawinya yang khas. Aku rindu. Dia pernah mengatakannya, walaupun hanya via chatting.

Ia tidak mengatakannya dengan lengkap, sepenggal kalimat yang tidak tuntas diutarakan. Aku hanya berkhayal untuk melengkapi kalimat yang terpenggal itu, “Tapi gue takut lo gak mau ketemu gue,” pikiranku menggila, Oh Nila.

Lima menit terakhir, masih dengan empat baris yang kosong. Kupikir, sudah cukuplah sampai sini saja. Biarlah amanat dan disertai ancaman Tuanku sebagai omong kosong belaka. Aku pergi ke ruangan sucinya, tepat di atas meja sucinya kertasku yang kotor penuh dosa ini akan diadili. Biarlah, aku hanya ingin pergi bersama Nila! Ke tempat ia berada saat ini. Tanah perantauan yang jaraknya tidak karuan jauhnya dengan tempat yang kupijaki saat ini. Kali ini aku benar-benar merasa buyar! Bebas, maaf Tuanku. Sesekali izinkan hamba tidak patuh terhadap Anda !

Perangkat gawai kuraih dari kanan saku celana. Aku melihat tanggal “17 Mei 2017”, aku seperti teringat sesuatu. Kalau tidak salah hari ini adalah hari keluarku dari rahim ibu oleh seorang tangan dokter rumah sakit. Tidak. Kuyakini hari ‘keluarnya’ aku adalah tanggal 11 Mei kemarin.

Aku sangsi sendiri, aku lupa. Dompet kuraih dan sebuah Kartu Tanda Penduduk kuperhatikan seksama. Benar! Hari ini, 17 Mei 2017 adalah ulang tahunku ! Tapi bagaimana aku bisa lupa? Tiap mengisi biodata dan saat ujian juga lupa. Dan.. hari ini tidak ada ucapan ‘Selamat Ulang Tahun!’ yang meriah dan disertai doa oleh Nila.

“Selamat Ulang Tahun! Semoga apa yang lo harapkan segera tercapai, sehat selalu, berbakti kepada orang tua, berguna bagi nusa dan bangsa,” ucapan itu yang kulontarkan pada Nila tahun lalu.

Kini, tidak. Sampai pukul 23.59, bahkan dari pulang kuliah tadi tidak ada pesan masuk atau telepon darinya. Aku membatin. Apakah dia sudah lupa? Aku bukan prioritas lagi? Karena teman-temanku pada umumnya juga tidak tahu kapan ulang tahunku. Tidak apa-apa dari mereka tidak mengucapkan. Tapi arti luar biasa jika dari kamu langsung.

“Nanti kita ketemu lagi ya, janji?” ucapmu sebelum berangkat ke tanah rantau. Aku mengiyakan dan ia menyodorkan jari kelingking kanan untuk melipat dengan jariku. Jari kami melipat sebagai tanda janjinya.

Mungkin aku bukan prioritas dan Homo Sapiens yang penting lagi dalam hidupnya, ada Homo Sapiens lain yang ia suka. Setidaknya kami haya jauh jarak, bukan jauh jarak kehidupan antara Homo Sapiens dengan Pithecanthropus paleojavanicus. Aku akan benar-benar senang dari senyumannya, yang kutahu senyumannya tanpa kebohongan tidak seperti teman-temanku atau orang aneh yang sekadar mencari perhatianku. Aku menggerutu, darah dalam raga memanas oleh api emosi, perlahan makin panas seperti air yang direbus dalam cerek.

“Apakah hari ini dia benar berbohong?” batinku mulai sakit.

Darah mendidih, refleks dengan gerakan rangka yang didukung ototku meraih handphone, mengayunkan dari atas dan membanting gawaiku sendiri. “TARRR!” suara bantingan keras mengagetkan tetangga kosku.

“WOY LU KENAPA?” Teriaknya.

“HAPE GUE JATOH, SORI NGAGETIN,” sahutku dengan suara agak serak.

 

Penulis : Faiz Zaki


TAG#cerpen  #karya-sastra  #romansa  #