
Dunia belum bisa berhenti membahasnya. 9/11 dianggap sebagai peristiwa awal pemicu ketakutan masyarakat dunia atas terorisme yang mengatasnamakan umat Islam.
retorika.id - Enam belas tahun pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat, dunia belum bisa berhenti membahasnya. Tragedi 11 September atau lebih dikenal dengan 9/11 dianggap sebagai peristiwa awal pemicu ketakutan masyarakat dunia atas terorisme yang mengatasnamakan umat Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh keterlibatan umat Islam dalam kelompok ekstremis Al Qaeda. Peritiwa tersebut menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Lebih dari 2000 orang meninggal dunia termasuk para pelaku serta 6000 lebih korban luka-luka.
Tragedi ini kemudian menjadi awal dari sederetan peristiwa terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia. Bahkan setelah pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden ditangkap pun, terorisme atas nama Islam terus terjadi. Beberapa tahun belakangan muncul Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang seakan “melanjutkan” apa yang sudah dimulai Al Qaeda dan bahkan melakukan teror yang lebih intens dibandingkan apa yang sudah dilakukan Al Qaeda dahulu. Dengan perkembangan teknologi yang sudah canggih saat ini, ajakan-ajakan serta teror NIIS
lebih gencar dan pintar.
Berkembang pesatnya teknologi membuat paham-paham radikalisme lebih cepat menyebar. Perlu diketahui, radikalisme berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dari pengertian ini, sudah terlihat bahwa salah satu tindakan dalam radikalisme melibatkan kekerasan, melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Dan bisa dibayangkan betapa bahayanya suatu paham yang tidak bermoral ini menyebar begitu cepat melalui teknologi yang berkembang saat ini.
Penyebaran ajaran radikalisme ini yang semula berawal dari kegiatan tatap muka seperti kajian-kajian agama, kemudian bisa disebar melalui broadcast messages. Ajaran seperti pembuatan senjata yang semula diajarkan langsung bisa disebar dalam bentuk video. Belum lagi penyebaran informasi lewat internet yang sering memutarbalikan fakta yang sebenarnya. Betapa fatalnya jika informasi yang salah bisa memicu kemarahan para kelompok yang sudah mempunyai pengetahuan tentang membuat senjata dan mereka langsung melakukan tindakan yang bisa membahayakan orang-orang yang tidak bersalah.
Radikal sendiri sebenarnya tidak hanya mengharuskan untuk memakai kekerasan, karena bisa saja radikal itu hanya sebuah bentuk ideologi yang menentang ideologi yang sudah berkembang di lingkungannya.
Dulu, ketika Indonesia baru merdeka dan terjadi Perang Dingin kelanjutan dari berakhirnya Perang Dunia II, founding fathers Indonesia memutuskan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas di sini berarti bahwa Indonesia tidak memihak salah satu dari kedua pihak yang saat itu berseteru, yaitu Blok Barat yang dikuasai Amerika dan Blok Timur yang dikuasai Uni Soviet. Aktif berarti bahwa sesuai dengan landasan konstitusional Indonesia, Indonesia akan turut serta aktif dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Gagasan Bung Karno yang membentuk Gerakan Non Blok (GNB) berdasarkan keputusan politik bebas aktif ini bisa dikategorikan sebagai bentuk tindakan yang radikal karena menentang keadaan sosial dan politik yang terjadi saat itu. Namun, GNB ini merupakan tindakan radikalisme yang tidak melibatkan tindak kekerasan, namun justru mengampanyekan ketertiban dan perdamaian dunia. Jadi, bisa disebut bahwa GNB adalah tindakan radikalisme yang positif.
Perbedaan antara radikalisme positif dan negatif adalah keterlibatannya tindak kekerasan di dalamnya. Segala bentuk kekerasan mulai dari fisik maupun lisan yang dilakukan, adalah merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan tindakan yang tidak bermoral. Tidaklah benar suatu pemaksaan dalam bentuk apapun untuk menyebarkan suatu ideologi. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih apa yang ingin dipercayainya, entah itu soal keyakinan agamanya atau pandangan politiknya, dan juga tiap orang berhak mengutarakan pendapatnya.
Ketika suatu kelompok memotong secara paksa pendapat dan cara pandang seseorang, entah melalui kekerasan lisan atau fisik yang bahkan mungkin sudah tersistematis, maka pelanggaran HAM sudah terjadi karena bertentangan pada hak setiap orang untuk hidup bebas, tanpa adanya rasa takut serta paksaan yang dirasakan dalam kehidupannya.
Penulis : Pulina Nityakanti P.
Editor: Endah F.A.
TAG: #agama #gagasan #politik #sejarah