Bukankah hidup bersama lebih menyenangkan daripada hidup sendirian?
Surabaya, retorika.id - Tujuh puluh tahun sudah nusantara ini merdeka. Tak terhitung jumlah perjuangan pahlawan bangsa melawan musuh demi tumbuh dan berdirinya Nusantara Indonesia. Perjuangan melawan penindasan penjajah, bahkan kudeta untuk membunuh ideologi suci bangsa Indonesia. Ya, itu sudah berpuluh tahun lalu, generasi demi generasi terlewati namun kisah-kisah itu terus bergema di sekolah, perpustakaan, teatrikal drama hingga layar kaca.
Ingatkah, ketika Bapak Proklamator mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, namun perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Waktu terus berjalan, membuat kita harus lari mengejar. Membuat kita sedikit demi sedikit melihat perpecahan dan perselisihan yang terjadi di Nusantara, yang kemudian sedikit menyadarkan kita bahwa perkataannya memang benar. Perbedaan yang
seharusnya mampu menjadi rahmat Tuhan yang paling indah malah menjadi laknat yang luar biasa hebatnya.
Waktu yang terus berputar membawa perubahan pada Nusantara. Lepasnya era penjajahan diganti dengan era keemasan yang kemudian datanglah era yang saya sebut “era pembangunan 1000 kesunyian”. Era yang nyatanya membunuh kebebasan manusia Nusantara, kemudian diakhiri dengan perjuangan ribuan mahasiswa yang akhirnya melahirkan era Reformasi, awal dari seluruh kebebasan bersuara dan berpendapat yang cukup untuk menghancurkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya kebebasan itu bak pedang bermata dua, ia mampu menebas tirani namun mampu menusuk diri sendiri jika tidak berhati hati.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural, yang mengakui perbedaan, menjunjung tinggi persatuan dan kebersamaan sampai kata “Bhinneka Tunggal Ika” kita pilih sebagai semboyan bangsa kita. Tetapi sekarang seiring dengan mudahnya informasi dan berpendapat, ego kita semakin tinggi sampai kita merasa bahwa kitalah manusia paling baik, paling benar di Nusantara ini. Dengan mudah men-judge orang lain, bahkan yang lebih ekstrim menyebarkan berita hoax yang beraroma SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) sehingga memunculkan stereotype di tengah masyarakat.
Isu yang tergolong masih hangat hingga saat ini adalah kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Basuki Tjahja Purnama atau biasa dipanggil Ahok. Dalam satu masa Ahok pernah mengatakan sesuatu yang membuat umat Muslim di Indonesia murka sampai mengadakan berbagai demo mulai dari demo 4 November, 2 Desember hingga yang baru saja dilaksanakan tahun ini pada 21 Februari 2017.
Melihat hal ini sepatutnya kita merasa heran, mengapa? Karena kita berbeda lalu kita mudah memusuhi yang berbeda? Apakah alasan historik digunakan sebagai alasan hingga kini? Ataukah pemahaman yang terlalu ‘kaku’ dalam memahami agama? Bukankah dalam agama kita selalu diajarkan untuk menghormati sesama manusia? Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan pada surat Al-Hujurat ayat 13 yang intinya menyatakan bahwa manusia diciptakan berbeda beda agar saling kenal mengenal. Yang tentunya juga berarti toleransi akan keberagaman. Dan saya rasa kitab agama lain juga menyatakan hal yang serupa.
Perbedaan merupakan anugrah terindah yang Tuhan berikan pada bangsa ini. Jadikan perbedaan sebagai hadiah terindah bukan sebagai kutukan. Mengetahui saja tidaklah cukup, namun rasa pemahaman, pengertian dan kasih sayang akan sesama juga harus kita miliki. Itulah awal dari sebuah perdamaian. Karena hidup bersama lebih menyenangkan daripada hidup sendirian bukan?
Penulis :Fajar Efraim Editor : Septian Dwi P.
TAG: #aspirasi #fisip-unair #lpm-retorika #pers-mahasiswa