» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Korupsi dan Semangat Kebangsaan Masyarakat
21 Maret 2017 | Opini | Dibaca 2266 kali

retorika.id - Kasus korupsi e-ktp adalah salah satu skandal korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sebelumnya ada kasus Bank Century yang merugikan negara hingga tujuh miliar rupiah. Negara sering kali dirugikan dengan tingkah pejabatnya yang bermental korup. Angka dua triliun rupiah sangatlah besar jika hanya untuk mengakomodasi hasrat korupsi pejabat negeri. Menariknya lagi, kasus ini menyeret berbagai nama pejabat publik dan dilakukan secara berjamaah.

Membahas masalah korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Reproduksi nilai korupsi terus terjadi. Tidak mengherankan jika satu kasus korupsi diungkap, muncul kemudian kasus korupsi yang lain. Mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi tidak akan pernah menghilangkan korupsi itu sendiri. Karena korupsi bukan hanya tindakan mencuri, melainkan sebuah tatanan nilai yang direproduksi dan mempunyai legitimasi.

Kronisme Wangsa Wayang

Cerita pewayangan dalam tradisi nusantara bukanlah suatu hal asing. Berbagai kisah kebaikan dan kepahlawanan tokoh wayang seringkali digunakan sebagai bahan untuk nasihat. Misalnya, “Jadilah engkau kakak seperti Yudhistira yang bijak, atau menjadi Sembadra yang lembut hatinya”.  Tidak ada yang salah dalam penggalan kalimat nasihat tersebut.


Menjadi bijaksana agar bisa menjadi panutan bagi saudara lainnya adalah hal yang baik.

Namun ada beberapa hal yang belum dipahami masyarakat dalam penyampaian cerita wayang sebagai suatu kesatuan nilai. Cerita pewayangan juga mengisahkan Yudhistira ketika menjadi raja Indraprasta. Keempat saudara lainnya mendapatkan bagian kekuasaan masing-masing. Bima di Jodipati, Arjuna di Madukara, Nakula di Sawojajar, dan Sadewa di Bumiratawu.

Begitu pula dengan para keponakan Yudhistira, mereka mendapatkan bagian kekuasaannya. Gatotkaca mewarisi negara Arimba, dan Abimanyu mendapatkan tanah kekuasaannya yang terintegrasi dengan Indraprasta setelah membunuh Parbu Jayamurcita. Tentu saja ini merupakan nepotisme aristokrasi feodal yang sahih. Bahkan para punakawan yang menjadi representasi rakyat tidak pernah menggugatnya.

Secara teoritis praktik feodalisme dalam penyelenggaran negara sudah ditinggalkan. Namun tidak dengan praktik nepotisme dan kroniisme. Pejabat publik yang melakukan korupsi tidak lagi memahami bahwa mereka masuk dalam regulasi negara yang melarang praktik korupsi. Nepotisme dan kroniisme lebih dipahami sebagai bentuk solidaritas dan berbagi kebaikan bersama. Nampaknya hal itu pula yang menyebabkan terjadinya korupsi berjamaah.

Begitulah penyelenggaraan negara dinasti wayang. Untungnya tidak ada lagi cerita penderitaan rakyat selama penyelanggaraan negara dengan praktik nepotisme oleh dinasti  wayang tersebut. saat ini nasihat yang diambil dari dinasti wayang hanya sebatas melawan kejahatan dan kehebatan personal lainnya. Tidak ada nasihat yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan dinasti wayang adalah praktik korupsi yang bisa mengahancurkan sebuah negara. Konstruksi nilai seperti ini yang seharusnya disampaikan kepada generasi penerus untuk melawan korupsi.

Apa yang Dibela ?

Dewasa ini media seringkali menampilkan aksi pembelaan terhadap suatu hal. Pembelaan terhadap kelompok, partai politik, hingga agama. Kebenaran menjadi alasan utama untuk diperjuangkan. Tapi benarkah apa yang telah dilakukan benar atas nama kebenaran ?

Bagi mahasiswa Kasus korupsi e-ktp seharusnya menjadi alasan kuat untuk  kembali menduduki gedung MPR. Mendesak segera pemerintah mengusut dan melakukan proses peradilan yang transparan dan adil.

Bagi para pemeluk agama, korupsi e-ktp seharusnya adalah momentum melakukan pembelaan terhadap agama yang sesungguhnya. Para pelaku korupsi semuanya adalah orang yang mempunyai agama. Mereka juga melakukan sumpah atas nama Tuhan-nya dalam menjalankan tugas melayani rakyat. Jika ada pengingkaran terhadap janji yang dibuat, bukan saja mengkhianati amanat rakyat melainkan juga mengkhianati Tuhan.

Kasus korupsi juga seharusnya dianggap sebagai penistaan terhadap kitab suci. Agama manapun dalam kitab sucinya selalu mengajarkan kebaikan dan kebermanfaatan bagi sesamanya. Korupsi mengingkari prinsip kebaikan dan kebermanfaatan yang diajarkan dalam kitab suci agama manapun. Namun hingga saat ini tidak ada aksi protes massa yang menyatakan bahwa para pelaku korupsi adalah para pencuri dan penista agama.

Masyarakat harus dipahamkan bahwa korupsi bukan hanya masalah yang profane, melainkan juga pengkhianatan terhadap yang sakral. Jika sebelumnya terdapat serangkaian aksi bela islam, maka saat ini juga diperlukan aksi yang serupa dengan massa yang lebih besar. Mengawal proses penyelidikan dan pengadilan hingga selesai.

Sebelumnya juga terdapat berbagai ceramah imbauan untuk memilih pemimpin seiman. Sekiranya saat ini juga diperlukan ceramah untuk mengakkan keadilan. Masjid, gereja serta tempat peribadatan lainnya dalam setiap mimbar kompak menyatakan untuk menegakkan keadilan. Melawan korupsi dan menghendaki pelaku diadili yang setimpal.

Momentum korupsi seharusnya bisa dijadikan sebagai wadah untuk konsolidasi dan menjaga kebhinekaan. Namun apa daya, nampaknya masyarakat kita saat ini lemah dalam persatuan. Bahkan di Ibukota sana, sebagian masyarakat masih mempersalahkan pengurusan jenazah bagi pemilih pemimpin yang tidak seiman. (En/Red)

-Aris Budiyono-


TAG#demokrasi  #kisah  #pemerintahan  #politik