» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Virus Apatisme Menjakiti Mahasiswa? Oh Tidak!
21 Maret 2017 | Opini | Dibaca 3598 kali
Mahasiswa Jangan Apatis!: Peran Mahasiswa Foto: Endah
Mahasiswa yang bercitrakan idealisme, pengubah bangsa, nyatanya terjangkit virus apatisme. Duh, bagaimana nasib bangsa ini kelak di tangan para agent of change ini?

retorika.id - Salah satu tugas dan fungsi mahasiswa adalah agent of change (agen perubahan). Oleh karena itu, mahasiswa dituntut untuk selalu aktif dan bersuara. Namun pada kenyataannya, hanya segelintir mahasiswa yang aktif dalam organisasi kampus ataupun kelembagaan lainnya.

Apatis diartikan juga “tidak speduli” (bahasa Inggris apathy yang berasal dari bahasa Yunani apathos, secara harfiah tanpa perasaan). Maka, orang yang apatis adalah orang yang tidak peduli dengan urusan orang lain, tidak peduli lingkungan, dan apa yang terjadi di sekitarnya. Sikap apatis, hopeless, putus asa, putus harapan, adalah bagian yang wajar dari diri kita sebagai manusia. Tetapi apabila terus menerus memelihara sikap tersebut adalah salah besar.

Virus-virus apatis sendiri sepertinya juga sudah mulai menjangkit dalam kehidupan mahasiswa FISIP.  Hal tersebut nampak dari menurunnya sikap antusiasme mahasiswa dalam mengetahui berbagai isu terhangat di lingkup fakultas, universitas, nasional, maupun global. Banyak mahasiswa FISIP cenderung acuh mengetahui bahwa di fakultas mereka akan diadakan Pemira. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak tahu siapa saja calon BLM dan Presiden BEM mereka.

Untuk lingkup kecil setingkat


fakultas saja mereka bersikap apatis. Bagaimana dengan Pemilu calon pemimpin bangsa? Berbagai spekulasi mulai bermunculan melihat fenomena pergeseran mindset tersebut. Ada beberapa alasan menyebabkan mahasiswa menjadi apatis, diantaranya:

Pertama, pengaruh gaya hidup hedonisme di lingkup mahasiwa. Hedonisme telah mengubah banyak aktivitas mahasiswa sebagai kaum intelektual, yang mana dulu tugas mereka sibuk belajar, mengkritisi para penguasa dan memperjuangkan hak rakyat, namun kini kegiatan mereka justru condong ke arah kegitan yang berbau kesenangan. Pergeseran perilaku ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh arus globalisasi sehingga cenderung sangat sulit untuk dibendung.

Peran organisasi seharusnya mampu memberikan kesibukan positif kepada mahasiswa agar tidak terjebak pada apatisme. Kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial atau kegiatan yang kompetitif seperti lomba menulis dan sebagainya diharapkan mampu untuk membangunkan kembali jiwa dan pikiran mahasiswa yang telah lama tertidur dalam zona nyaman. Sehingga mereka mampu untuk berpikir kreatif, inovatif, dan kritis terhadap keberadaan lingkungan sosialnya.

Kedua, munculnya tanggapan miris di kalangan mahasiswa bahwa organisasi menghambat prestasi akademik. Banyak yang enggan berorganisasi lantaran melihat rekannya yang berorganisasi mengalami penurunan dalam prestasi akademik, sehingga muncul anggapan bahwa organisasi menghambat mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Padahal, sejumlah organisasi kemahasiswaan telah menetapkan indeks prestasi akademik tertentu atau jumlah SKS yang harus diluluskan sebagai prasyarat menjadi pengurus. Ini yang perlu ditegakkan lagi.

Ketiga, ada persepsi publik yang menyatkan bahwa pengurus organisasi hanya untuk mencari ketenaran. Di dalam kampus, Mahasiswa mengkotak-kotakkan diri dalam dua blok. Blok mahasiswa Idealis dengan Blok Mahasiswa Apatis. Dua blok inilah yang saya yakini selalu bersengketa di kampus manapun. ‘Mahasiswa aktivis’ menganggap ‘mahasiswa apatis’ sebagai mahasiswa yang tidak peka, pragmatis, dan belum menyadari hakikatnya sebagai mahasiswa. Sebaliknya ‘mahasiswa apatis’ menganggap ‘mahasiswa aktivis’ sebagai orang-orang yang tidak ada kerjaan, yang sok ikut campur, keras kepala, cari ketenaran dan mengidap penyakit sok pahlawan.

Terkadang banyak pihak mempertanyakan kegiatan demonstrasi para aktivis kampus. Sesungguhnya apa yang mereka suarakan? Apa tujuan mereka melakukan itu? Sebagaimana yang kita ketahui, saat ini kekuatan mahasiswa untuk mempengaruhi kebijakan penguasa sudah tidak seperti dulu lagi.

Keempat, kekecewaan terhadap kinerja para pemimpin dan penguasa. Rendahnya partisispasi politik di kalangan mahasiswa sendiri dilatarbelakangi oleh rasa kekecewaan mahasiswa terhadap para pemimpin. Figur-figur yang diharapkan mampu menyejahterakan nyatanya hanya mengumbar janji palsu saja. Hal itulah yang akhirnya membuat mahasiswa berpikir “siapapun pemimpinnya saya tidak peduli. Karena saya tetap berusaha dengan kerja keras saya sendiri”.

Berdasarkan alasan di atas, Secara sadar maupun tidak sesungguhnya kita telah menjadi bagian dari mahasiswa apatis. Kita harus mulai berinstropeksi diri dan menyadari peran kita sebagai agen perubahan sekaligus penyambung lidah rakyat. Sebagaimana yang kita ketahui, mahasiswa adalah calon-calon pemegang estafet kepemimpinan bangsa. Jangan sampai virus-virus apatis menyebar menggerogoti jiwa dan pikiran calon pemimpin bangsa. Untuk itu, jika kita masih mengaku cinta dan peduli dengan bangsa ini. Buanglah jauh-jauh sikap tersebut dalam pikiran kita. Caranya yaitu dengan mengasah ketajaman berpikir, kritis dan peduli dengan lingkungan sekitar. Sehingga akan tercipta iklim demokrasi yang kondusif di kalangan mahasiswa. (En/Red)

 

 -Roudlotul Choiriyah-


TAG#aspirasi  #demokrasi  #dinamika-kampus  #fisip-unair