» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Hikayat Pers Mahasiswa
27 Maret 2017 | Opini | Dibaca 3252 kali
Opini Persma: - Foto: harnas.co
Hanya ada dua hal yang mampu menerangi dunia. Matahari di langit dan pers di bawahnya. – Mark Twain –

Surabaya, retorika.id - Sastrawan ternama asal Amerika itu mengibaratkan pers sebagai cahaya. Semacam lentera yang memberi tuntunan dalam kegelapan. Twain menyiratkan betapa besarnya peran pers ditengah masyarakat. Sebagai negara yang mengaku menganut demokrasi, pesan itu sesungguhnya telah termanifestasikan dalam adagium 4 Pilar Demokrasi. Dalam adagium tersebut, pers merupakan pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Kendati pun pers diibaratkan sebagai cahaya, setiap terang tak pernah luput dari bayang. Bila kita amati, kian banyak pers umum yang ‘tampaknya’ lebih berorientasi pada kucuran dana dibanding membangun kesadaran masyarakat. Hal itu seringkali dianggap wajar karena mengatasnamakan tuntutan ekonomi. Pada akhirnya, harapan yang ada di pangkuan mereka adalah pers mahasiswa. Merekalah yang mampu memeluk idealismenya demi rakyat.

Sejarah pers mahasiswa (Persma), sangat identik dengan sejarah perjuangan. Karena ia memang terlahir dari segenap semangat perubahan serta perlawanan terhadap tirani. Pada mulanya, penjajah asinglah yang menjadi musuh bersama, lalu pada tahun 1998, rezim orde baru yang sewenang-wenang menggunakan kuasanya. Lantas, bagaimanakah kabar pers mahasiswa hari ini? Perjuangan apa yang ditempuh oleh para generasi pasca 1998 untuk melawan musuh kita di era reformasi?

 

Dilema Persma di Era


Reformasi

Dunia perkuliahan mahasiswa di era ini tentu saja tidak semenegangkan era 1998. Mahasiswa hari ini diikat oleh sekumpulan aturan-aturan kampus dan dibayangi oleh semacam ‘hantu’ bernama Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Mari sejenak kita larut dalam romantisme masa lalu, dahulu Bung Karno, Bung Hatta dan founding father lainnya merupakan sosok-sosok mahasiswa yang memegang teguh idealismenya. Bung Karno percaya, Ilmu Teknik yang ia pelajari tidak hanya untuk membangun gedung-gedung milik investor tetapi juga untuk membangun karakter bangsa. Bung Hatta menggunakan Ilmu Ekonominya bukan untuk memeras keuntungan dari rakyat, tetapi untuk melahirkan koperasi yang malah menguntungkan rakyat. Bahkan tak jarang mereka melawan kebijakan kampusnya sendiri manakala tak sejalan dengan idealisme yang mereka geluti.

Saat ini menemukan mahasiswa berpendirian demikian, tampaknya seperti mencari jarum disetumpuk jerami. Kampus seakan-akan hanya mencetak wirausahawan dan para professional keilmuan. Hal ini bisa diamati dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Sedari aturan menggunakan pakaian hingga pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Ruang-ruang kampus tak lagi menjadi ruang-ruang diskusi problematika masyarakat tetapi ruang mendiskusikan tugas-tugas. Ya sekadar tugas!

Tak bisa dipungkiri, tuntutan profesionalitas pada masa modern ini memengaruhi keberlangsungan pers mahasiswa. Pers mahasiswa saat ini tak ubahnya seperti laboratorium jurnalistik semata. Dimana-mana idealisme dipuja-puji oleh mahasiswa/i, tetapi malu-malu digeluti. Hal itu yang memicu munculnya spekulasi bahwa pergerakan dan juga pers mahasiswa di era pasca 1998 seakan-akan mengalami mati suri. Mahasiswa saat ini terbuai oleh berbagai kenyamanan dan tergagap-gagap mengidentifikasi ‘musuh bersama’ era ini.

Diparipurnakan pula dengan masih banyaknya organisatoris kampus yang belum memahami implementasi 4 pilar demokrasi. Hal itu tampak dari ‘tersingkirnya’ pers mahasiswa dalam struktur organisasi kemahasiswaan. Ia tak lagi menjadi badan otonom atau berdiri secara horizontal dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing badan memiliki persnya masing-masing. Bila tidak dipahami dan disikapi dengan bijak, hal itu sama saja dengan pembantaian persma secara sistemik. Meski telah jelas-jelas tersirat, bila hendak mencapai iklim demokrasi yang sehat dalam kampus, persma adalah salah satu prasyaratnya.

 

Menggugat Senjakala Persma

Pers mahasiswa tidak boleh mati, karena kematian persma dalam suatu kampus menandakan kesemuan demokrasi yang dijalani. Memberi ruang pada pers mahasiswa sama dengan merawat iklim demokrasi. Hal itu diimplementasi melalui kesadaran dan pemahaman para organisatoris kampus mengenai 4 pilar demokrasi tadi. Hal ini penting, sebab secara tidak langsung pers mahasiswa mengikis keberadaan oknum-oknum anti kritik, baik mahasiswa maupun elit kampus. Oknum-oknum anti kritik ibarat ‘tumor’ dalam demokrasi, bila tidak cepat dioperasi, ia akan berujung pada kesewenang-wenangan penggunaan kuasa dan kematian demokrasi.

Pers mahasiswa, seyogyanya juga tidak terbuai oleh intelektualitas onani, menjadi pengemis dan budak IPK. Penulis yakin, angka tidak cukup mampu menunjukkan potensi dan nilai-nilai dalam diri manusia. Sebab manusia memiliki nilai-nilai yang melampaui standar-standar penilaian dalam IPK.

Menjadi idealis di negeri yang kian oportunis bukanlah hal mudah. Tetapi, sebagaimana juga kata Mark Twain, pers adalah cahaya, sehingga sesulit apapun, ia harus mampu memeluk idealismenya, terlebih penggiat pers mahasiswa.

Kita menyadari bangsa ini memiliki segenap problematika di era refosmasi. Pun mahasiswa di dalamnya yang kian terombang-ambing ke sana kemari. Dan tugas pers mahasiswalah mewadahi mahasiswa-mahasiswa yang ingin berjuang serta memantik semangat melawan praktik pembodohan, perenggutan kemerdekaan, penindasan dan ketidakadilan. Pramoedya Ananta Toer menulis dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, menyatakan bahwa pers adalah alat yang ampuh untuk perjuangan. Maka Pers mahasiswa harus terus bergerak. Panjang umur perjuangan!

 

Penulis:  Dewi Widyastuti Editor: Roudlotul Choiriyah


TAG#demokrasi  #fisip-unair  #lpm-retorika  #pers-mahasiswa