» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Sejarah Panjang Aksi Rasisme di Ajang Olimpiade
11 Agustus 2021 | Mild Report | Dibaca 1237 kali
Sejarah Panjang Aksi Rasisme di Ajang Olimpiade: Sumber: Foto: AFP
Sejumlah aksi rasisme mewarnai gelaran ajang Olimpiade Tokyo 2020. Namun faktanya, aksi tersebut bahkan sudah sering terjadi di olimpiade-olimpiade sebelumnya. Rasisme memiliki akar sejarah yang panjang dalam menunjukkan keunggulan ras di ajang olahraga terbesar di dunia ini.

retorika.id-Rangkaian kompetisi olahraga terbesar di dunia yakni Olimpiade Tokyo 2020 telah resmi berakhir pada Minggu (8/8/2021) lalu. Terdapat banyak momen mengharukan, seperti rekor sejarah yang terpecahkan. Beragam polemik pun ikut mewarnai gelaran olimpiade kemarin.

Salah satunya adalah mengenai isu rasisme yang dilakukan oleh panitia dan atlet. Kontroversi tersebut bahkan telah dimulai sebelum opening ceremony digelar. Ditandai dengan dipecatnya Kentaro Kobayashi selaku Direktur Pertunjukan Opening Ceremony Olimpiade, karena dianggap mengolok tragedi Holocaust melalui candaannya. Selain isu tersebut, masih banyak isu rasisme yang ada di Olimpiade Tokyo 2020. Namun sebenarnya, aksi rasisme sudah sering terjadi di olimpiade-olimpiade sebelumnya.

 

Akar Rasisme di Olimpiade

Jauh sebelum Olimpiade Tokyo 2020 –bahkan satu abad sebelumnya, tepatnya di tahun 1904 saat Olimpiade St. Louis- terdapat olimpiade tambahan yang khusus diadakan dengan tajuk “Anthropology Days”. Mengutip dari The Washington Post, tujuan penyelenggara menambahkan acara tersebut yaitu untuk membenarkan imperialis dan penaklukan orang non-kulit putih yang “inferior” melalui kegiatan olahraga. Mereka mengadakan lomba, seperti panjat pohon dan lempar lumpur untuk merendahkanorang-orang, terutama mereka yang berasal dari Afrika, Asia, penduduk asli Amerika, dan Meksiko. 

Penyelenggara pun hanya menginginkan aturan dijelaskan dalam bahasa inggris. Hal tersebut berdampak pada kinerja atlet non-kulit putih yang tidak maksimal dan tanpa mengejutkan, memberikan kemenangan yang mudah pada Amerika Serikat. Tidak hanya itu, kemenangan seorang Igorot Filipina dalam panjat tiang diakui karena ia masih memiliki kaitan erat dengan monyet yang belum berevolusi. Atlet tersebut pun justru menerima bendera Amerika Serikat sebagai hadiah kemenangannya. Hal ini turut membuktikan bahwa ajang olahraga yang digelar empat tahun sekali ini, sering dimanfaatkan sebagai wadah


untuk memperkuat stereotip dan menjadikannya simbol keunggulan ras.

Namun, aksi rasisme yang sangat buruk ini tidak bertahan selamanya. Pada akhirnya, peluang untuk membuktikan bahwa atlet berwarna mampu bersaing dan menghancurkan stereotip negatifnya selama ini adalah nyata. Melalui pencapaian-pencapaian yang memecahkan rekor, mereka tumbuh menjadi atlet yang diunggulkan. Seperti, atlet cabang olahraga (cabor) atletik Afrika-Amerika, Jesse Owens yang mampu menghancurkan mitos superioritas ras Arya dalam Olimpiade Berlin 1936. Bahkan kemenangan tersebut membuat Adolf Hitler naik pitam.

Memiliki akar sejarah yang kuat dan panjang, nampaknya Olimpiade Tokyo 2020 memang tidak ada bedanya. Isu rasisme masih mewarnai bahkan ketika sudah banyak masyarakat teredukasi mengenai aksi tersebut. Salah satu aksi rasisme yang terjadi di Olimpiade Tokyo 2020 kemarin adalah penolakan FINA –Federasi Renang Internasional (Federation Internationale de Natation)– atas topi renang yang dirancang oleh Seoul Cap khusus untuk rambut keriting, tebal, dan bervolume digunakan di olimpiade. Mengutip dari Liputan6.com, Michael Chapman dan Toks Ahmed menganggap bahwa keputusan FINA tersebut hanya memperpanjang isu rasisme terhadap orang kulit berwarna di berbagai bidang kehidupan.

Aksi Protes Menuntut Keadilan Sosial

Seiring dengan banyaknya isu rasisme dalam olimpiade, para atlet mencoba unjuk protes menentang ketidakadilan yang terjadi. Beberapa di antaranya bahkan terpaksa harus dikeluarkan dari olimpiade. Seperti yang terjadi pada Tommie Smith dan John Carlos ketika menerima medali di Olimpiade Mexico 1968. Mengutip dari The European Sting, Saat lagu kebangsaan AS diputar, keduanya menundukkan kepala, mengangkat kepalan tangan, dan melepas sepatu sehingga memperlihatkan kaus kaki hitam mereka. Aksi tersebut merupakan representasi dari kekuatan dan persatuan kulit hitam Amerika. Tindakan mereka kini dijadikan ikon protes terhadap ketidakadilan sosial.

Terbaru pada Olimpiade Tokyo 2020 lalu, atlet tolak peluru asal AS, Raven Saunders menyilangkan tangan di atas podium pada upacara penyerahan medali. Dikutip dari Media Indonesia, Saunders menyebut bahwa sikapnya merupakan wujud dari solidaritas pada ‘orang-orang tertindas’, seperti mereka yang berkulit hitam dan pendukung hak-hak LGBT. Aksi protes di atas podium tersebut merupakan kasus pelanggaran yang pertama kalinya terjadi di Olimpiade Tokyo 2020.

Dianggap sebagai demonstrasi politik, agama, dan etnis, aksi protes di atas podium telah resmi dilarang oleh International Olympic Committee (IOC) dalam Olimpiade Tokyo. “Olimpiade bukan dan tidak boleh menjadi platform untuk memajukan politik atau tujuan memecah belah lainnya,” ungkap Presiden IOC, Thomas Bach mengutip dari TIME.

Sayangnya, aksi “protes” yang dikatakan dalam Aturan 50 Piagam Olimpiade (Rule 50 of the Olympic Charter) tersebut tidak memberikan kejelasan yang layak. Mereka hanya menyebutkan beberapa contoh aksi protes, seperti memakai armband, berlutut, mengganggu upacara medali, hingga membuat gerakan tangan politik. 

Meski begitu, IOC memperbolehkan aksi protes dilakukan sebelum kompetisi dimulai. Tim sepak bola wanita Inggris diizinkan mengekspresikan ketidaksetaraan dan diskriminasi rasial dengan cara berlutut. Aksi tersebut dilakukan mereka sebelum pertandingan dengan Chili dimulai pada Olimpiade Tokyo 2020 kemarin.

Dapat disimpulkan bahwa aksi rasisme yang memiliki akar kuat dalam ajang olimpiade terlihat sangat sulit untuk dihilangkan. Tanpa ingin mengakui terdapat diskriminasi rasial, kaum konservatif masih memanfaatkan olimpiade sebagai wadah untuk menunjukkan keunggulan ras mereka. Aksi protes yang dilakukan oleh para atlet justru dianggap mengganggu netralitas politik yang coba dijaga oleh IOC. Pada akhirnya, hubungan antara rasisme dan olimpiade bagai lingkaran setan yang tidak memiliki ujung dan akan terus berulang. 

 

Penulis: Rimaya Akhadiyah

Editor: Kadek Putri Maharani

Sumber Referensi:

Godin, Melissa. (2020). Athletes Will Be Banned From Protesting at the 2020 Tokyo Olympics. But the Games Have a Long History of Political Demonstrations. Diakses pada 7 Agustus 2021 dari TIME, link: time.com/5764614/political-protests-olympics-ioc-ban/

Irianto, Rifaldi Putra. (2021). Atlet Tolak Peluru AS Lakukan Gestur Protes di Podium Olimpiade. Diakses pada 10 Agustus 2021 dari Media Indonesia, link: m.mediaindonesia.com/olahraga/422542/atlet-tolak-peluru-as-lakukan-gestur-protes-di-podium-olimpiade

Longley, Kyle. (2021). The Olympics Have Long Been An Arena for the Fight Between Racism and Equality. Diakses pada 7 Agustus 2021 dari The Washington Post, link: www.washingtonpost.com/outlook/2021/07/23/olympics-have-long-been-an-arena-fight-between-racism-equality/

Penolakan Topi Renang untuk Atlet Berambut Keriting di Olimpiade Tokyo 2020 Tuai Kontroversi. (2021). Diakses pada 9 Agustus 2021 dari Liputan6.com, link: m.liputan6.com/amp/4605070/penolakan-topi-renang-untuk-atlet-berambut-keriting-di-olimpiade-tokyo-2020-tuai-kontroversi

Whiting, Kate. (2021). From Raised Fists at the 1968 Olympics to Taking the Knee: A History of Racial Justice Protests in Sport. Diakses pada 7 Agustus 2021 dari The European Sting, link: europeansting.com/2021/07/23/from-raised-fists-at-the-1968-olympics-to-taking-the-knee-a-history-of-racial-justice-protests-in-sport/amp/


TAG#budaya  #event  #gagasan  #tradisi