
Miris memang, dibalik besarnya angka produksi tembakau atau kontribusi cukai tembakau terhadap pendapatan negara terdapat fenomena pekerja anak yang menyedihkan. Anak-anak yang dalam masanya berhak untuk belajar dan bermain menukarnya dengan jam-jam penuh penderitaan di seputar bau tembakau
Rokok atau tembakau adalah wacana yang selalu menarik untuk dibahas. Banyak polemik di dalamnya. Baunya yang menyengat selalu menerik setiap orang untuk membicarakannya. Tetapi yang patut disadari adalah banyak hal yang terjadi sebelum rokok itu jadi, bahkan sebelum tembakau itu tumbuh dan siap dijual. Tembakau adalah tragedi itu sendiri, ditumbuhkan tetapi kemudian mematikan.
Human Right Watch dalam laporannya mengutip Organisasi Pangan dan Pertanian PBB mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar kelima untuk tembakau yang belum diolah di pabrik setelah Tiongkok, Brazil, India dan Amerika Serikat. Hal ini belum lagi diperkuat oleh kenyataan bahwa cukai tembakau menyumbang penerimaan negara sebesar Rp.137,94 Triliun. Angka ini setara dengan 96,11 persen dari total penerimaan cukai dan 8,87 persen dari total penerimaan negara.
Miris memang, dibalik besarnya angka produksi tembakau atau kontribusi cukai tembakau terhadap pendapatan negara terdapat fenomena pekerja anak yang menyedihkan. Anak-anak yang dalam masanya berhak untuk belajar dan bermain menukarnya dengan jam-jam penuh penderitaan di seputar bau tembakau. Selama membudidayakan tembakau di kebun-kebun, anak melakukan berbagai tugas. Mengutip dari laporan Human Right Watch, anak-anak menjalankan tugas seperti menanam bibit tembaku, menyiram tembakau, mencampur dan menyiram pestisida, memanen tembaku dengan tangan kosong, memanggul hasil panen hingga mengeringkan tembakau di bawah terik matahari.
Tetapi terdapat problema dalam pemanfaatan
tenaga anak pada produksi tembakau di berbagai wilayah Indonesia. Mereka bekerja hampir sepanjang musim budidaya tembakau. Seperti halnya yang dilaporkan Human Right Watch, anak-anak tidak hanya menjalankan satu tugas tetapi menjalan berbagai tugas mulai dari masa menumbuhkan tembakau hingga masa pasca panen. Walaupun mengejakan banyak tugas, tidak semua anak menerima upah. Beberapa anak meneripa upah Rp.5.000-Rp.20.000 selama beberapa jam kerja. Tetapi beberapa anak yang lain tidak demikian. Mereka tidak dibayar untuk pekerjaannya karena mekanisme pertukaran tenaga kerja. Jika keluarga satu anak bekerja untuk kebun tetangga saat panen hingga proses pengeringan, maka anak tetangga pun membantu tetangga lain yang sedang panen.
Berangkat dari realitas perihal pengupahan tersebut, anak-anak bekerja dikarenakan oleh dua sebab. Pertama, mereka bekerja karena kondisi perekonomian keluarga dalam kemiskinan. Pada beberapa petani yang mengandalkan tembakau sebagai sumber penghasilan utama, anak-anak membantu orang tua mereka sendiri. Hal ini dilakukan mengingat biaya bakal bertambah jika para petani menyewa pekerja lain untuk membantu mengurus kebun tembakau dan menurunnya pendapatan dari tembakau jika cuaca buruk atau pasokan tembakau yang berlebih. Sedangkan anak yang lain bekerja untuk membeli buku dan jajan saat sekolah. Kedua, Mereka bekerja dikarenakan tradisi di masyarakat. Anak-anak bekerja di kebun tetangga agar tetangga dan anak tetangga juga membantu keluarga mereka dalam mengurus kebun tembakau.
Terlepas dari penyebab anak-anak bekerja di kebun tembakau dan berapa upah yang mereka terima, bekerja di tembakau merupakan pekerjaan yang berbahaya. Organisasi Buruh Internasional (ILO), menjelaskan bahwa pekerjaan yang berbahaya bagi anak-anak adalah pekerjaan yang karena sifat dan kondisinya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau mengancam moral anak-anak. Kiranya tidak perlu diragukan bertapa bahaya bekerja di kebun tembakau bagi anak-anak.
Anak-anak juga semua petani tembakau dalam jangka pendek terancam mengidap karacunan nikotin akut, atau biasa disebut penyakit akibat daun hijau tembakau. Hal ini dikarenakan saat mereka mengurus tembakau, utamanya saat panen terjadi penyerapan nikotin melalui kulit mereka. Penyakit ini ditandai dengan gejala muntah, mual, sakit kepala dan pusing.
Selain itu anak-anak juga dikhawatirkan terganggu kesehatannya akibat menyemprotkan pestisida dan bekerja di bawah panas terik matahari. Pestisida sendiri masuk ke dalam tubuh manusia dengan terhirup tertelan atau terserap melalui kulit. Khususnya anak-anak, dikhawatirkan menerima efek buruk dari racun karena otak dan tubuhnya masih dalam masa pertumbuhan. Perihal pekerjaan dalam kondisi suhu yang tinggi menyebabkan beberapa anak-anak pingsan ketika bekerja dan mengalami sakit kepala.
Selain berdampak pada kesehatan anak-anak, fenomena pekerja anak di kebun tembakau juga berdampak bagi pendidikan. HRW melaporkan bahwa mayoritas anak bekerja di luar jam sekolah seperti sebelum dan setelah sekolah serta libur di akhir pekan. Tetapi beberapa anak lain bekerja agar dapat mengganggu jam sekolah mereka. Sehingga dapat dipahami jika terdapat beberapa anak yang putus sekolah karena lebih memilih bekerja di kebun. Bahkan ada kasus yang mana anak-anak disuruh orang tua mereka membolos sekolah agar membantu panen.
Berangkat dari berbagai problema di atas, tentu hak anak-anak untuk tumbuh sewajarnya telah terenggut. Anak-anak dalam masa pertumbuhannya hanya perlu belajar dan bermain. Lebih-lebih jika mereka memiliki kemauan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka. Para pekerja anak di kebun tembakau harus diakui memberikan kontribusi yang besar bagi produksi tembakau nasional. Tetapi hal itu tidak bisa dibanggakan sebaliknya mesti kita tentang bersama. Pekerja anak menumbuhkan tembakau tetapi tembakau menghambat bahkan menghentikan pertumbuhan anak-anak itu sendiri.
Catatan :
Jumlah besaran cukai tembakau terhadap penerimaan negara dikutip dari https://tirto.id/seberapa-banyak-rokok-sumbang-pemasukan-kas-negara-cx7N
Informasi terkait produksi tembakau dan fenomena pekerja anak di perkebunan tembakau dikutip dari laporan Human Right Watch, https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0516bahasaweb_0.pdf
Penulis : Moch. Khoiruddin
TAG: #ekonomi #sosial # #